Nama : Vito Zahria Ardiansyah
222121218 / 3F /HKI
DINAMIKA HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA
ANALISIS LEGISLASI HIUKUM PERKAWINAN ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL
- Sejarah dan sumber pemberlakuan hukum islam
Hukum Islam sebagai hukum Tuhan bersifat kokoh dan tidak  mudah larut seiring berjalannya waktu, sedangkan hukum Islam  sebagai hukum bagi manusia bersifat fleksibel  dan menerima segala tuntutan zaman. Oleh karena itu, hukum Islam tidak boleh kehilangan jati dirinya ketika mengikuti perubahan  dan perkembangan kehidupan sosial masyarakat.  Sebagai hukum ketuhanan, hukum Islam selalu bersumber pada wahyu ilahi. Namun jumlah wahyu ilahi itu terbatas, sedangkan perubahan sosial dalam masyarakat tidak terbatas. Oleh karena itu, keberadaan hukum Islam akan membantu menjembatani kesenjangan antara wahyu dan realitas sosial sehingga tidak terjadi kekosongan hukum.Realitas harus selalu berkesinambungan dan tunduk pada wahyu dan wahyu tidak boleh asing dengan realitas. Dalam kaitan ini, sejarah hukum Indonesia menunjukkan pamor hukum Islam  sebagai hukum tidak tertulis dalam praktik ketatanegaraan, praktik kemasyarakatan, praktik budaya, dan  peraturan hukum.
 Di sisi lain, hukum Islam dalam konteks saat ini masih belum dinamis dan masih dalam batas menjaga identitas Islam dalam menghadapi pengaruh sekuler non-Islam. Para pemikir hukum Islam berpendapat bahwa hukum Islam dalam konteks Indonesia masih sebatas pada  satu fungsi hukum yaitu nahi mungkar dalam arti kontrol sosial, dan belum memaksimalkan fungsinya.dari amar ma'ruf (rekayasa sosial) yang menekankan pada mengedepankan kebaikan dalam arti luas dan praktis. Dari segi sejarah, visi politik penguasa Belanda (VOC) terhadap hukum Islam tentu berbeda dengan kebijakan hukum Hindia Belanda (kolonial) yang juga berbeda  dengan masa pasca Penghapusan Indonesia, khususnya era Orde Baru dan masa kolonial Masa reformasi. Perbedaan ini tercermin pada kebijakan penerapan syariat Islam masing-masing rezim politik. Teori-teori penerapan hukum Islam yang digagas dan dielaborasi oleh beberapa ahli pada masa itu, dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai realitas sejarah.
Selain dilatarbelakangi oleh kepentingan kolonial, pada abad ke-19 mereka ingin menata dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan menggunakan hukum Belanda. Kebijakan hukum ini dilatarbelakangi oleh keinginan untuk melaksanakan sistematisasi hukum yang terjadi di Belanda pada tahun 1838. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, pemerintah Belanda membentuk suatu komisi yang dipimpin oleh Tuan Scholten van oud Harlem sebagai presiden, yang bertanggung jawab untuk menyusun rencana-rencana yang dapat dilaksanakan di Hindia Belanda dan mengajukan usulan sesuai dengan penerapan undang-undang. Oleh karena itu, Pancasila diduga merupakan indikasi munculnya salah satu teori terkait penerapan hukum Islam di Indonesia.
Lahirnya teori-teori tertentu tentang penerapan hukum Islam di Indonesia pada tahun tidak lepas dari kebijakan politik tertentu para penguasa, termasuk pada masa pemerintahan Belanda, ditemukan dua teori yang sangat familiar, yaitu teori kompleksitas penerimaan. Penerimaan Teori Setelah Indonesia merdeka, kebijakan politik pemerintah, Pancasila dan UUD 1945 ditetapkan sebagai sumber hukum, oleh karena itu dalam konteks penerapan hukum Islam, muncul teori yang bertentangan dengan teori-teori kolonial. Bersamaan dengan itu, ketiga teori tersebut menegaskan keberadaan hukum Islam dalam Pancasila dan UUD 1945.
- Perspektif Teori-teori Pemberlakuan Hukum Islam di Indonesia
Seiring dengan tumbuh dan berkembangnya agama Islam, hukum Islam telah lama ada dalam kesadaran hukum masyarakat Islam di Indonesia. Mengenai penerapan hukum Islam secara teoritis, terdapat bentuk hukum Islam yang diterapkan di Indonesia. Menurut Hamdan Batubara , bentuk hukum Islam yang diterapkan di Indonesia mempunyai dua bentuk , yaitu: pertama adalah , hukum Islam yang terdapat dalam tulisan-tulisan para ulama yang dijadikan pedoman hukum dalam masyarakat , dan yang kedua adalah hukum Islam. Ada bentuk lain dari kedua bentuk tersebut, apalagi jika dikaitkan dengan kebiasaan masyarakat Islam Indonesia. Teori hukum Islam yang diterapkan di Indonesia mencakup aspek yang masih memerlukan perhatian khusus. Pertanyaan tentang penerapan hukum Islam merupakan topik penelitian yang kontroversial. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan pemahaman para ulama terhadap hukum Islam. Upaya menemukan teori penerapan hukum Islam harus dimulai dari mempelajari perwujudan hukum Islam pada masyarakat tertentu. Teori penataan hukum, Teori autoritas atau teori kredo, Teori receptie in complexu, Teori receptie, Teori receptie exit, Teori receptie a contrario, Teori eksistensi.
BAB 2 PEMBERLAKUAN UU RI. NO.1 TAHUN 1974 DAN KHI
- Dinamika UU RI No.1 Tahun 1974 dalam Sistem Hukum Nasional
Dapat dipahami bahwa di negara-negara Muslim dan di negara-negara dengan populasi Penerapan hukum keluarga Islam di negara-negara Muslim dan khususnya negara-negara Muslim dan negara-negara dengan populasi Muslim di mana hukum keluarga Muslim belum diatur secara tertulis, seperti Arab Saudi dan negara-negara anggota Amerika Serikat Uni Emirat Arab. Di negara-negara dengan populasi Muslim, undang-undang keluarga tidak tertulis (undang-undang yang belum dikodifikasi) umumnya ada di negara-negara dengan minoritas Muslim, seperti Burma, Filipina, Thailand dan negara-negara lain. Kedua, negara-negara Islam dan negara-negara mayoritas Muslim yang telah mengkodifikasi hukum, khususnya negara-negara Muslim dan negara-negara mayoritas Muslim di mana para ahli hukum keluarga Islam diatur dalam bentuk undang-undang (undang-undang tertulis). Negara-negara Muslim dan negara-negara mayoritas Muslim telah mengkodifikasikan hukum Islam. khususnya hukum perkawinan termasuk Indonesia dengan hukum Negara Republik Indonesia. Penggabungan undang-undang ke dalam undang-undang tertulis, ditinjau dari sudut pandang hukum Islam, sebenarnya bukanlah suatu hal yang baru dan bahkan bukan suatu hal yang tabu.
Sebagai perbandingan, negara Arab Saudi tidak mensyaratkan undang-undang tertulis, karena Al-Quran adalah referensi utama dalam perayaan pernikahan, dan lebih jauh lagi, negara tersebut tidak mengalami kebingungan dalam kerangka kerangka hukum saat ini.
Konteks di Indonesia inilah yang menjadi sumber munculnya beberapa permasalahan dalam hukum keluarga Islam, khususnya permasalahan yang berkaitan dengan perkawinan. Permintaan ini pertama kali disampaikan pada Kongres Perempuan Indonesia ke- pada tahun 1928, dan kemudian dilontarkan berkali-kali dalam bentuk harapan untuk memperbaiki keadaan perempuan. Usulan perbaikan ini terutama ditujukan kepada kelompok "orang Indonesia asli" yang beragama Islam yang hak dan kewajibannya dalam perkawinan tidak diatur dengan undang-undang tidak tertulis. Tergantung pada sistem hukumnya, peraturan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai ''undang-undang tertulis'' karena tidak tertulis dalam ketentuan undang-undang. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah menerapkan upaya hukum, termasuk pemberlakuan Pencatatan Perkawinan, Talak dan Konsiliasi Undang-undang tahun 1946. Namun perbaikan yang diminta belum tercapai karena peraturan perundang-undangan hanya mementingkan bentuk dan belum substansi, khususnya undang-undang yang mengatur perkawinan itu sendiri. UU Pencatatan Perkawinan, Perceraian dan Perdamaian 1946 merupakan salah satu undang-undang yang diundangkan oleh Pemerintah Republik Indonesia namun dianggap belum lengkap karena hanya yang berlaku di wilayah Jawa dan Madura.
Undang-undang ini tidak dapat sepenuhnya diterapkan untuk melindungi hak-hak istri dan anak dalam kehidupan berkeluarga dengan suaminya. Suami dalam keluarga terkadang berbuat melawan hukum atau melakukan kekerasan karena merasa lebih unggul dan istri ditempatkan pada kedudukan yang lebih rendah.
Menurut Hartono Mardjono Keabsahan suatu perkawinan merupakan suatu hal yang sangat penting, karena berkaitan dengan akibat dari perkawinan itu, baik dari segi keturunan (anak) maupun harta benda. Apabila perkawinan itu dinyatakan sah, maka baik harta benda yang diperoleh selama perkawinan maupun anak-anak yang dilahirkannya, keadaan hukumnya menjadi jelas dan pasti. Harta yang diperoleh selama perkawinan atau anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu dinyatakan mempunyai hubungan hukum dengan kedua belah pihak yang kawin. Januari 1974 Bab IX tentang status anak memuat Pasal 42, 43 dan 44 dengan jelas menentukan status anak, apakah anak tersebut dilahirkan dari perkawinan yang sah atau tidak sah. Undang-Undang Republik Indonesia. Pasal 1 Tahun 1974 merupakan hasil usaha pengembangan hukum nasional dan merupakan hasil kesatuan hukum yang menghormati perbedaan berdasarkan agama.
Pasal 1 Tahun Tahun 1974 mengatur tentang hukum perkawinan bagi masyarakat Indonesia, tidak membedakan warga negara Islam dan lain-lain. Karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang terdiri dari orang-orang yang berbeda agama, maka Dokumen diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dirumuskan dalam bentuk umum yang dapat diterima dan diterapkan pada seluruh lapisan masyarakat. Memperhatikan isi undang-undang tersebut, maka tidak dapat dikatakan mengandung unsur pemersatu atau menyatukan pendapat-pendapat dari mazhab, meskipun teks tersebut diyakini memuat hukum Islam sebagai salah satu komponen pokoknya.
- Eksistensi Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional
Disahkannya Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) memperjelas nilai sistem hukum Islam dalam bidang perkawinan, hibah, warisan, wakaf, dan wasiat yang dapat dijadikan pedoman. saya membutuhkannya Keberadaan KHI dapat dikatakan sebagai pedoman bagi lembaga tersebut, dan lembaga yang dimaksud secara implisit dapat dikatakan sebagai lembaga atau otoritas peradilan agama yang berwenang menyelesaikan perkara perkawinan, warisan, dan wakaf.
Sejalan dengan keberadaan dan sosialisasi KHI akan membantu tercapainya kodifikasi dan keseragaman hukum nasional yang berlaku bagi masyarakat. Selain itu, keberadaan KHI juga menjadi pedoman bagi hakim pengadilan agama dalam mempertimbangkan dan memutus suatu perkara, serta menjadi pedoman bagi masyarakat mengenai hukum Islam yang berlaku.
Demikian pula dari segi kesatuan hukum, KHI berfungsi sebagai kitab hukum yang melengkapi berbagai sumber hukum Islam , yang hingga saat ini sedikitnya telah mencakup 13 kitab hukum. Artinya, (1) perintah penyaluran KHI tidak lain hanyalah kewajiban warga negara; Umat Islam bertujuan agar Deklarasi Ajaran Islam berfungsi secara konsisten sebagai hukum yang hidup. (2) Pemberlakuan undang-undang dalam KHI bertujuan untuk mengakhiri pengakuan ganda mengenai penerapan hukum Islam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
Ketiga catatan tersebut tidak saja menunjukkan pentingnya sosialisasi KHI, namun sebenarnya pemaparan hukum perkawinan, warisan dan wakaf dari KHI merupakan hukum yang bersejarah ditinjau dari adanya teori-teori hukum sebagai berikut: Telah menjadi sebuah fenomena. Syariat Islam yang tertulis dalam kitab Fiqih itu suci karena statusnya sebagai bagian dari ajaran Islam.
Penerapan KHI tidak terlepas dari penguatan penerapan syariat Islam sesuai karakteristik dan budaya Indonesia. Dengan demikian, keberadaan KHI yang diklaim sebagai wilayah hukum Indonesia, bukan lagi wilayah hukum yang bercirikan Hijazi, Mishri, Hindi, atau wilayah hukum lainnya, sehingga status KHI dalam konteks hukum dan peraturan adalah Indonesia.
KHI merupakan perwujudan ilmu hukum Indonesia yang didirikan pada tahun dengan mempertimbangkan situasi kebutuhan hukum umat Islam di Indonesia. bahasa Indonesia konon merupakan yang ditulis pada tahun oleh Hazarin. Meski bukan mazhab baru, namun KHI mengintegrasikan berbagai fiqih.
KHI diklaim sebagai fikih Indonesia dan bertujuan untuk mengakomodasi dan mentransformasikan nilai-nilai Islam dalam masyarakat Indonesia. Diberlakukannya KHI bukan berarti hukum perkara sebelumnya harus ditinggalkan atau diabaikan, namun berarti tetap memperhatikan hukum perkara sebelumnya yang masih dianggap sesuai dengan keadaan masyarakat Indonesia.
Lebih lanjut, keberadaan KHI tidak mengharuskan hanya satu pendapat mazhab tertentu yang berlaku, namun semua mazhab diterima sepanjang dapat mewujudkan nilai-nilai keadilan dan kebenaran . KHI harus terus mendukung dan mempertahankan kehadirannya agar syariat Islam dapat diimplementasikan ke dalam peraturan perundang-undangan nasional. KHI memungkinkan kita untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan menjadikan sebagai semangat bagi umat Islam untuk terus mewujudkan syariat Islam di masyarakatnya.
BAB 3 KONSEPSI PERKAWINAN DALAM HUKUM ISLAM
- Definisi Perkawinan
Pernikahan merupakan sunnatura yang berlaku bagi seluruh spesies ciptaan Tuhan, termasuk manusia, hewan, dan tumbuhan. Untuk menjaga kehormatan dan harkat dan martabat manusia, Allah SWT telah menetapkan hukum-hukum yang sepadan dengan harkat dan martabatnya, sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur dengan penuh hormat dan berdasarkan kesepakatan bersama, dan ritual ijab kabul merupakan salah satu simbol dari hal tersebut.
Perkawinan dapat mengesahkan hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam suatu hubungan yang saling memberikan motivasi, kasih sayang, dan perhatian. Menurut kedua ayat tersebut, mazhab Syafiyya berpandangan bahwa kata "nikah" pada hakekatnya berarti "akad", tetapi dapat pula berarti hubungan seksual.
Para ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kata perkawinan mengandung makna hakiki hubungan seksual. Selanjutnya perkawinan berarti akad dalam arti majaj yang memerlukan penjelasan diluar kata itu sendiri. Meskipun para ahli hukum dan ulama terdahulu telah memberikan beberapa definisi tentang perkawinan, namun dalam menjelaskan perkawinan mereka hanya menekankan aspek-aspek kontrak yang dapat melegitimasi hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan.
Pemahamannya masih tidak rumit, karena pengacara mungkin masih menganggap pernikahan hanya sebatas izin melakukan hubungan seksual atau pemenuhan kebutuhan seksual. Dengan demikian, struktur perkawinan yang ditetapkan dalam hukum Islam tidak hanya menekankan kesatuan untuk melegitimasi hubungan sosial, hubungan seksual, dan persetubuhan saja; tetapi juga merupakan perwujudan nilai-nilai luhur.
Sebenarnya kalau kita memandang perkawinan hanya dari segi kebahasaan saja, yaitu berhubungan badan dengan perempuan, membina keluarga dengan lawan jenis, mengadakan hubungan badan, atau mengadakan persetubuhan saja tidaklah cukup. Pernikahan atau pernikahan harus dipahami dengan jelas dan jelas. Penyesatan dapat mengakibatkan tindakan hukum menjadi menyesatkan, yang tidak hanya menimbulkan akibat hukum negatif.
Arti kata ``kawin`' dan ``kawin'' dalam bahasa Indonesia masih menjadi bahan perdebatan. Pernikahan mungkin masih dianggap mempunyai makna umum yang berlaku bagi manusia, hewan, dan tumbuhan, namun pernikahan dianggap lebih sakral dan hanya berlaku bagi manusia saja. Namun pernikahan masih sering dipahami dengan konotasi. Pernikahan menjadi rapuh ketika materi tidak lagi selaras dengan kenyataan. Di sisi lain, hukum Islam tidak mengatur bahwa perkawinan harus bersifat sementara atau bersifat sementara, namun perkawinan tetap mempunyai arti khusus.
- Perkawinan Perspektif UU RI. No. 1 Tahun 1974
Pasal 1 Januari 1974, sebagai negara yang berdasarkan Pancasila yang mengedepankan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka perkawinan erat kaitannya dengan agama/spiritual, oleh karena itu perkawinan tidak mempunyai unsur lahiriah/jasmani. Disebutkan juga bahwa faktor internal/spiritual juga merupakan faktor penting.
Oleh karena itu, pengertian perkawinan terdapat dalam Undang-Undang Nomor Negara Republik Indonesia. Perkawinan sebagai suatu ikatan yang sangat kuat tentu saja menyangkut kewajiban, hak dan kewajiban suami istri dalam keluarga, serta didasari oleh keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, perkawinan yang dilandasi keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa mempunyai arti bahwa perkawinan harus dilaksanakan menurut hukum agama sebagai wujud ketaatan dan ketaatan kepada Allah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H