Kesehatan merupakan hak setiap orang yang wajib untuk dipenuhi. Bahkan, di dalam Islam, kesehatan merupakan nikmat terpenting kedua setelah keimanan. Dengan menjaga kesehatan maka seorang hamba bisa menjalankan ibadah dengan lebih lancar.
Mahalnya Biaya Kesehatan
Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menghadapi risiko beban jaminan kesehatan yang lebih tinggi dari penerimaannya. Muncul saran agar iuran naik, tetapi berdasarkan perhitungan terbaru, iuran BPJS naik hingga 10% pun ternyata tidak cukup dan masih berpotensi menyebabkan defisit dana jaminan sosial (finansialbisnis, 7-12-2024).
Mahalnya biaya kesehatan di negeri ini dan berbagai penjuru dunia merupakan konsekuensi logis ketika sistem dan pelayanan kesehatan dikapitalisasi.
Di Indonesia, kenaikan iuran BPJS seolah-olah dijadikan solusi yang tidak bisa dihindarkan karena inflasi kesehatan. Padahal penyebab hakiki defisit BPJS adalah mahalnya biaya kesehatan. Meskipun iuran dinaikan, tidak akan pernah cukup untuk menutupinya.Hal ini tentu menambah beban hidup rakyat.
Belum lagi, terdapat faktor lain, seperti managemen yang bermasalah. Hal ini digadang-gadang telah mewarnai pengelolaan dana, misalnya operasional yang besar, yang dicurigai digunakan untuk membayar gaji petinggi pengelola BPJS?
Layanan Kesehatan yang Kurang dan Tidak Merata
Selain mahal dan kurang pendanaan, ternyata layangan kesehatan di Indonesia juga mempunyai permasalahan yang lain, yaitu kurangnya tenaga kesehatan profesional dan tidak meratanya layanan kesehatan. Alhasil banyak penduduk yang melakukan pengobatan mandiri, tanpa konsultasi ke tenaga kesehatan.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah, Suyuti Syamsul, menegaskan kebutuhan dokter saat ini masih banyak. Lantaran apabila mengikuti rasio baru, setiap seribu penduduk, memerlukan satu orang dokter. Dengan penduduk Kalimantan Tengah berjumlah sekitar 2,7 juta jiwa, artinya memerlukan 2.700 dokter. Namun saat ini, jumlah dokter hanya berjumlah 800 orang, sehingga masih memerlukan sekitar 1.900 dokter lagi untuk mencapai ideal (rri, 01-10-2024).
Selain itu, terjadi fenomena mengobati sendiri yang cenderung banyak terjadi di wilayah perdesaan. Sekitar 80,9% masyarakat pedesaan dan 78,8% masyarakat perkotaan masih melakukan pengobatan sendiri (goodstats, 06-06-2024).
Buah Penerapan Sistem Kapitalisme
Fakta di atas menggambarkan bahwa fasilitas dan nakes di negeri ini masih belum merata. Selain itu, karena berbenturan dengan biaya yang mahal masyarakat justru memilih mengobati sakitnya dengan ala kadarnya secara mandiri. Tak jarang penyakitnya justru lebih parah dan mengancam nyawa karena tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai.
Sejatinya jaminan kesehatan adalah hak semua orang yang wajib dipenuhi oleh negara sebagai penanggung jawab rakyatnya, baik miskin ataupun kaya. Namun paradigma kepemimpinan kapitalisme sekuler neoliberal telah membuat penguasa menjadi normal berbuat semaunya, termasuk memaksa dan membebani rakyat, bahkan pada perkara yang bukan menjadi kewajibannya.
Mirisnya lagi ketika syahwat bisnis para korporasi ini justru berujung pada rekayasa pelayanan kesehatan. Bagi pasien miskin, atau yang hanya memiliki kartu BPJS KIS tidak diberikan sejumlah pelayanan yang dibutuhkan. Namun, sebaliknya, bagi pasien yang berduit akan diberikan pelayanan yang dibutuhkan. Padahal, kondisi ini bukan hanya bisa memperparah penyakit penderita, bahkan bisa sampai mengancam nyawa.
Kondisi ini diakibatkan penerapan sistem kapitalisme sekuler neoliberal yang hampir selalu menimbulkan kezaliman. Negara dalam sistem ini hanya bertindak sebagai regulator dan fasilitator, bukan sebagai pengurus umat. Bahkan, negara membangun hubungan dengan rakyat seperti halnya pedagang dan pembeli, hanya memikirkan untung rugi, termasuk dalam hal pelayanan publik. Mirisnya, regulasi ini dijalankan untuk memfasilitasi hal yang membahayakan rakyat.
Selain itu, kehidupan masyarakat dibiarkan bergelut dengan faktor pemicu penyakit, akibat buruknya pemenuhan kebutuhan fisik dan nonfisik. Hal ini bukan hanya diakibatkan oleh kebijakan dalam sektor kesehatan, tapi juga dari luar sektor kesehatan.
Sistem Kesehatan Islam
Sistem Islam tentu bertolak belakang dengan sistem sekuler kapitalisme neoliberal. Dalam pandangan Islam, kesehatan merupakan kebutuhan pokok setiap individu yang menjadi kewajiban negara secara syar'i untuk memenuhinya, tanpa memandang miskin atau kaya, muslim ataupun kafir. Karenanya, negara wajib mengupayakan pemenuhan hak setiap individu ini dengan sebaik-baiknya, mudah dalam administrasi, dilakukan oleh tenaga profesional, berkualitas dan berbiaya murah bahkan gratis.
Semua ini dapat terwujud karena Islam memiliki mekanisme jaminan kesehatan yang lengkap dari hulu hingga hilir. Prinsip penjagaan kesehatan diatur sebagai bagian penerapan hukum syarak yang sifatnya mengikat individu,masyarakat hingga negara.
Pelayanan kesehatan dalam Islam dibagi dalam yang bersifat preventif seperti pembudayaan individu untuk hidup sehat dengan mengonsumsi makanan halal dan thayyib, berolahraga, menjaga kebersihan, dan sebagainya. Selain itu ada juga langkah kuratif (penyembuhan penyakit), rehabilitatif (pemulihan kesehatan) hingga promotif (peningkatan kesehatan).
Pembiayaan sistem kesehatan ini ditopang oleh sistem ekonomi negara Islam yang sangat kuat. Pembiayaan ini didapatkan dari sumber pemasukan negara yang berasal dari pengelolaan kepemilikan umum, seperti SDAE yang lebih dari cukup untuk memberikan modal pemberian layanan kesehatan terbaik bagi rakyat, mulai dari ketersediaan nakes yang profesional dan memiliki integritas, alkes, faskes baik di kota maupun pelosok, obat-obatan, hingga riset dan pengembangan sistem kesehatan.
Sistem ini juga didukung dengan penerapan sistem sanksi hukum Islam yang akan menutup semua celah penyimpangan dalam sistem layangan kesehatan, seperti malapraktik dan bisnis kesehatan dengan biaya melangit di luar nalar.
Pada masa keemasan Islam, kaum Muslim secara sadar melakukan penelitian ilmiah di bidang kedokteran sehingga mampu memberikan kontribusi yang orisinal dan tidak kaleng-kaleng di bidang kedokteran.
Al Kindi di abad 9 berhasil menunjukan aplikasi matematika guna kuantifikasi di bidang kedokteran, misalnya untuk mengikuti kekuatan obat, derajat penyakit, dan menaksir saat kritis pasien.
Ibnu Sina pada tahun 1037 menemukan termometer, walaupun standarisasi celsius dan fahrenheit baru ditemukan berabad-abad kemudian.
Abu al-Qasim az-Zahrawi dianggap sebagai bapak ilmu bedah modern, sebab dalam kitab tashtif (ensiklopedia 30 jilid) yang dipublikasikan pada tahun 1000 M, sudah menemukan banyak hal yang dibutuhkan dalam bedah, termasuk 200 alat bedah dan plester.
Dan masih banyak lagi ilmuan Muslim yang berhasil mememberikan kontribusi luar biasa dalam bidang kedokteran. Prestasi tersebut terjadi karena adanya negara yang menerapkan Islam secara kafah, yang mampu mendukung aktivitas riset dan pengembangan kesehatan. Anggaran yang dikucurkan diambil dari kas negara yang digunakan untuk aktivitas ini bukanlah anggaran yang sia-sia.
Wallahu a'lam bisshowab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H