Mohon tunggu...
Mauraqsha
Mauraqsha Mohon Tunggu... Wiraswasta - Staff Biasa di Aviasi.com

Penggemar Aviasi namun terjun di Pariwisata, berlayar pilihan pertama untuk liburan, homestay dan farmstay piihan pertama untuk penginapan.

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

GADSS Sistem Keselamatan Penerbangan Terkini

5 April 2022   07:07 Diperbarui: 5 April 2022   08:21 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Beberapa tahun ini beberapa kecelakaan peswat terbang meninggalkan misteri dalam artian tujuan dari investigasi kecelakaan pesawat untuk menghindari kecelakaan serupa tidak dapat tercapai dengan tidak tersedianya data sebagai bahan analisis kecelakaan.


Dikutip dari website aviation-safety.net yang memang berfokus kepada kecelakaan pesawat yang terjadi diseluruh dunia serta dari wikipedia, sejak tahun 1948 hingga kini terdapat 90 pesawat hilang yang masih belum ditemukan hingga kini.


Jenis pesawat dalam daftar tersebut mencakup pesawat yang dioperasikan sipil maupun militer, tepatnya ada sebanyak 26 pesawat penumpang, 19 pesawat militer, 19 pesawat kargo dan sisanya merupakan pesawat yang dioperasikan pribadi (private dan charter) serta dengan lokasi bervariasi mulai dari laut, darat dan pegunungan.


Jumlah ini belum termasuk pesawat-pesawat yang hilang sebelum tahun 1948 dimana jumlah pesawat-pesawat yang hilang dalam Perang Dunia 1 dan 2 sangat banyak termasuk juga pesawat dari Aviatrix dunia yaitu Amelia Earhart yang hilang pada tanggal 2 Juli 1937.


Dari daftar pesawat yang hilang tersebut ada dua pesawat yang hilang di Indonesia yaitu pesawat Douglas C-47/ DC-3 milik Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA-542 yang jatuh di laut dalam penerbangan dari Surabaya ke Balikpapan pada tanggal 3 Februari 1961.


Mengutip dari database dari aviation-safety.net, pesawat diawaki oleh 5 orang kru dan 21 penumpang dan tidak ditemukan tanda-tanda dari pesawat.


Pesawat kedua adalah pesawat de Havilland Canada DHC-6 Twin Otter
Milik maskapai Merpati Nusantara Airlines yang terjadi pada tanggal 10 Januari 1995 dalam penerbangan dari Bima, NTB ke Ruteng, NTT dengan nomor penerbangan MZ-6715.


Website aviation-safety.net menyebutkan terdapat 4 orang kru dan 14 orang penumpang dalam pesawat tersebut dan diperkirakan jatuh ke laut.


Definisi pesawat hilang oleh Badan Aviasi Sipil Dunia atau International Civil Aviation Organization (ICAO) adalah ketika tidak ada ditemukan tanda-tanda dari bagian pesawat setelah diadakan pencarian resmi yang dilakukan.


Pencarian resmi yang dimaksud disini adalah pencarian yang dilakukan oleh negara asal dimana pesawat yang hilang tersebut diregistrasi dengan dapat meminta bantuan dari  satu negara atau lebih.


Sehingga ketika ada pesawat yang hilang kontak kemudian dilakukan pencarian resmi oleh badan terkait dari negara bersangkutan dan tidak ditemukan tanda-tanda dari pesawat tersebut seperti serpihan atau benda benda yang berhubungan dengan pesawat tersebut maka pesawat tersebut masuk dalam daftar pesawat hilang.


Pesawat yang mengalami kecelakaan dan tidak ditemukan akan membuat sulit dalam investigasi kecelakaan karena tidak dapat menganalisis keadaan pesawat sebelum mengalami kecelakaan seperti tidak adanya blackbox yang terdiri dari Cockpit Voice Recorder (VCR) dan Flight Data Recorder (FDR)


Pada tahun 2009 Badan Keselamatan Penerbangan Amerika (NTSB) sebenarnya sudah mengusulkan penerapan teknologi blackbox yang bisa secara otomatis terlepas (ejectable) dan mengapung (floating) di air bila pesawat mengalami kecelakaan di laut.


Teknologi ini sebenarnya sudah diterapkan sejak tahun 1993 pada pesawat militer seperti pesawat F-16 C/D dan F/A-18 Hornet dengan apa yang disebut dengan deployable flight incident recorder set (DFIRS) yang sudah terdiri dari CVR, FDR dan ELT namun dengan adanya beberapa kecelakaan yang berakibat tidak ditemukannya puing puing pesawat dan utamanya blackbox maka beberapa badan dunia termasuk ICAO memandang perlu penerapan teknologi yang sama pada penerbangan sipil komersil.


Pada konferensi ICAO tahun 2015 yaitu Second High-Level Safety dirumuskan konsep keselamatan penerbangan yang disebut dengan Global Aeronautical Distress and Safety System atau disingkat dengan GADSS yang telah di finalisasi pada tanggal 10 Oktober 2014.


Konsep GADSS ini bertujuan untuk mengetahui kemana pesawat terbang, mengetahui dimana lokasi terakhir pesawat, meningkatkan kemampuan pihak terkait pada usaha penyelematan dan ketersediaan data penerbangan pada pesawat (data recovery). Pemberlakuan sistem GADSS ini sedianya dimulai pada tanggal 1 Januari 2021 yang lalu namun kemudian diundur hingga 1 Januari 2023.
Penerapan GADSS ini akan mengubah (amandemen) beberapa Annex pada Konvesi Chicago yaitu :


1. Annex 6 tentang Pengoperasian pesawat, amandemen pada bagian 1 tentang International Commercial Air Transport -- Aeroplanes


2.Annex 10 tentang Aeronautical Telecommunications


3. Annex 11 tentang Air Traffic Services -- Air Traffic Control Service, Flight Information Service and Alerting Service


4.Annex 12 tentang Search and Rescue.


Sedangkan pihak pihak yang terkait dengan diberlakukan GADSS ini adalah penyedia jasa navigasi udara, operator pesawat, penyedia jasa ADT, dan Badan SAR.


Fase pertama dari sistem ini sebenarnya sudah diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 2018 yang mewajibkan semua pesawat penumpang komersil dilengkapi dengan ULB dengan ketahanan baterai hingga 90 hari dari sebelumnya yang hanya 30 hari serta mulai tanggal 18 Nopember 2018 dimana semua operator pesawat yang beroperaai secara normal diwajibkan untuk dapat me track pesawatnya setiap 15 menit interval.


Sedangkan fase kedua efektif mulai berlaku tanggal 1 Januari 2021 (rencananya) sistem ini akan mewajibkan pesawat yang baru diproduksi dengan berat maksimum takeoff 27.000 kg menerapkan sistem GADSS ini sedangkan untuk pesawat yang diproduksi sebelumnya diberikan pilihan untuk mengganti salah satu Emergency Locator Transmitter (ELT)  pada pesawat mereka namun tanggal ini diundur hingga 1 Januari 2023.


Airbus diberitakan sudah memulai menerapkan teknologi blackbox terkini pada produk pesawat mereka sejak tahun 2017 dalam dua versi yaitu berupa Cockpit Voice and Data Recorder(CVDR) dan Automatic Deployable Flight Recorders (ADFR) dimana CVDR akan diterapkan pada pesawat mereka A-320 sedangkan AFDR pada psaawat jarak jauh mereka yaitu A-330, A-350, A-380 dan A-321XLR dan AFDR yang baru ini bisa merekam suara hingga 25 jam seperti yang direkomendasikan oleh ICAO dari sebelumnya yang hanya 2 jam.


Secara garis besar, sistem ini akan mengubah beberapa hal dalam pengoperasian pesawat seperti pada fase Aircraft Tracking pesawat diharuskan melaporkan posisi pesawat setiap 15 menit dan berlaku bagi semua pesawat dalam penerbangan. Tujuannya adalah agar ATS (Air Traffic Service) dapat selalu mengetahui posisi pesawat serta me track posisi pesawat apabila pesawat berada pada posisi dimana interval pelaporannya lebih dari 15 menit sehingga ATS bersangkutan dapat segera memberikan data kepada pihak terkait jika ada distress atau mengalami kecelakaan, data tersebut berupa latitude, longitude, ketinggian dan waktu.


Pada Autonomous Distress Tracking (ADT), sistem pada pesawat akan mengirimkan data lokasi pesawat (langitude dan longitude) setiap satu menit jika alat tracking ini aktif sebagai akibat dari keadaan pesawat yang mengalami distress (masalah teknis, kecelakaan dan lainnya). Dengan adanya ADT ini lokasi pencarian diharapkan dengan tidak melebihi dari radius 6 NM (Nautical Miles) atau sekitar 11.11 km.
ADT juga akhirnya akan mempermudah pihak SAR dalam menemukan lokasi pesawat dan melakukan misi penyelematan, hal ini yang menjabarkan komponen Post Flight Localization Recovery dengan keharusan adanya ELT (Emergency Locator Transmitter), ULB (Underwater Locator Beacon dan juga data penerbangan atau flight recorder.


Salah satu rekomendasi ICAO pada GADSS ini adalah Automatic Deployable Flight Recorders (ADFR) yang bertujuan agar data penerbangan dapat tersedia dan mudah untuk ditemukan walau berada pada lokasi yang sulit dijangkau sekalipun (remote area).


Dengan AFDR ini sensor akan bekerja saat terjadi kecelakaan dan melepaskan unit blackbox secara otomatis terlepas dari pesawat serta dapat mengaping di air, selain itu ELT atau Emergency Location Transmitter akan menggunakan satelit untuk mempermudah pihak SAR menemukan lokasi .


Badan Penerbangan Uni Eropa atau EASA juga dikabarkan sudah menyiapkan beberapa aturan untuk penerapan sistem ini seperti proses sertifikasi kelaikan pesawat.


Sehingga nantinya data penerbangan pada pesawat yang mengalami kecelakaan dapat segera mendapat pertolongan dalam waktu yang lebih cepat dan akurat dari sebelumnya, sedangkan untuk pesawat yang dinyatakan hilang, data penerbangan tetap dapat diperoleh dalam waktu yang lebih cepat pula terutama pada penentuan lokasi dari blackbox pada sistem keselamatan ini.


Namun sistem ini memerlukan peran regulator penerbangan pada masing masing negara untuk memberikan panduan yang jelas tentang GADSS ini kepada para operator seperti maskapai.

Sudah siapkah regulator penerbangan Indonesia dan maskapai nasional untuk menerapkan sistem keselamatan penerbangan ini sebagai pembaharuan pada Standards and Recommended Practices dari ICAO ?

Penulis berharap sudah dan memang sudah seharusnya.

Referensi : Satu Dua Tiga Empat Lima Enam Tujuh Delapan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun