Mohon tunggu...
Virgi Widya Cahyati
Virgi Widya Cahyati Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa UPI

A writer who likes to write about pop culture

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Against Insecurities

20 Oktober 2023   11:30 Diperbarui: 20 Oktober 2023   11:37 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kulangkahkan kakiku ke tempat dimana semua rasa minderku muncul. Aku berjalan tanpa sedikitpun melihat ke depan. Aku merasa jalan sambil menunduk adalah cara yang paling ampuh untuk menutupi kekuranganku. Sambil berjalan, aku mendengar banyak sekali suara dari orang-orang. Ada yang sedang bercerita tentang tugas atau masalah percintaan. Ada juga yang sedang bersenda gurau sambil berkelompok kecil. Segan sekali rasanya untuk melewati mereka apalagi sambil mengangkat kepalaku. Aku merasa perhatian mereka akan langsung mengarah padaku dan menatapku dengan tatapan yang sangat menjijikan. 

Sampailah aku disebuah kelas dimana ini adalah bukan tempat yang diperuntukan untukku. Aku langsung mendudukkan diriku di kursi paling depan yang berhadapan langsung dengan meja dosen. Ini adalah satu satu tempat yang sangat aman bagiku. Tempat dimana aku tidak melihat orang-orang dibelakangku sama sekali. 

Sambil menunggu, biasanya hal yang aku lakukan adalah membaca buku sambil mendengarkan musik. Tapi sialnya, hari ini aku melupakan headphone yang biasanya selalu kubawa kemana-mana. Alhasil, aku bisa mendengarkan semua ucapan-ucapan dari orang-orang dibelakang sana. 

"Kasian sekali Luna tidak memiliki teman sama sekali" suara perempuan itu menusuk telingaku. 

"Ya mau gimana lagi, dia kan sangat susah untuk berteman. Dia selalu menghindar dan pergi begitu saja saat kelas selesai" saut perempuan yang lain. 

Ya, itulah aku. Aku hanya disini disaat waktu tertentu saja. Diluar itu, aku akan pergi meninggalkan tempat ini demi kenyamanan mentalku. 

"Padahal dulu dia sangat ramah dan suka berteman" ucap suara orang lain selain dua perempuan itu. 

"Bagaimana kau tahu?" 

"Temanku sekolah di SMA yang sama dengannya. Aku pernah melihat dia bersama temanku dulu."

"Aneh sekali, kenapa dia bisa berubah?"

"Entahlah, mau kita cari tahu juga percuma orangnya selalu langsung cepat-cepat pergi". 

Benar. Aku sudah berubah sekarang. Dulu, aku adalah seorang gadis yang sangat periang dan memiliki banyak teman dimana-mana. Namun, ada satu hal yang membuatku berubah 180. Hal tersebut membuat aku menutup diri dan merasa bahwa aku sangat amat tidak cocok untuk hidup didunia ini. Aku merasa dunia dan semestanya tidak ada yang berpihak padaku. Jika untuk mati adalah hal yang mudah, mungkin aku sudah mematikan diriku sejak hal tersebut menyerang. 

Pembahasan orang dibelakangku terputus karena dosen kami sudah tiba. Selama pembelajaran berlangsung, mataku hanya fokus pada materi dan dosenku saja. Tidak ingin sama sekali rasanya menengok ke arah orang-orang dibelakangku. Selesai pembelajaran, buru-buru kurapikan semua alat tulis yang sudah kupakai tadi lalu pergi keluar dari tempat ini. 

"Luna... tunggu sebentar." suara seseorang memanggilku dan membuatku diam ditempat. 

"Luna, bisa tidak kita ngobrol sebentar? Ada yang aku ingin tanyakan" ucap Shifa.

"Soal apa?" Tanyaku sambil menunduk.

"Bukankah ini tidak sopan? Kau berbicara denganku tanpa melihatku." Protes Shifa.

"Tidak terlalu pentingkan? Kalo begitu aku akan pergi." Ucapku dengan membalikkan badanku.

"Kau ini benar-benar, ayo ikut aku" ucap Shifa sambil menarik tanganku.

Ini membuatku kaget. Sangat kaget. Tidak ada satu orangpun yang menyentuhku setelah kejadian itu terjadi. 

Tanganku ditarik oleh Shifa dan dia membawakannya sebuah tempat yang cukup sepi.

"Untuk apa dia membawaku kesini? Apa dia ingin membunuhku? Jika itu memang terjadi, aku harus berterima kasih padanya." Ucapku dalam hati.

"Duduklah" perintah Shifa

"Apa kau benar-benar manusia?" Tanya Shifa dengan sarkas 

"Apa maksudmu? Aku memang manusia. Mengapa kau mempertanyakan itu?" Tanyaku dengan cemas. 

Sial. Apakah hal itu akan terjadi lagi. 

"Tingkah lakumu sama sekali tidak mencerminkan bahwa kamu adalah manusia. Kau selalu menunduk, tidak pernah berinteraksi dengan orang-orang, dan suka pergi menjauh dari tempat umum. Apakah manusia pada umumnya melakukan itu?" Ucap Shifa dengan menggebu-gebu.

"Apakah itu mengganggumu? Jika iya baguslah artinya memang aku benar-benar salah untuk hidup didunia ini". 

"Apa maksudmu?" Tanya Shifa bingung.

"Ternyata sesuatu yang ingin kamu tanyakan itu sangat tidak penting. Lebih baik aku pergi saja." Ucapku lalu pergi meninggalkan Shifa. 

Kulangkahkan kakiku dengan tergesa-gesa. Aku ingin cepat-cepat sampai ke rumah kos yang aku percayai sebagai tempat yang paling aman untuk mentalku. 

Sesampainya dikamar kos, dengan spontan aku menatap diriku di cermin. Aku benar-benar kacau. Aku benar-benar tidak layak untuk hidup. Aku sangat lelah menjadi Luna yang seperti ini. Tapi, aku sudah tidak bisa kembali menjadi Luna yang dulu karena hal itu membuat aku terjebak menjadi Luna yang sekarang. Tanpa sadar, air mataku menetes untuk yang kepuluhan ribu kalinya. Dari semua hal yang bisa dilakukan untuk menyesali dan meluapkan emosi terhadap masalah itu hanyalah menangis. Terus menangis hingga tidak ada air mata lagi yang bisa ku keluarkan. 

Tiba-tiba pintu kamarku ada yang mengetuk. Tubuhku langsung menegang. Aku tidak bisa bergerak sama sekali untuk melihat siapa yang mengetuk pintu kamarku. 

"Luna... aku tau kamu aada didalam. Bukalah pintunya aku ingin meminta maaf"

Itu suara Shifa. Mau apalagi dia menemui ku. Apa yang tadi masih belum cukup membungkam dirinya.

"Luna, tolong buka pintunya. Aku bukan orang jahat. Aku ingin menolong mu."

Menolong apa? Apa dia ingin menjadi pahlawan untukku? 

"Ayolah, aku berniat baik untuk menemui mu. Aku tahu kau butuh teman."

Tidak. Aku tidak butuh teman jika nantinya mereka juga yang membuatku rusak seperti sekarang.

"Tidak semua teman sama seperti yang kamu kira. Mungkin beberapa temanmu jahat, tapi aku tidak. Aku berani bersumpah, percayalah."

Ucapan Shifa membuatku tersentuh dan berpikir. Aku sangat jelas tahu maksud dari perkataan Shifa. Lalu, aku juga sangat jelas menampik perkataan dia. Tapi, mengapa tiba-tiba otakku berpikir dan seakan-akan memintaku untuk membiarkan dia masuk. 

Apakah aku harus membukakan pintu untuknya? Tapi tanganku tanpanku kendalikan langsung membukakan pintu untuk Shifa. 

"Aku bukan orang yang jahat seperti teman-temanmu itu, Luna. Aku justru ingin membantumu dan menemanimu. Percaya padaku."

"Memangnya aku kenapa? Aku merasa tidak membutuhkan bantuan dan ditemani olah siapapun"

"Tidak. Hatimu sangat butuh teman untuk menemanimu dan membantumu. Tapi mulutmu berkata hal yang sebaliknya."

Mengapa Shifa berbicara seperti itu. 

"Ceritakan semua masalahmu yang bisa membuatmu jadi seperti ini. Aku akan mencoba untuk membantumu secara perlahan."

"Mengapa kau datang-datang seolah-olah aku adalah orang yang sedang banyak masalah. Memangnya kamu benar-benar tahu jika aku punya masalah?"

Shifa diam. Mungkin pertanyaanku kali ini bisa membuatnya benar-benar bungkam.

"Aku punya mata dan juga perasaan. Aku bisa melihat dan merasakan bahwa ada sesuatu terjadi padamu sehingga membuatmu seperti ini. Benarkan?." Tanya Shifa seperti meremehkan.

Sial. Bagaimana dia bisa tahu. 

"Baiklah jika kamu tidak mau menceritakan semuanya dengan jelas. Tapi dengarkan perkataanku ini. Semua orang itu berbeda. Tidak semua orang memiliki sifat dan karakter yang sama seperti yang kau bayangkan. Jika masalahmu tentang fisik, ingat perkataanku tadi. Semua irang berbeda dan punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Jika mau merasa kamu memiliki banyak kekurangan, tutuplah dengan kelebihan yang kamu punya. Jika itu soal visual, kamu akan terlihat cantik jika kamu sendiri juga merasa dirimu cantik. Jadi, kau harus percaya diri dan merasa bahwa diri kamu cantik. Dengarkan dan pikirkan semua perkataanku. Aku ingin sekali melihat dirimu yang sesungguhnya. Tolong tunjukan itu pada dunia."

Ucapan Shifa benar-benar menamparku. Semua ini adalah masalah fisik dan kekayaan. Teman-teman SMA ku dulu membuatku seperti ini. Aku sangat berteman baik dengan mereka, tapi mereka juga yang membuatku buruk. Semenjak perekonomian keluargaku merosot, mereka satu persatu mengatakan hal buruk tentangku. Ada yang mengatakan aku jelek, miskin, tidak berguna, dan masih banyak lagi. Itu membuatku sangat amat sakit. Aku merasa semua orang didunia ini juga akan mengatakan hal sama seperti teman-temanku dulu terhadapku. 

Hingga akhirnya aku masuk ke Universitas. Disana justru aku merasa semakin terjatuh. Melihat kenyataan dan kehidupan seorang mahasiswa yang sangat amat warna-warni. Aku selalu menarik diriku untuk tidak menyatu dengan mereka. Karena semakin bersatu, aku akan semakin jatuh sangat dalam. Itu alasan mengapa aku berubah. Aku membiarkan rasa minderku menggerogoti ku tanpa ada usaha dari diriku untuk melawannya. 

Namun, tiba-tiba ada sosok yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya masuk kedalam hidupku. Shifa menamparku dengan kata-katanya padahal dia tidak tahu persis masalah yang aku alami. Mulutku berkata aku akan terus seperti ini, tapi hatiku merasa sesak seperti ingin keluar dari kehidupan ini. 

"Aku yakin kamu pasti bisa kembali menjadi Luna yang dulu. Walaupun aku juga tidak tahu persis Luna yang dulu itu seperti apa. Tapi, aku yakin ini bukan Luna yang sebenarnya. Ayo lawan dirimu sendiri. Kamu harus bisa menikmati hidupmu kembali dengan tenang." Ucap Shifa tulus sambil tersenyum dan menggenggam tanganku. 

Setelah itu, Shifa pergi meninggalkan diriku yang masih mematung. Air mataku jatuh kembali tapi dengan rasa yang berbeda. Ada sedikit rasa senang karena masih ada orang tanpa sepengetahuan aku masih memperhatikanku. Ada juga rasa sakit hati yang masih membekas karena masalah itu. Perkataan Shifa membuatku mengingat kembali luka lama. 

Apa aku harus mengikuti apa kata Shifa dan bangkit dari mimpi buruk ku? Apakah ini saatnya aku menikmati mimpi indahku? Ku tatap diriku lagi di cermin. Perlahan senyumku mengembang dan hatiku memanas. Respon ini membuat aku yakin bahwa aku harus memperbaiki hatiku dan kehidupanku, lalu melakukan apa yang hatiku mau. Karena rasa senang, sedih, benci, suka, dan marah datangnya dari hati. Jadi, ini saatnya aku harus melakukan apapun yang bida membuatku suka dan senang. Dan 1 lagi. Aku harus berterima kasih pada Shifa. Karena dia sudah menjalankan arti dari namanya, yaitu obat. Ya, dia sudah membantuku mengobati hatiku agar pulih kembali seperti dulu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun