Mohon tunggu...
Vivi natalia Gunawan
Vivi natalia Gunawan Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Hobinya Menggambar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Asan

9 November 2023   10:56 Diperbarui: 9 November 2023   11:32 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 Kuandalkan penglihatanku untuk memahami apa yang sedang terjadi. Dapat kutangkap sebuah bus menunggu di sana dan terdapat tiga orang asing yang dikerumuni oleh warga desa tempat tinggalku. Tak dapat kulihat sama sekali perawakan dari ketiga orang tersebut. Aku hanya bisa melihat tiga kepala yang menghadap warga desa ini dan aku anggap mereka adalah orang asing yang mungkin sedang berkunjung ke sini.

Aku berusaha untuk membuka lebar daun telingaku namun tetap tidak ada suara yang berhasil masuk seakan-akan terdapat benda yang menutupi akses pendengaranku begitu rapat.

 Seorang dari tiga orang asing tadi sedang berusaha untuk keluar dari kerumunan, entah apa motifnya. Mulutnya tak berhenti mengatakan sesuatu dan tangannya terus menghadang kerumunan seakan sedang melawan arah di jalan raya. Menghirup napas menjadi hal yang dilakukan berulang kali ketika orang tersebut sudah berhasil keluar dari kerumunan orang banyak itu.

 Tubuhku tetap diam memberi waktu kepada otakku untuk bekerja. Namun, apakah ini hanya perasaanku atau orang tadi mulai mendekat ke arahku? Kukunci pandanganku untuk melihat perawakan orang tersebut. Rambut hitam bergelombang yang diikat rapi, kemeja tipis berwarna biru, kulit kecokelatan yang menawan serta mata coklat yang berkobar semangat namun tetap dapat kulihat antariksa di dalamnya menjadi kesan pertamaku kepadanya.

 “Haii, kamu mau bantu Kakak enggak?” Aku tolehkan kepalaku ke kanan dan kiri untuk melihat apakah ada orang lain selain diriku. “Iya kamu, enggak ada orang lain lagi di sini.” Aku tak memberi respons apa pun, hanya perasaan bingung yang dapat kurasakan. Tak mendapat kata apa pun dariku, kakak tersebut mulai membuka tasnya dan terlihat seperti sedang mencari sesuatu dengan jari lentiknya.

 “Kakak mau pelihara ikan di sini, kira-kira ada tempat yang cocok enggak ya, Dek?” Mataku mulai menampilkan sinar seakan berubah menjadi bintang ketika melihat seekor ikan yang tersimpan di dalam plastik kecil yang sedang digenggam oleh kakak di hadapanku ini. “Ada Kak, tapi tempatnya kotor….” Kutundukkan kepalaku karena kembali teringat akan kondisi kolam kecil tersebut. “Tenang, ayo, bersihin bareng-bareng sekalian bersihin lingkungannya juga ya,” ajaknya. “Tapi kita cuma berdua, gimana caranya?” Kembali kutatap kakak di hadapanku ini. “Kita kerjain yang kita bisa dulu, nanti mereka bakal bantu kita kok.” Tunjuknya ke arah warga yang masih sibuk berkumpul.

 Kakak berambut hitam tersebut mengambil tempat sampah berwarna hijau dengan ukuran yang sangat besar. Tingginya sedikit lebih pendek dariku. “Plastik, botol-botol, dan sampah lain bisa kamu ambil dan buang di sini. Jangan lupa pake sarung tangan, ada di deket bangku yang tadi kamu dudukin, ambil aja.” Kuposisikan jemari tanganku di dekat pelipis seperti pasukan yang sedang hormat pada perintah pemimpinnya. “Siap, Bos!” Sunggingan senyum pun kuterima sebagai tanggapan.

 Kujalan menuju ke tempat keberadaan sarung tangan tersebut sebelum aku akan memulai aktivitasku. Kusesuaikan sarung tangan tersebut di tanganku. “Agak kegedean, tapi enggak papa deh,” ujarku dalam hati sembari memperhatikan sarung tangan yang telah kupakai.

 Kurendahkan posisi tubuhku untuk mengambil sampah yang berserakan dan kubawa ke tempat sampah berwarna hijau tadi. Kegiatan tersebut terus aku lakukan berulang kali bersama salah satu kakak dari ketiga orang tadi.

 Saat sedang membuang plastik bekas makanan yang entah sudah berapa kali kulihat, mataku sampai pada suatu hal. “Kak, kok orang lain belum bantuin kita?” Pertanyaanku berhasil membuat orang yang kupanggil berhenti melakukan aktivitasnya. “Sabar aja, nanti juga mereka bantu, kita fokus aja.”

Tak puas dengan jawabannya, kembali kulontarkan sebuah pertanyaan. “Kalau gitu, kok Kakak di sini? Mereka yang lagi ngomong itu temen-temennya Kakak kan?” Lagi-lagi, secara tak sengaja, kuhentikan aktivitasnya demi menjawab pertanyaan keduaku. “Dibanding ngomong terus-menerus, Kakak lebih suka langsung dikerjain aja. Liat, kita udah ngebersihin segini sedangkan mereka masih ngomong kan? Padahal kita cuma berdua.” Sekali lagi, pikiranku kembali merangkai kalimat pertanyaan atas jawaban yang telah diberikan. “Tapi bukannya memberi tahu itu penting? Kalau kalian langsung bersih-bersih, pasti enggak ada yang paham dan malah nganggep kalian aneh.” Perkataanku tak lagi memberhentikan aktivitasnya, fokusnya sekarang sudah penuh padaku. “Iya, emang bener, apalagi ini tugas kan, kita butuh dokumentasi, dan lain hal. Tapi inikan tugas kelompok, dan Kakak enggak mau ambil bagian itu, Kakak bagian langsung bersihin aja, lebih seru.” Dan akhirnya semua soal telah terjawab penuh oleh jawaban kakak tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun