Aktivitas mengambil sampah sudah selesai, kami memutuskan untuk mulai menyapu daun kering yang berhamburan. Pada saat yang bersamaan, sudah ada sekelompok orang yang mulai menyapu juga.
Kuedarkan pandanganku, seseorang berbaju hitam bercorak garis putih mengikat pandanganku. Pasalnya, sempat kulihat ia adalah salah satu warga desa yang tadi ikut mengelilingi tiga orang tadi. Namun mengapa sekarang ia sedang berduduk santai sambil menarikan jempolnya di atas ponsel pintar miliknya? Bukankah harusnya ia ikut membantu yang lain? Aku tak paham. Dan aku juga memutuskan untuk tidak terlalu peduli, mungkin kondisinya sedang tidak baik.
Seseorang menumpukan salah satu tangannya pada bahu kananku. “Kamu udah liat kondisi kolam yang tadi kamu bilang?” Seseorang yang merupakan saudara kandungku sendiri sedang berdiri memakai sarung tangan yang sama denganku. Atas peringatan kakakku, aku mulai berlari tanpa memberikan jawaban apa pun karena tubuhku terlanjur memberikan perintah untuk berlari melihat kondisi kolam kecil tersebut.
“Wah….” Adalah kata yang kupilih sebagai reaksi diantara ribuan kata lainnya. Dan selanjutnya perasaan bingung menjadi pilihanku untuk dirasakan. Bagaimana tidak? Angan-anganku terwujud tanpa kuketahui prosesnya. Air jernih yang dapat mengunci penglihatan orang lain, tumbuhan yang menari menyapa orang ketika sedang lewat, bahkan bunga yang sedang memamerkan afsunnya disajikan di hadapanku saat ini.
Satu hal yang baru kusadari, tumbuhan kering yang biasanya menyambutku sudah tak ada lagi, hanya ada tumbuhan dahayu yang sedang duduk rapi. Dan juga sekarang, semuanya sedang berusaha untuk menebang pohon tua untuk diganti dengan yang baru. Kuharap aku bisa membantu mereka, sayangnya aku tidak memiliki tenaga yang cukup.
“Suka?” Suara yang tak asing dapat kudengar. “Kakak?!” Sekarang, gelak tawa menjadi hal yang dapat kudengar. “Gimana? Sekarang kondisinya masih kering sih, tapi nanti bakal jadi hijau kok tumbuhannya.” Matanya yang tadi terbakar api semangat saat kami pertama kali bertemu sekarang mulai padam ketika semua pekerjaan sudah selesai dilakukan.
Plastik dengan air dan ikan yang tadi kulihat kembali ditunjukkan kepada diriku. “Ini ikannya buat kamu, Kakak tugasin kamu buat rawat ikan ini ya, jangan sampai mati sebelum keadaan desa ini kembali hijau,” titahnya yang tak akan pernah kubantah. “Siap Kak, aku pindahinnya nanti aja ya, Kak.” Anggukan kepala kuterima sebagai izin akan tindakan yang akan kulakukan nantinya.
“Kak,” panggilku yang hanya dibalas dengan gerakan kepala yang berpindah dari menatap si ikan yang sedang menggeliat menjadi ke arahku. “Berarti abis ini, Kakak enggak akan ke sini lagi ya?” Perasaan sedih mulai tampil pada mimik wajahku. “Masih banyak tempat yang harus Kakak bantu, kamu enggak mau kan cuma desa kamu yang bersih? Pasti seru kalau tempat lain juga bisa jadi kayak gini.” Genangan air mulai berkumpul di mataku sedang berpegangan erat berusaha untuk tidak jatuh.
“Berarti ikan ini sebagai tanda perpisahan kita ya, Kak?” Kuarahkan kepalaku untuk melihat ikan tersebut yang terlihat tidak nyaman akan kecilnya akses ia bergerak. “Bisa dibilang gitu, makanya rawat baik-baik ikan ini untuk Kakak ya?” Suara bising menjadi akhir dari percakapan kita sebelum akhirnya perpisahan pun menjadi hal yang ditinggalkan mereka di desa ini.
Kugenggam erat plastik berisi ikan itu di tangan kananku dan kutugaskan tangan kiriku untuk berlambai-lambai pada bus yang sedang mengantarkan ketiga orang asing tadi yang telah membantu desa ini menjadi lebih asri.
Swastamita mulai menampilkan dirinya pertanda sebentar lagi malam akan menjadi latar dari ribuan bintang. Maka, sebelum bintang mulai bernyanyi untuk mengantarkan orang pada fantasi tak terbatasnya, aku memutuskan untuk memberikan tempat yang lebih luas pada makhluk berinsang ini.