Sebagai perbandingan, negara Arab Saudi tidak mensyaratkan undang-undang tertulis, karena Al-Quran adalah referensi utama dalam perayaan pernikahan, dan lebih jauh lagi, negara tersebut tidak mengalami kebingungan dalam kerangka kerangka hukum saat ini.
Konteks di Indonesia inilah yang menjadi sumber munculnya beberapa permasalahan dalam hukum keluarga Islam, khususnya permasalahan yang berkaitan dengan perkawinan. Permintaan ini pertama kali disampaikan pada Kongres Perempuan Indonesia ke- pada tahun 1928, dan kemudian dilontarkan berkali-kali dalam bentuk harapan untuk memperbaiki keadaan perempuan. Usulan perbaikan ini terutama ditujukan kepada kelompok "orang Indonesia asli" yang beragama Islam yang hak dan kewajibannya dalam perkawinan tidak diatur dengan undang-undang tidak tertulis. Tergantung pada sistem hukumnya, peraturan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai ''undang-undang tertulis'' karena tidak tertulis dalam ketentuan undang-undang. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah menerapkan upaya hukum, termasuk pemberlakuan Pencatatan Perkawinan, Talak dan Konsiliasi Undang-undang tahun 1946. Namun perbaikan yang diminta belum tercapai karena peraturan perundang-undangan hanya mementingkan bentuk dan belum substansi, khususnya undang-undang yang mengatur perkawinan itu sendiri. UU Pencatatan Perkawinan, Perceraian dan Perdamaian 1946 merupakan salah satu undang-undang yang diundangkan oleh Pemerintah Republik Indonesia namun dianggap belum lengkap karena hanya yang berlaku di wilayah Jawa dan Madura.
Undang-undang ini tidak dapat sepenuhnya diterapkan untuk melindungi hak-hak istri dan anak dalam kehidupan berkeluarga dengan suaminya. Suami dalam keluarga terkadang berbuat melawan hukum atau melakukan kekerasan karena merasa lebih unggul dan istri ditempatkan pada kedudukan yang lebih rendah.
Menurut Hartono Mardjono Keabsahan suatu perkawinan merupakan suatu hal yang sangat penting, karena berkaitan dengan akibat dari perkawinan itu, baik dari segi keturunan (anak) maupun harta benda. Apabila perkawinan itu dinyatakan sah, maka baik harta benda yang diperoleh selama perkawinan maupun anak-anak yang dilahirkannya, keadaan hukumnya menjadi jelas dan pasti. Harta yang diperoleh selama perkawinan atau anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu dinyatakan mempunyai hubungan hukum dengan kedua belah pihak yang kawin. Januari 1974 Bab IX tentang status anak memuat Pasal 42, 43 dan 44 dengan jelas menentukan status anak, apakah anak tersebut dilahirkan dari perkawinan yang sah atau tidak sah. Undang-Undang Republik Indonesia. Pasal 1 Tahun 1974 merupakan hasil usaha pengembangan hukum nasional dan merupakan hasil kesatuan hukum yang menghormati perbedaan berdasarkan agama.
Pasal 1 Tahun Tahun 1974 mengatur tentang hukum perkawinan bagi masyarakat Indonesia, tidak membedakan warga negara Islam dan lain-lain. Karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang terdiri dari orang-orang yang berbeda agama, maka Dokumen diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dirumuskan dalam bentuk umum yang dapat diterima dan diterapkan pada seluruh lapisan masyarakat. Memperhatikan isi undang-undang tersebut, maka tidak dapat dikatakan mengandung unsur pemersatu atau menyatukan pendapat-pendapat dari mazhab, meskipun teks tersebut diyakini memuat hukum Islam sebagai salah satu komponen pokoknya.
- Eksistensi Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional
Disahkannya Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) memperjelas nilai sistem hukum Islam dalam bidang perkawinan, hibah, warisan, wakaf, dan wasiat yang dapat dijadikan pedoman. saya membutuhkannya Keberadaan KHI dapat dikatakan sebagai pedoman bagi lembaga tersebut, dan lembaga yang dimaksud secara implisit dapat dikatakan sebagai lembaga atau otoritas peradilan agama yang berwenang menyelesaikan perkara perkawinan, warisan, dan wakaf.
Sejalan dengan keberadaan dan sosialisasi KHI akan membantu tercapainya kodifikasi dan keseragaman hukum nasional yang berlaku bagi masyarakat. Selain itu, keberadaan KHI juga menjadi pedoman bagi hakim pengadilan agama dalam mempertimbangkan dan memutus suatu perkara, serta menjadi pedoman bagi masyarakat mengenai hukum Islam yang berlaku.
Demikian pula dari segi kesatuan hukum, KHI berfungsi sebagai kitab hukum yang melengkapi berbagai sumber hukum Islam , yang hingga saat ini sedikitnya telah mencakup 13 kitab hukum. Artinya, (1) perintah penyaluran KHI tidak lain hanyalah kewajiban warga negara; Umat Islam bertujuan agar Deklarasi Ajaran Islam berfungsi secara konsisten sebagai hukum yang hidup. (2) Pemberlakuan undang-undang dalam KHI bertujuan untuk mengakhiri pengakuan ganda mengenai penerapan hukum Islam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
Ketiga catatan tersebut tidak saja menunjukkan pentingnya sosialisasi KHI, namun sebenarnya pemaparan hukum perkawinan, warisan dan wakaf dari KHI merupakan hukum yang bersejarah ditinjau dari adanya teori-teori hukum sebagai berikut: Telah menjadi sebuah fenomena. Syariat Islam yang tertulis dalam kitab Fiqih itu suci karena statusnya sebagai bagian dari ajaran Islam.
Penerapan KHI tidak terlepas dari penguatan penerapan syariat Islam sesuai karakteristik dan budaya Indonesia. Dengan demikian, keberadaan KHI yang diklaim sebagai wilayah hukum Indonesia, bukan lagi wilayah hukum yang bercirikan Hijazi, Mishri, Hindi, atau wilayah hukum lainnya, sehingga status KHI dalam konteks hukum dan peraturan adalah Indonesia.
KHI merupakan perwujudan ilmu hukum Indonesia yang didirikan pada tahun dengan mempertimbangkan situasi kebutuhan hukum umat Islam di Indonesia. bahasa Indonesia konon merupakan yang ditulis pada tahun oleh Hazarin. Meski bukan mazhab baru, namun KHI mengintegrasikan berbagai fiqih.