Mohon tunggu...
Voni Anggraeni
Voni Anggraeni Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Negeri Semarang

Mahasiswa Prodi Sarjana Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Negeri Semarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sawahku Rata Jadi Jalan

25 November 2024   09:28 Diperbarui: 25 November 2024   10:42 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: https://freepik.com

Selamat membaca...

Udaranya segar, sejuk, dan menenangkan. Itulah yang Kiara rasakan ketika hidup di rumah yang menjadi saksi tumbuh kembangnya, di sebuah perkampungan yang masih asri dengan pemandangan indah dan alamnya yang hijau. Hidup sederhana dimana sebagian masyarakatnya bekerja di perkebunan dan sawah. Gubuk beratap belarak (daun kelapa) menjadi tempat berteduhnya para petani. Sawah yang membentang luas, seluas mata memandang. Saat itu padi-padinya tidak hijau, pucuk-pucuknya telah menguning tanda siap dipanen esok hari. Di bekalang rumah kakek-neneknya itulah, sawah yang membentang luas sebagiannya milik mereka.

Seorang wanita paruh baya bercaping lebar membawa parit di tangannya, dengan ceret di sebelah tangannya yang lain, ia berjalan hati-hati menyusuri pematang sawah. Kakinya lantas menginjak tanah liat yang telah mengeras itu. 

"Nek, Kiara bisa bantu apa?" tanya gadis kecil bercaping besar itu. Sesekali ia menyangga caping saat berbicara dengan sang nenek karena caping milik sang kakek yang dipinjamnya terlalu besar di kepalanya.

"Kiara bantu nenek pindahkan padi-padi ini ke sana untuk dipisahkan dari jeraminya," ujar sang nenek menunjuk ke suatu sudut memperlihatkan alat tradisional yang dapat memutar dan memisahkan padi dari batangnya.

"Siap, Nek!" balas gadis itu bersemangat membawa sekumpul tanaman padi yang dibawa dalam pelukan.

Kalau musim panen tiba, itulah kegemarannya. Selain membantu memanen di sawah sendiri yang terletak di belakang rumah, dia juga dapat berpuas hati bermain di hamparan sawah yang sedang kering tanahnya. Ia dapat berlarian, bermain bola, berlompat tali, atau bermain di atas tumpukan jerami yang kering. Tak peduli jika selepas itu tubuhnya akan gatal-gatal, tetapi bagi gadis kecil dan teman-teman sebayanya, itu sebuah kesenangan sendiri.

Prosesnya masih cukup panjang. Setelah panen telah usai, nantinya padi-padi yang telah terpisah dari batangnya akan dijemur di halaman, lalu dibawa ke penggilingan agar terpisah dari kulitnya, dan menjadi beras yang siap dijual atau dimasak.

Namun, panen kala itu bukan di musim kemarau. Tibalah hujan datang tanpa diduga, membasahi tumpukan jerami yang menggunung belum sempat dibakar. Bagi para petani, itu mungkin suatu kesusahan karena tumpukan jerami menjadi basah dan akan susah bila dibakar, tetapi bagi anak-anak seusianya, jerami yang basah, maka akan menjadi tempat berpetualang mencari jamur yang tumbuh liar di sela-sela jerami yang basah.

Ya, tiga empat hari berikutnya jamur-jamur putih bermunculan. Walau seringkali Kiara dilarang untuk berburu jamur yang tidak ada gunanya dan tidak mungkin meminta orang rumah memasaknya, tetapi jiwa bocah petualang sangat membara di kalangan seusianya. Salah satu dari mereka, Ratmi namanya. Dia gadis remaja yang lebih tua daripada Kiara, tubuhnya lebih tinggi besar dan ia yang paling tua daripada anak-anak sekompleksnya. Tahun depan ia masuk sekolah menengah awal. Ia sering dipercaya memasak air oleh ibunya yang menjadi penjual kopi dan gorengan di dekat tempat agen bus. Tentu, hal masak memasak menggunakan kompor gas dapat dilakukan di rumahnya.

"Mbak Ratmi, nanti masaknya di rumah Mbak, ya?" tanya Kiara.

"Ya, izin dulu sama ibuku," jawab Ratmi.

Sebelum memanen jamur merang, Ratmi dan pasukkannya akan datang ke kedai kecil di sisi jalan raya tempat bus-bus AKAP berhenti. Pagi hari selalu ramai di terminal semu itu. Anak-anak desa itu akan menyela ke tengah-tengah kerumunan calon penumpang untuk sampai di sudut hanya untuk meminta izin kepada ibunya Ratmi menggunkaan kompor di rumahnya. Tak jarang Ratmi pun meminta sejuput gula dan klethikan kacang tanah dari kedai ibunya. Tidak keberatan, setiap teman-temannya akan diberikan satu bungkus kecil kacang bawang itu atas seizin ibu Ratmi. Lantas terdengar suara berteriak riang, suara anak-anak kampung yang mudah bahagia dengan hal-hal kecil yang mereka didapatkan.

"Bu, Ratmi mau cari jamur merang dulu di sawah."

"Adikmu sama siapa?" tanya ibunya.

"Sama mbah, sudah dibuatin susu tadi."

"Ya sudah. Mainnya jangan sampai sore, ya, Nok. Nanti jam 2 berangkat sekolah ngaji," pesan ibunya Ratmi.

"Iya, Bu!" seru Ratmi. Kemudian semua anak buahnya turut berpamit dan mencium tangan ibunya Ratmi. Hal yang lumrah ketika bertemu dengan orang tua salah satu teman, maka semua akan bersalaman dan berucap salam. Sungguh sopan anak-anak pada zaman itu.

Setelah berburu jamur dirasa cukup dan mengisi satu cepon (tempat penyimpanan yang biasanya terbuat dari bahan plastik atau anyaman bambu), mereka bawa ke rumah Ratmi untuk dimasak ala kadarnya. Ditumis dengan cabe rawit yang diiris tipis menyerong, bawang putih, dan merah seadanya, serta sedikit air. Lalu, ditambahkan kecap manis supaya tidak begitu membakar lidah akibat irisan rawit yang kadang buahnya terlalu tua dan sangat pedas.

Tumis jamur sudah siap, masing-masing pulang mengambil sepiring nasi dan membuat janji untuk bertemu di batu besar di dekat gubuk yang berada di tengah sawah. Termasuk Kiara, ia membawa sepiring nasi dari rumahnya, berjalan hati-hati menyusuri tegalan untuk sampai di batu sangat besar yang berada di tengah lahan sawah itu. Rupanya, teman-teman sudah menantinya di atas batu besar itu. Mereka tidak akan mulai makan sebelum personilnya hadir lengkap di sana. Menikmati sepiring nasi hangat dengan tumis jamur pedas manis yang dimasak sendiri, ditemani semilir angin pagi hari sangat mendamaikan, terlebih dengan tawa dan senda gurau bersama kawan-kawan. Tentu nafsu makan akan bertambah dan makanan menjadi lebih sedap berselera.

Bila suara dari surau sudah terdengar, tanda jika azan zuhur akan berkumandang. Lalu, para orang tua memanggil anak-anak mereka yang masih berada di atas batu untuk segera pulang. Uniknya, para orang tua tidak perlu turut menghampiri mereka ke tengah lahan sawah, cukup dengan bertepuk tangan beberapa kali dan melambaikan tangan supaya mereka kembali, maka anak-anak itu akan menurut pada orang tua dan pulang ke rumah masing-masing. Setelah itu, maka petualangan hari itu berakhir, keseruan masa kanak yang akan menjadi cerita di masa depan tercipta sudah.

Suatu hari, orang-orang berseragam rapi, nampak tampan dengan pakaian seragam berwarna biru terang dan beberapa menggunakan batik, dan khaki. Menunjukkan jika mereka orang-orang "dinas" yang sering terlihat dari balik kantor Dinas Pekerjaan Umum yang kantornya berada di dekat lingkungan tempat tinggal mereka.

Kiara melihat, orang-orang itu tengah melakukan pengukuran di tengah sawah. Kadang di hari-hari berikutnya, Kiara memperhatikan orang-orang itu bertamu dan mengobrol dengan kakek dan neneknya, entah membicarakan hal apa. Namun, suatu ketika Kiara mendengar kabar jika lahan sawah milik kakek di belakang rumah akan dijual kepada mereka.

Saat truk-truk berdatangan melewati jalanan sempit di sisi rumahnya, Kiara melihat dengan bahagia truk-truk itu membawwa pasir yang mengubur lahan sawahnya. Satu, dua, tiga, ..., puluhan, ratusan truk terus berdatangan dan menutup lahan hingga tak terlihat lagi penampakan sawah yang hijau itu. Lalu, buldoser berdatangan mengobrak-abrik gubuk kesayangannya, saat itu batu besar tempatnya bermain pun dihancurkan hingga rata dengan tanah.

"Kek, kenapa semua disama ratakan dengan tanah? Mengapa gubuk kakek dihancurkan?" tanya Kiara dengan air mata nyaris jatuh dari kelopaknya, dia menyaksikan semuanya. Hatinye sangat teriris saat kakek memberi penjelasan jika sawah itu akan dibuat terminal bayangan supaya bus-bus tidak berhenti di bahu jalan.

"Apa harus merusak gubuknya? Apa harus mengubur sawahnya, Kek?" 

Kakek menunduk, menatap Kiara yang berdiri di sisinya. Tangan kakek yang semula di bahu Kiara, kini mengusap kepala gadis kecil itu. Diberikannya anggukan kepala dan belaian di kepala Kiara sebagai jawaban seolah mengatakan jika kita mau tidak mau harus menerimanya dan tidak bisa menyelamatkan lahan sawah itu.

Hingga Kiara merasa sesuatu telah hilang dari hidupnya, sawah yang hijau kini selamanya takkan pernah terlihat lagi hijaunya. Semua telah berubah menjadi lahan tak berumput sama sekali. Semilir angin yang dulu berembus sejuk, kini menjadi panas dan terik di sepanjang siang. Bertahun-tahun telah berlalu, bahkan setelah rampung melanjutkan studi sarjananya, ia kembali ke rumah masa kecilnya. Rumah yang dulu terletak di tengah pedesaan, kini berada di tepian jalan raya yang lebar. Kendaraan yang berlalu lalang, dan halaman rumah yang dulunya kebun mangga menjadi jalan raya yang padat dan selalu macet. Debu polusi menjadi pemandangan sehari-hari. Kiara berkeliling, menatap salah satu sudut dulunya di sana tempat berdiri sebuah gubuk, sekarang menjai toilet umum. 

Di atas tanah yang sama, kini Kiara memandangi sekitar. Kenangannya berlarian di tepian pematang sawah; berpanen ria kala musim panen tiba; berburu jamur merang di tengah tumpukan jerami yang basah; berpetualang hingga senja mengundang. Kini lahan bertanah liat yang dulu menjadi tempat menghabiskan masa kecilnya itu sudah hilang wujudnya. 

Batu besar di tengah sawah itu kini telah rata dengan tanah, masih terang di ingatannya seakan dia mempunyai hubungan dekat dengan batu besar yang telah menjadi saksi betapa bahagianya dia di masa kecillnya. Tidak ada lagi kehijauan yang menghampar luas. Semua menjadi rata dengan tanah, beberapa sudutnya telah menjadi rumah-rumah penduduk yang berjajaran. Padi-padi yang dulu tumbuh gemuk nan hijau menjulang dan batangnya yang semakin kemuning kala siap dipanen. Kini benar-benar tiada lagi wujudnya, berubah menjadi jalan beraspal yang lebar tempat bus-bus, truk, mobil, dan motor berjubal padat membuat kemacetan lagi-lagi yang dia lihat rumah-rumah warga berdiri ddi atas luas hamparan hijau yang masih dapat diingat jelas meski sudah lima belas tahun berlalu. 

Semua yang tersisa hanya kenangan, sawah itu akan selalu ada dalam memori ingatannya walau kini sudah rata menjadi jalan beraspal.

Hai, Sob Kompasiana!

Cerpen ini belum sempurna. Hanya saja saya tulis untuk mengungkapkan perasaan hati akan kekhawatiran yang sempat mendera beberapa kali kala saya melihat kampung halaman. Jalan desa, lahan-lahan sawah, dan perkebunan jagung; cabai, dan lainnya yang dulunya tumbuh subur hijau, kini semua berubah gersang dan berganti menjadi infrastruktur publik dan perumahan. Lantas bertanya-tanya, apakah semua sawah dan perkebunan akan berubah menjadi infrastruktur dan apakah pasokan beras dalam negeri akan tetap terjaga? 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun