Mohon tunggu...
Vito Ardiansyah
Vito Ardiansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah UIN Raden Mas Sid Surakarta

Traveling

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dinamika Hukum Perdata Islam di Indonesia (Analisis Legislasi Hukum Perkawinan Islam dalam Sistem Hukum Nasional)

13 Maret 2024   10:24 Diperbarui: 13 Maret 2024   10:29 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

KHI diklaim sebagai fikih Indonesia dan bertujuan untuk mengakomodasi dan mentransformasikan nilai-nilai Islam dalam masyarakat Indonesia. Diberlakukannya KHI bukan berarti hukum perkara sebelumnya harus ditinggalkan atau diabaikan, namun berarti tetap memperhatikan hukum perkara sebelumnya yang masih dianggap sesuai dengan keadaan masyarakat Indonesia.

Lebih lanjut, keberadaan KHI tidak mengharuskan hanya satu pendapat mazhab tertentu yang berlaku, namun semua mazhab diterima sepanjang dapat mewujudkan nilai-nilai keadilan dan kebenaran . KHI harus terus mendukung dan mempertahankan kehadirannya agar syariat Islam dapat diimplementasikan ke dalam peraturan perundang-undangan nasional. KHI memungkinkan kita untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan menjadikan sebagai semangat bagi umat Islam untuk terus mewujudkan syariat Islam di masyarakatnya.

BAB 3 KONSEPSI PERKAWINAN DALAM HUKUM ISLAM

  • Definisi Perkawinan

Pernikahan merupakan sunnatura yang berlaku bagi seluruh spesies ciptaan Tuhan, termasuk manusia, hewan, dan tumbuhan. Untuk menjaga kehormatan dan harkat dan martabat manusia, Allah SWT telah menetapkan hukum-hukum yang sepadan dengan harkat dan martabatnya, sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur dengan penuh hormat dan berdasarkan kesepakatan bersama, dan ritual ijab kabul merupakan salah satu simbol dari hal tersebut.

Perkawinan dapat mengesahkan hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam suatu hubungan yang saling memberikan motivasi, kasih sayang, dan perhatian. Menurut kedua ayat tersebut, mazhab Syafiyya berpandangan bahwa kata "nikah" pada hakekatnya berarti "akad", tetapi dapat pula berarti hubungan seksual.

Para ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kata perkawinan mengandung makna hakiki hubungan seksual. Selanjutnya perkawinan berarti akad dalam arti majaj yang memerlukan penjelasan diluar kata itu sendiri. Meskipun para ahli hukum dan ulama terdahulu telah memberikan beberapa definisi tentang perkawinan, namun dalam menjelaskan perkawinan mereka hanya menekankan aspek-aspek kontrak yang dapat melegitimasi hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan.

Pemahamannya masih tidak rumit, karena pengacara mungkin masih menganggap pernikahan hanya sebatas izin melakukan hubungan seksual atau pemenuhan kebutuhan seksual. Dengan demikian, struktur perkawinan yang ditetapkan dalam hukum Islam tidak hanya menekankan kesatuan untuk melegitimasi hubungan sosial, hubungan seksual, dan persetubuhan saja; tetapi juga merupakan perwujudan nilai-nilai luhur.

Sebenarnya kalau kita memandang perkawinan hanya dari segi kebahasaan saja, yaitu berhubungan badan dengan perempuan, membina keluarga dengan lawan jenis, mengadakan hubungan badan, atau mengadakan persetubuhan saja tidaklah cukup. Pernikahan atau pernikahan harus dipahami dengan jelas dan jelas. Penyesatan dapat mengakibatkan tindakan hukum menjadi menyesatkan, yang tidak hanya menimbulkan akibat hukum negatif.

Arti kata ``kawin`' dan ``kawin'' dalam bahasa Indonesia masih menjadi bahan perdebatan. Pernikahan mungkin masih dianggap mempunyai makna umum yang berlaku bagi manusia, hewan, dan tumbuhan, namun pernikahan dianggap lebih sakral dan hanya berlaku bagi manusia saja. Namun pernikahan masih sering dipahami dengan konotasi. Pernikahan menjadi rapuh ketika materi tidak lagi selaras dengan kenyataan. Di sisi lain, hukum Islam tidak mengatur bahwa perkawinan harus bersifat sementara atau bersifat sementara, namun perkawinan tetap mempunyai arti khusus.

  • Perkawinan Perspektif UU RI. No. 1 Tahun 1974

Pasal 1 Januari 1974, sebagai negara yang berdasarkan Pancasila yang mengedepankan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka perkawinan erat kaitannya dengan agama/spiritual, oleh karena itu perkawinan tidak mempunyai unsur lahiriah/jasmani. Disebutkan juga bahwa faktor internal/spiritual juga merupakan faktor penting.

Oleh karena itu, pengertian perkawinan terdapat dalam Undang-Undang Nomor Negara Republik Indonesia. Perkawinan sebagai suatu ikatan yang sangat kuat tentu saja menyangkut kewajiban, hak dan kewajiban suami istri dalam keluarga, serta didasari oleh keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, perkawinan yang dilandasi keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa mempunyai arti bahwa perkawinan harus dilaksanakan menurut hukum agama sebagai wujud ketaatan dan ketaatan kepada Allah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun