Mohon tunggu...
Virginia Tampubolon
Virginia Tampubolon Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S-1 Fakultas Hukum UPN "Veteran" Jakarta

Hobi saya adalah membaca buku, terlebih lagi buku yang membahas mengenai permasalahan kesenjangan sosial dan permasalahan negara.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Bagaimana Pandangan Hukum Islam Tentang Hadhanah Anak Setelah Putusan Perceraian?

5 Mei 2024   07:29 Diperbarui: 7 Mei 2024   08:47 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perceraian yang terjadi dirumah tangga, tidak akan menghilangkan kewajiban orang tua terhadap anaknya, artinya kewajiban orang tua tetap sama, baik terjadi perceraian atau tidak terjadi perceraian. Anak tetap harus memperoleh hak-haknya dalam mendapatkan pengasuhan, bimbingan, kasih sayang, pendidikan, dan kebutuhan yang dibutuhkan anak. Maka, dalam hukum islam pada kasus perceraian, pemberian hak asuh anak akan diberikan kepada orang tua dengan memperhatikan syarat-syarat  hadhanah.

A. Pengertian Hadhanah

Menurut bahasa, hadhanah berasal dari kata "hidhan" yang berarti sesuatu yang terletak antara ketiak dan pusar. Hadhana ath-Thaa'ir Baidhadhu, bisa di refleksikan dengan seekor burung yang menghimpit telurnya (mengerami) di antara kedua sayap dan badannya. Dalam istilah fiqh, menggunakan dua kata namun ditujukan untuk maksud dan tujuan yang sama yaitu kafalah dan hadhanah. Yang dimaksud dengan hadhanah atau kaffalah ialah "pemeliharaan" atau "pengasuhan". 

Dalam arti yang lebih lengkap adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya putus perkawinan. Sehingga, hadhanah sendiri memiliki arti memberikan jaminan yang berkaitan dengan urusan makanan, pakaian, tidur, kebersihan, dan lain-lain. Hadhanah ini merupakan salah satu bentuk penyaluran rasa cinta seorang muslim kepada keturunannya. Demikian juga jika seorang ibu memberikan cinta kasih anaknya dalam pelukan. Atau lebih tepat jika dikatakan memelihara dan mendidik anaknya.

Dalam Islam, hadhanah wajib bagi orang tua dalam ikatan perkawinan dan diluar perkawinan. Adapun yang menjadi dasar hukum disyariatkannya hadhanah antara lain firman Allah Swt dalam surat at-Tahrim ayat 6 yang berbunyi sebagai berikut:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ

Artinya:

"Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan". (Surat At-Tahrim ayat 6)

Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya adalah wajib, sebagaimana wajib memeliharanya dalam ikatan perkawinan. Adapun dasar hukum mengikuti perintah Allah untuk membiayai anak dan istri dalam firman Allah surat al- Baqarah: 233 sebagai berikut.

وَالْوَالِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۗ وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ اِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَاۤرَّ وَالِدَةٌ ۢبِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُوْدٌ لَّهٗ بِوَلَدِهٖ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذٰلِكَ ۚ فَاِنْ اَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗوَاِنْ اَرَدْتُّمْ اَنْ تَسْتَرْضِعُوْٓا اَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِذَا سَلَّمْتُمْ مَّآ اٰتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ 

Artinya: 

"Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (Surat Al-Baqarah 233)

B. Pihak Siapa Yang Lebih Berhak Mendapatkan Hadhanah Setelah Perceraian?

Berkaitan dengan hadhanah pasca perceraian pada masa Rasul Muhammad Saw masih hidup, berdasarkan penuturan dari Umar bin Syuaib yang meriwayatkan dari ayahnya, bahwa seorang perempuan datang kepada Rasulullah seraya berkata: "Ya Rasulullah, anak ini telah ku kandung dalam rahimku, telah ku susui dari air susu ku, telah bernafas di kamarku, ayahnya (suamiku) menceraikanku dan menghendaki anak ini dariku." Rasulullah kemudian bersabda:

انْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَم تَنْكَحِي [رواه ابوَاوَ ]

Artinya:

"Kamu lebih berhak memeliharanya daripada dia (suami mu) sebelum kamu menikah lagi." (HR. Abu Daud)

Hadis ini menjelaskan bahwa Ibu sebelum menikah lagi lebih berhak daripada Ayah untuk mendapat hadhanah setelah perceraian. Ibu lebih diutamakan karena mempunyai kelayakan mengasuh dan menyusui, mengingat ibu lebih mengerti dan mampu mendidik anak. Kesabaran ibu dalam hal ini lebih besar daripada bapak. Waktu yang dimiliki ibu lebih lapang daripada Bapak. Karena itu, ibu lebih diutamakan untuk menjaga kemaslahatan anak. Dalam konsep Islam tanggung jawab ekonomi berada di pundak suami atau Ayah sebagai kepala rumah tangga, meskipun dalam hal ini tidak menutup kemungkinan istri membantu suami dalam menanggung kewajiban ekonomi tersebut. Karena itu yang terpenting adalah adanya kerjasama dan tolong menolong antara suami istri dalam memelihara anak dan menghantarkannya hingga anak tersebut dewasa.

C. Apa Saja Syarat-syarat Pihak Yang Mengasuh Anak

  • Syarat dari pihak ibu:

1. Beragama islam;

2. Berakal sehat;

3. Amanah dan budi pekerti;

4. Memiliki kemampuan untuk mendidik anak;

5. Wanita itu belum kawin setelah dicerai oleh suaminya;

6. Wanita itu harus mahram atau muhrim dari anak tersebut;

7. Pengasuh itu tidak mengasuh anak tersebut dengan marah dan kebencian;

8. Apabila anak itu masih dalam usia menyusu pada pengasuhnya, tapi air susunya tidak ada atau ia enggan menyusukan anak itu, maka ia tidak berhak menjadi pengasuh anak itu.

  • Syarat dari pihak ayah:

1. Pengasuh harus mahram dari anak tersebut, dikwatirkan apabila anakitu wanita cantik dan berusia 7 tahun, ditakutkan akan menimbulkanfitnah antara pengasuh dengan anak yang diasuh; 

2. Pengasuh harus didampingi oleh wanita lain dalam mengasuh anak tesebut seperti ibu, bibi, atau istri dari laki-laki tersebut, alasannya seorang laki-laki tidak mempunyai kesabaran untuk mengurus anak tersebut, berbeda dengan kaum perempuan.

D. Dasar Kompilasi Hukum Islam Tentang Hadhanah

Lebih lanjut dijelaskan dalam pasal 105 Kompilasi Hukum Islam, dalam hal terjadinya perceraian bahwa: "Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, sedangkan yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya dengan biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya".

Mengenai pemeliharaan anak, Kompilasi Hukum Islam memberikan pengaturan sebagaimana yang terdapat dalam bab XIV Pasal 98 yaitu:

  • Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan;
  • Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan;
  • Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.

Memperhatikan penjelasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa kepentingan pembinaan anak dari hadhinnya (pengasuhnya) memang tidak dapat dibatasi mengingat kebutuhan anak-anak harus dipenuhi. Untuk itu, bagi pengasuh anak (hadhin) harus pula terlebih dahulu dilengkapi keterampilan dari berbagai masalah yang menyangkut dengan hubungan psikologi anak yang selalu berkembang setiap saat. Hal ini penting, karena hadhin mempunyai peranan penting dalam membentuk sikap dan prilaku anak. Walaupun, yang lebih berhak mendapatkan hak asuh (hadhin) adalah pihak istri, namun pihak ayah juga ikut serta dalam kehidupan anak setelah perceraian dengan membantunya dalam biaya hadhanah anak mencangkup biaya pendidikan, kesehatan, rohani dan kebutuhan lainnya yang dibutuhkan anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun