Mohon tunggu...
Virgacya
Virgacya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi membaca, menulis, menonton film, mendengarkan musik. Apapun yang baik-baik pokoknya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen Hari Ini: Setelah Hujan Semalam #Part1

10 November 2023   18:22 Diperbarui: 10 November 2023   18:45 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: piano sweet via Pinterest 

Noted: Ini semata hanya karangan fiksi tidak nyata meski sebagian besar diambil dari kisah atau pengalaman di lingkungan saya sebagai penulis.

Hei kawan biar kuceritakan kisah singkat diriku ini yang seperti orang pontang panting di jalanan. Alangkah memalukannya jika kututurkan pada kalian, namun tahukah kawan? Kau perlu belajar dari cerita ini, kuharap pembelajaran yang didapatkan bisa lebih maksud untuk kalian ketimbang aku yang berpengalaman dalam cerita ini. Alkisah tak perlu lah panjang-panjang kujelasakan, siapa aku, jenis kelaminku-itu tak penting kawan! Manusia itu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, bukankah merepotkan sekali jika tulisanku ini dianggap untuk satu gender saja?? Lupakan. Tapi kalian bolehlah kuberi kesempatan untuk memanggilku si Pe. 

Aku pernah membaca sebuah kisah tentang awan yang dirayu. Apakah kalian pernah mendengarnya? Kisah itu bermula ketika awan bergelombang-gelombang saling timbun-menimbun di langit nan biru yang muram, alias pertanda akan hujan. Cerita itu turun temurun diceritakan oleh kakek dari kakek, dari kakeknya orang Melayu yang tinggal di pelosok sana. Kalau orang Melayu mulai bertutur elok, itu tandanya dia agak 'majenun' namun bukan main kata-katanya. Decakan kagum terus keluar dari mulutku jika kudengar seseorang mulai merayu awan lewat puisi. Seseorang yang agak majenun itu kelewat banyak tampungan kata-kata yang hanya bisa ditemukan di kamus KBBI. Namun apa hubungannya semua itu dengan perjalananku?

Tenanglah kawan, begini... hari ini aku hendak pergi. Berkumpul ke sebuah perkumpulan yang akan kudatangi dengan segenap hati karena aku yakin itu akan merubah diriku ini. Perjanjian sudah ditentukan semenjak kemarin lusa. Jantungku bertalu-talu tak henti hingga hari ini tiba. Aku merapihkan dasi bewarna hitam mengkilap yang rasa-rasanya baru kupakai untuk kali pertama dalam hidupku. Aku pun merapihkan kerah kemeja meski itu tak akan dipandang, namun rasa gugupku tak mempedulikan kenyataan ini. 

Parahnya supaya penampilanku sempurna, aku mendatangi cermin yang kuacuhkan tiap harinya karena kutakut cermin itu akan menjerit begitu kukedipkan mata untuk bayanganku di sana. Tidak perlu kedipan kawan, aku bisa merasakan pantulan diriku kabur kocar-kacir begitu aku berniat untuk bercermin. Alamak!

Sumber: pngtree
Sumber: pngtree

Hari ini sedikit berbeda. Aku merubah segalanya. Merapihkan diri jadi bagian baru yang kurasa sangat... ganjil? Tetapi pantulan diriku sepertinya tidak mengambil langkah seribu, dia jelas berada di hadapanku sekarang. Mengikutiku tersenyum, ikut bergoyang saatku menggerakkan pinggang, ikut nyengir saat kutertawa tertahan, begitu ganjil kawan! Aku nyaris takut kalau itu hantu jadi-jadian dari dunia astral yang menyukaiku. Akan tetapi bukan!! Wajah yang sama persis sepertiku itu memang diriku yang sesungguhnya. Maka baiklah, telah kumantapkan hati jika ini adalah hari terbaik dalam hidupku.

Siang dini hari aku merasa santai sampai pukul 13:45 aku berjengit. Kemejaku yang telah kukenakan dan kumanjakan supaya tak kusut justru kelihatan seperti tamplak meja yang baru diangkat dari jemuran. Aku berbaring cukup lama selama setengah jam sebelumnya. Tujuannya bukan untuk bermalas-malasan kawan, namun untuk meredam detak jantungku yang tak karuan sejak lusa kemarin. Sambil merapihkan ulang sejadinya, aku memakai kaus kaki dan sepatu. Tidak begitu formal, yang terpenting adalah bagaimana caraku bisa bercakap dengan orang-orang di perkumpulan itu. 

Sejauh ini memang membosankan, itu memang tidak dapat dielak... namun sebentar lagi aku akan mendapat kejadian tidak terduga yang membuat dompetku terkuras habis. Cuaca hari ini tidak mau kukatakan, intinya semalam hujan mendera dan petir meradang tak karuan. Jadi kalian bisa sendiri menyimpulkan cuaca apa hari ini, tapi menurutku siang ini cerah. Dan aku adalah manusia yang bodoh dan mudah ditipu bahkan oleh alam yang sering sekali berhianat pada ramalan.

Aku pergi memakai kendaraan beroda dua. Jangan mudah menyimpulkan apakah itu motor atau sepeda roda dua. Lebih tepatnya jangan bayangkan kendaraan seperti apa yang kupakai, karena aku tak mau pembaca yang berbahagia kecewa. Selama itu pula kupandangi langit dan aku tak curiga sama sekali. Tanganku bahkan dilindungi oleh sarung tangan saking panasnya hari ini. Helmet yang berkaca gelap dan akan menimbulkan pelangi kecil hinggap di depan mataku. Jam 2 siang waktu yang ditentukan, aku harus sudah sampai.

Aku memasuki gerbang yang rindang, padahal aku yakin tidak ada orang waras yang mau memajang pohon-pohon besar macam beringin di samping gerbang karena itu hanya akan menghalangi orang masuk ke keluar. Begitu aku hembuskan nafas setelah menetap di parkiran aku melirik jam tangan dan sekilas memandang langit. Mampuslah aku! Awan sendu yang sangat kuhindari datang. Dari mana ia bisa tiba-tiba muncul? Ini pasti ulah angin si kakaknya yang nakal. Awan hanya menurut saja pada kakaknya yang suka memerintah. Tahulah sendiri angin lebih merepotkan dari banjir besar sekalipun, dia sama mengancamnya seperti petir. Jika dia mengamuk seisi dunia pecah dan kepingannya berterbangan ke mana-mana. Mengerikan pokoknya!

Namun aku enyahkan mimpi buruk itu lantas melihat bangunan mirip kantor-kantor di pusat kota. Langkahku  mendekat, aku pun tersenyum tanpa kekhawatiran akan hujan yang bisa kapan saja turun. Karena aku akan melakukan kegiatan yang menghabiskan waktu berjam-jam di perkumpulan itu lebih dari 20 orang! Kakiku hanya lima meter jaraknya dari pintu masuk ruangan berpintu kaca. Kosong. Kata itu terdengar membisik dari dalam hatiku. 

Aku melesat mendekati pintu dan mengintip dengan satu mata menembus pintu berkaca itu. Sayangnya semua itu sia-sia karena pintu adalah cermin 2 arah, yang di satu sisi tak bisa melihat ruangan dari dalam tapi mampu melihat pemandangan luar dari dalam. Sedikit cahaya mentari yang terlupakan ditutupi oleh awan pemurung membantuku melihat isi ruangan berpintu kaca itu, karena cahaya bisa menembus masuk kaca alhasil aku sedikit dapat mengetahui kenyataan pahit bahwa ruangan itu kosong melompong. Kemejaku makin kusut, wajahku terasa menyedihkan, aku undur diri karena paranoid jika cermin di depanku itu kembali terbirit-birit menjauh dariku. 

Sumber: Pinterest 
Sumber: Pinterest 

Ke mana mereka? Semua orang yang mendapat undangan itu ditotal bisa sampai 30 orang. Itu perkumpulan penting, dan pasalnya ini adalah perdana. Bagaimana bisa mereka melewatkan kesempatan berbahagia ini yang hanya bisa didapatkan oleh orang terpelajar berseragam hitam-putih!? Aku menarik ponsel keras-keras dari saku, aku menyalakan data seluler sambil menahan amarah karena kesal. Dan begitulah kenyataan pahit terjadi, muncullah pesan pemberitahuan jika perkumpulan ini dibatalkan. Aku termenung. Alasannya karena ada hal yang tidak bisa dijelaskan, begitulah kata adminnya. Alasan macam apa itu? Itu namanya penyangkalan!

Aku mengebut di jalanan supaya sampai ditujuan, namun pukul 2 siang pemberitahuan ini baru muncul dan sangat mendadak. Jujur saja, aku tak berniat menyombongkan diri... namun meski bodoh dan gemar dibodohi aku adalah orang yang membenci kata dadakan. Kalau gorengan, tahu bulat, makanan berkuah sih aku oke-oke saja. Tetapi ini lain lagi, aku selalu menghargai waktu dan selalu on time jika ada suatu perjanjian yang melibatkan waktu yang telah ditetapkan sejak lama. 

Sumber: Pinterest 
Sumber: Pinterest 

Namun aduhai... mengapa pula harus dadakan begini? Jarak rumahku tak terlalu jauh, bagaimana kuberkata pada orang tuaku saat melihatku tidak ada setengah jam telah kembali dari perkumpulan ini? Bingung mendera pikiranku. Dan tidak ada kepastian kapan perkumpulan itu akan diadakan lagi padahal aku sudah berusaha keras untuk meredam detak jantungku yang tak sabaran, kini aku benar-benar kecewa. 

Parahnya langit pun seolah bahagia melihat nasibku, andai angin yang suka memerintah itu tahu bila perkumpulan ini akan mengubah diriku menjadi sesuatu yang baru dan berbeda dari dulu. Jika rupanya alasan perkumpulan itu tidak bisa dilakukan karena perkumpulan itu tidak disetujui oleh pihak atasan, maka berarti hidup yang kubanyangkan akan berubah drastis tidak lagi bisa dicapai.

Aku menghela nafas, mundur perlahan dari tempat luas dan mempesona itu. Bagaimana nasibku sekarang? Jalanan yang panas semuanya jadi rindang. Tidak tahu harus bersyukur atau tidak, padahal sedari tadi perjalanan hendak ke tempat perkumpulan aku mengeluh tanpa henti pada mentari yang rasanya membakar tubuh ini. Aku tidak lagi memikirkan soal langit, aku tengah bingung ke mana aku selepas gagal mengikuti perkumpulan hanya karena alasan yang konyol dari pihak admin. 

Kuakui aku ingin pergi, ke mana saja pokoknya menjauh lebih dulu dari rumahku. Aku takut ditanya keluarga dan tetangga yang mulutnya macam pengeras suara dan lidah macam jarum yang ujungnya dioleskan bisa. Aduh hai, tak kuasa aku menahan telingaku lebih lama mendengar ucapan dari dua kubu itu. Tidak lagi kupedulikan kemeja putih dan bawahan hitam yang jadi kebanggaanku sejak lama. Dasi yang kupakai bahkan tak kupikirkan sejak menatap isi ruangan berpintu yang kosong tanpa penghuni.

Malangnya nasib dompet yang kubawa sengaja tidak banyak berisi karena kuyakin hari ini aku akan mendapat komisi. Sayangnya nihil. Aku bukan orang berduit. Hanya uang Rp. 25.000 yang ada di dompetku, kartu nama, dan nomor undian yang berkaitan erat dengan perkumpulan itu. Uang itu adalah tabungan terakhirku setelah sekian lama aku mengejar cita-cita, kupikir inilah harinya aku mengubah nasibku yang memilukan. Bisa memberi makan dompet sempitku dengan tumpukan uang sampai aku pun heran bagaimana bisa kudapatkan semua itu dengan mudah. 

Posisiku sekarang sulit. Perjalanan luntang-lantung tak tahu hendak kabur ke mana itu ditemani oleh dilema yang tak henti-hentinya menyerukan "pulang saja miskin, kau tak punya duit! Ingat dompetmu kurus kering. Kau hanya punya uang Rp.25.000. Kalau kau ambil cam mana kau bisa makan malam ini?" Pihak satunya lagi mengejang tak kalah keras. "Bodoh betul kalau kau pulang ke rumah. Kau mau dikuliti sama tetanggamu yang macam kucing garong itu eh!? Mending sini mampir ke suatu tempat terlebih dahulu. Di jalan banyak kan kedai makanan. Isilah perutmu, nikmatilah hidupmu, sampai kapan kau mau sengsara menahan ocehan orang tak bertanggung jawab itu?"

***

Aku memakirkan kendaraan beroda dua di depan rumah. Segalanya tampak aman. Mataku tertuju langsung pada langit-langit yang kembali membiru cerah tanpa awan kusam. Nampaknya rayuanku terhadap penghuni dirgantara berhasil. Hujan tak datang. Seulas senyum terbit di pipiku. Tak apalah meski dasiku melorot, kemejaku lecek, sepatuku berdebu dan yang terpenting... meski uangku ludes sejadi-jadinya oleh abang-abang tukang parkir dan ibu-ibu penjaja makanan yang begitu menggoda, aku bahagia. Setidaknya aku bersyukur apa yang terjadi hari ini. Sesaat aku masuk ke rumah kujumpai Ibuku yang wajahnya tertekuk, lebih lecek dari pada kemejaku. Aku tahu mengapa begitu. 

Tapi aku diam saja dan mengembangkan senyum mempesona karena tidak ada gerutuan kasar yang dia haturkan untukku, melainkan kesal karena jemuran yang baru saja dia pindahkan ke tempat aman karena takut hujan kini harus dijemur lagi karena cuacanya kembali lagi cerah. Hidup memang lucu, tentang pertukaran... apa yang hendak didapat dan apa yang harus ditukarkan. 

Aku memang menyesal karena mengikuti nafsu alias diriku yang bodoh ini karena tidak bisa mengatur diri, tapi kesempatan selalu bisa didapatkan lagi bukan? Yang namanya penyesalan tidak bisa dihindarkan, justru hidup jadi lebih berarti dan mendebarkan karena bisa merasakan penyesalan ya kan? Hahahaha.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun