Jika membahas tentang perkembangan, maka hal tersebut tidak akan ada habis-habisnya. Karena sedikit kemungkinan ada perkara yang tidak mengalami perkembangan, baik itu yang memberikan dampak positif ataupun negatif.Â
Tapi tentunya, sebuah perkembangan lebih banyak mengarah ke dampak positif daripada negatif. Ya, namanya saja perkembangan. Sebuah hal yang merubah sesuatu menjadi bentuk yang lebih baik.
Tak terkecuali dengan pendidikan. Semakin pesatnya perkembangan zaman, semakin banyak pula perkembangan yang akan terjadi. Kita dapat meninjau kilas balik perkembangan pendidikan dari zaman ke zaman, dimulai dari adanya sekolah untuk penduduk tanah jajahan yang ditangani oleh Nederlands Zendelingen Genootschap atau NZG sebagai maskapai yang membiayai pendidikan hingga VOC mendirikan sekolah yang pada awalya hanya diberi pelajaran yang melekat dengan agama kristen.Â
Supriadi (2003) menyampaikan keterangan bahwa pada masa itu pendidikan tradisional sebenarnya sudah ada, terutama pendidikan berbasis agama Islam yang tidak tersentuh oleh VOC. Materi pelajaran lebih ditekankan pada kemampuan untuk menulis, berhitung, dan membaca dalam bahasa Melayu yang menjadi bahasa perdagangan sehari-hari masa itu.
Hingga VOC bubar, pemerintahan berganti, sistem pendidikan pun ikut terganti. Pemerintahan terganti di pimpin oleh Daendels. Pada masa pemerintahan Daendels, ia mengarahkan beberapa bupati-bupati di Jawa untuk mengorganisir sekolah-sekolah untuk anak-anak yang berasal dari/pribumi dengan suatu kurikulum yang mencakup kultur Jawa dan agama sehingga anak-anak itu akan tumbuh hingga menjadi anak Jawa yang baik.
Lalu pendidikan berubah lagi dibawah pimpinan Jepang. Suatu hal yang menarik dalam kebijakan pendidikan pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945) adalah meskipun waktunya singkat, terjadi perubahan yang sangat penting dalam kebijakan pendidikan di Indonesia.Â
Dimulai dari kebijakan nama sekolah berganti menjadi berbahasa Indonesia maupun Jepang yang sebelumnya berbahasa Belanda, bahasa Indonesia menjadi bahasa wajib di sekolah, Kepala sekolah tidak lagi orang Belanda melainkan orang Indonesia yang dianggap senior, para siswa dan guru hampir setiap hari latihan baris berbaris model tentara Jepang.
Begitu masuk pada zaman kemerdekaan (1945-1949), suasananya masih diliputi oleh perang ataupun revolusi fisik. Baru sejak tahun 1950-an pemerintah Indonesia mulai dapat membenahi pendidikannya dalam keadaan yang lebih tentram. Tetapi tentu saja keterbatasan sumber daya (dana, tenaga, dan sarana) membuat laju perkembangan pendidikan berjalan lamban.
Supriadi (2003) mengatakan pada zaman Demokrasi Terpimpin (Orde Lama), sebetulnya secara kuantitatif pendidikan di Indonesia mengalami perkembangan yang berarti. Tetapi secara kualitattif pendidikan bangsa Indonesia saat itu mengalami kemandekan karena konflik-konflik/pertentangan ideologi, yang menempatkan persekolahan sebagai wahana ideologisasi dan proses internalisasi sosialiskomunisme.
Di era reformasi, semangat anti Orde Baru begitu membara di awal reformasi. Tujuannya adalah sistem pemerintahan yang secara fundamental akan berubah dari sistem super-sentralistik menjadi sistem yang super-desentralistik. Ironisnya, gerakan reformasi dan kebangkitan otonomi daerah telah meningkatkan angka putus sekolah sejak dini.Â
Secara nasional rata-rata untuk semua jenjang SD dan SMP hingga SMA  dari tahun 1997 sampai 2000 adalah 5%. Pemerintah  memang berusaha untuk tidak mengabaikan sektor pendidikan, namun rata-rata 12% setiap tahunnya dalam masa krisis.
Pada masa pemerintahan Habibi, terlihat perbaikan dari masa pemerintahan Gasdur. Pada masa pemerintahan Megawati, kurikulum pendidikan Indonesia mengalami perubahan, antara lain perubahan dari kurikulum 1994 menjadi kurikulum 2000 (KBK) dan adanya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.Â
Hal itu disahkan pada 8 Juli, yang disetujui pada tahun 2003. Pada masa pemerintahan SBY, UU No. 20/2003 masih berlaku. Begitu pula untuk UU RI Nomor 14 Tahun 2003 Tentang guru dan dosen. Setelah itu, KBK diubah menjadi KTSP berdasarkan PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Sistem pendidikan Indonesia saat dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), telah menetapkan standar bahwa semua anak  Indonesia berhak atas pendidikan yang sama.Â
Dengan demikian, diadakanlah program Bantuan Manajemen Sekolah (BOS) dan beasiswa bagi siswa kurang mampu yang dikenal dengan Bidik Misi.Â
Berbeda dengan SBY, saat pimpinan Presiden Joko Widodo fokus pada kualitas talenta (SDM) agar mampu bersaing di pasar global. Sistem pendidikan  Indonesia menjadi lebih menitikberatkan pada penelitian, pengembangan teknologi dan pengembangan keilmuan murni.
Menurut PricewaterhouseCoopers (PwC), Indonesia sebagai negara berkembang diperkirakan akan menjadi ekonomi terbesar  dunia pada tahun 2050. Salah satu pendorongnya adalah tumbuhnya kelas menengah yang didukung oleh tingkat pendidikan yang tinggi dan berkeadilan.
Tentunya untuk mencapai kondisi tersebut perlu segera diselesaikan berbagai permasalahan yang terjadi di Tanah Air. Seperti yang ditunjukkan oleh Rodrigo A. Chavez, Country Director Bank Dunia Indonesia, kelas menengah memegang kunci untuk membuka potensi Indonesia.
Untuk mencapai hal ini, pemerintah harus mendukung pertumbuhan kelompok ini dalam segala hal. Ini termasuk membantu meningkatkan kualitas pendidikan dan keterampilan penduduk, serta mempromosikan akses luas ke penciptaan lapangan kerja dan  perlindungan sosial.
Indonesia memang terus memberikan pendidikan inklusif yang berkualitas. Sayangnya, Bank Dunia mengatakan Indonesia masih tertinggal dalam hal tingkat melek huruf dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Â Bank Dunia melaporkan bahwa hanya 55% orang yang dapat membaca dan menulis dalam persentase. Jumlah ini tentu lebih tinggi dari Vietnam yang mencapai 20 persen dari total penduduk.
Di sisi lain, jumlah pelajar Indonesia yang belajar di luar negeri  terus meningkat. Data UNESCO menunjukkan peningkatan 62% untuk jumlah pelajar Indonesia yang belajar di luar negeri antara tahun 1998-2016.
Alhasil, Indonesia menjadi negara ketiga di Asia Tenggara setelah Vietnam dan Malaysia, serta memiliki jumlah pelajar terbesar di luar negeri. Meski demikian, jumlahnya sangat kecil  dibandingkan kedua negara dengan tingkat pertumbuhan 300%.
Mengingat keadaan ini, Lowy Institute, sebuah think tank Australia, mengatakan pemerintah kurang berinvestasi dalam pendidikan. Misalnya, mendorong pihak swasta untuk berpartisipasi dalam pembangunan lembaga pendidikan yang berkualitas.
Di sisi lain, sistem pendidikan  Indonesia juga dianggap tidak bermanfaat secara sosial bagi guru dan dosen. Guru dituntut untuk terus-menerus mendidik diri mereka sendiri dan meningkatkan kualifikasi mereka, tetapi gaji yang mereka terima seringkali tidak memenuhi persyaratan mereka.
Bank Dunia, OECD, dan ADB bahkan menyebut pemerintah belum menjadikan sektor pendidikan sebagai investasi yang signifikan bagi negara. Hal ini tercermin dalam anggaran pendidikan dan tidak lebih besar dari anggaran lainnya.
Pemerintahan Joko Widodo saat ini mengalokasikan 20% anggaran pendidikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja negara (APBN), namun persentase ini masih terlalu rendah karena negara tetangga ASEAN lainnya bisa mencapai 30-40%.
Harapan kedepannya kepada pemerintah untuk memberikan perhatian lebih khusus lagi di bidang pendidikan sehingga setidaknya Indonesia mulai menunjukkan perubahannya sebagai bentuk perbaikan dan menjadi sistem pendidikan yang lebih baik lagi.
*Penulis: Vivi Aisalwa Zuhrah (mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Muhammadiyah Malang)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H