Langkah kecil kutapakkan secara perlahan sembari kulemparkan pandanganku ke seluruh arah. Botol plastik, kantong keresek, dan kaleng minuman berkarbonasi serta tempat tinggal yang aku sendiri tak yakin dapat menahan derasnya hujan atau tidak adalah hal yang pertama kali menyapa indra penglihatanku. Semakin jauh diriku dari rumah, semakin banyak juga benda yang takku harapkan berhasil ditangkap oleh mata hitamku. Rerumputan gersang yang warnanya tidak lagi hijau serta pohon-pohon tua yang sudah kehilangan daya tariknya juga menjadi pemandanganku saat ini. Tak sengaja, kuantarkan pandanganku pada sebuah kolam kecil yang mungkin ukurannya tak lebih besar dari kamarku sendiri. Tak ada apa pun di sana. Hanya ada air tenang tak terawat yang warnanya sudah menggelap.
“Akan semakin cantik jika ada ikan di kolam ini,” pikirku sembari membayangkannya. Semakin dalam kulihat, semakin besar juga keinginanku untuk mewujudkan angan-angan tersebut. “Mungkin akan menyenangkan jika aku bisa menciptakan tempat tinggal bagi ikan di sini,” bibirku tersenyum, “dan tentu merawatnya.”
“Tari, lagi ngapain?” Kutolehkan kepalaku menghadap ke sumber suara yang ditangkap oleh telingaku. “Tidak sedang apa-apa, Bu,” balasku menanggapi pertanyaan ibuku. “Ayo, makan dulu, Ibu udah masak. Bangunin kakakmu juga ya, sekalian ajak makan juga,” titahnya yang langsung kubalas dengan anggukkan kepala. “Baik, Bu.”
Kembali aku menapakkan kakiku ke arah kebalikan dari datangnya aku ke kolam ini. Kakiku terus menyentuh tanah dan pikiranku tak henti memikirkan angan-angan akan eloknya kolam kecil tersebut jika berhasil kupelihara nantinya. Air tenang yang tak terlihat warnanya, ikan yang dapat dilihat secara langsung dengan kasat mata, tumbuhan asri yang meliuk-liuk diterpa anila serta cahaya terik yang dikeluarkan oleh sang bagaskara membuatku seakan-akan meminum vitamin serotonin.
Decitan pintu terdengar akibat dari terbukanya pintu rumah. Terkejut adalah hal yang pertama kali kurasakan saat kumenatap ke arah meja makan yang jaraknya tak jauh dari pintu masuk.
“Loh, Kakak udah bangun? Baru aja Ibu minta aku buat bangunin Kakak.” Langkahku mendekat untuk bergabung dengannya. “Kamu abis dari mana emangnya?” tanyanya sembari membuka mulutnya kembali untuk memasukkan makanannya. “Abis keliling desa, aku bosen di rumah,” jawabku seadanya. Selanjutnya, hanya ada suara aduan piring dan sendok yang memenuhi seisi ruangan.
“Kak,” panggilku, kembali memulai percakapan. “Kenapa? Mau nambah nasi?” duga kakakku. “Enggak, aku mau nanya, Kakak tahu kolam kecil yang deket rumah kita itu?” Bisa kulihat kakakku tampak sedang berpikir, mungkin sedang menerka-nerka kolam yang aku maksud. “Kolam? Yang di belakang rumah kita tapi agak jauhan lagi itu?” Tunjuknya mengarah ke belakang rumah. “Iya yang itu, Kakak tahu?”
Hanya gerakan kepala yang dimiringkan yang kuterima sebagai jawaban. “Tahu kayaknya, tapi itu udah kotor kan seinget Kakak.” Entah mengapa, ada sesuatu perasaan yang mengganjal di hatiku begitu mendengarnya. “Udah kotor? Maksudnya?” tanyaku penasaran. “Iya, dulu pas Kakak masih kecil, kolam itu sering banget didatengin anak-anak buat sekedar main air, tapi tiba-tiba kotor. Kakak juga enggak inget kapan kondisinya jadi begitu.”
Perasaan sedih dan kesal mengetuk hatiku begitu mengetahui hal yang sebenarnya. Dan perasaan tersebut tinggal cukup lama di hatiku bahkan hingga aku sudah selesai mengisi perutku.
Helaan napas kukeluarkan dengan harapan perasaan tersebut dapat terusir juga. Namun belum berhasil hilang juga hingga aku memutuskan untuk beristirahat sejenak di rerumputan gersang di depan rumahku sembari menengadahkan kepalaku menatap tumpukan awan mencari ketenangan di sana. Tak lama, kututup mata bulatku secara perlahan akibat rasa kantuk yang mulai memeluk diriku.
Belum sampai kumenemui bunga tidur, suara bising menusuk telingaku hingga mengejutkan seluruh tubuhku. “Ada apa di sana… kok rame banget?” batinku bertanya. Secara spontan, aku mulai menegakkan tubuhku namun kakiku terasa kaku seperti ada yang memegangnya secara erat.