Aku memasuki gerbang yang rindang, padahal aku yakin tidak ada orang waras yang mau memajang pohon-pohon besar macam beringin di samping gerbang karena itu hanya akan menghalangi orang masuk ke keluar. Begitu aku hembuskan nafas setelah menetap di parkiran aku melirik jam tangan dan sekilas memandang langit. Mampuslah aku! Awan sendu yang sangat kuhindari datang. Dari mana ia bisa tiba-tiba muncul? Ini pasti ulah angin si kakaknya yang nakal. Awan hanya menurut saja pada kakaknya yang suka memerintah. Tahulah sendiri angin lebih merepotkan dari banjir besar sekalipun, dia sama mengancamnya seperti petir. Jika dia mengamuk seisi dunia pecah dan kepingannya berterbangan ke mana-mana. Mengerikan pokoknya!
Namun aku enyahkan mimpi buruk itu lantas melihat bangunan mirip kantor-kantor di pusat kota. Langkahku  mendekat, aku pun tersenyum tanpa kekhawatiran akan hujan yang bisa kapan saja turun. Karena aku akan melakukan kegiatan yang menghabiskan waktu berjam-jam di perkumpulan itu lebih dari 20 orang! Kakiku hanya lima meter jaraknya dari pintu masuk ruangan berpintu kaca. Kosong. Kata itu terdengar membisik dari dalam hatiku.Â
Aku melesat mendekati pintu dan mengintip dengan satu mata menembus pintu berkaca itu. Sayangnya semua itu sia-sia karena pintu adalah cermin 2 arah, yang di satu sisi tak bisa melihat ruangan dari dalam tapi mampu melihat pemandangan luar dari dalam. Sedikit cahaya mentari yang terlupakan ditutupi oleh awan pemurung membantuku melihat isi ruangan berpintu kaca itu, karena cahaya bisa menembus masuk kaca alhasil aku sedikit dapat mengetahui kenyataan pahit bahwa ruangan itu kosong melompong. Kemejaku makin kusut, wajahku terasa menyedihkan, aku undur diri karena paranoid jika cermin di depanku itu kembali terbirit-birit menjauh dariku.Â
Ke mana mereka? Semua orang yang mendapat undangan itu ditotal bisa sampai 30 orang. Itu perkumpulan penting, dan pasalnya ini adalah perdana. Bagaimana bisa mereka melewatkan kesempatan berbahagia ini yang hanya bisa didapatkan oleh orang terpelajar berseragam hitam-putih!? Aku menarik ponsel keras-keras dari saku, aku menyalakan data seluler sambil menahan amarah karena kesal. Dan begitulah kenyataan pahit terjadi, muncullah pesan pemberitahuan jika perkumpulan ini dibatalkan. Aku termenung. Alasannya karena ada hal yang tidak bisa dijelaskan, begitulah kata adminnya. Alasan macam apa itu? Itu namanya penyangkalan!
Aku mengebut di jalanan supaya sampai ditujuan, namun pukul 2 siang pemberitahuan ini baru muncul dan sangat mendadak. Jujur saja, aku tak berniat menyombongkan diri... namun meski bodoh dan gemar dibodohi aku adalah orang yang membenci kata dadakan. Kalau gorengan, tahu bulat, makanan berkuah sih aku oke-oke saja. Tetapi ini lain lagi, aku selalu menghargai waktu dan selalu on time jika ada suatu perjanjian yang melibatkan waktu yang telah ditetapkan sejak lama.Â
Namun aduhai... mengapa pula harus dadakan begini? Jarak rumahku tak terlalu jauh, bagaimana kuberkata pada orang tuaku saat melihatku tidak ada setengah jam telah kembali dari perkumpulan ini? Bingung mendera pikiranku. Dan tidak ada kepastian kapan perkumpulan itu akan diadakan lagi padahal aku sudah berusaha keras untuk meredam detak jantungku yang tak sabaran, kini aku benar-benar kecewa.Â
Parahnya langit pun seolah bahagia melihat nasibku, andai angin yang suka memerintah itu tahu bila perkumpulan ini akan mengubah diriku menjadi sesuatu yang baru dan berbeda dari dulu. Jika rupanya alasan perkumpulan itu tidak bisa dilakukan karena perkumpulan itu tidak disetujui oleh pihak atasan, maka berarti hidup yang kubanyangkan akan berubah drastis tidak lagi bisa dicapai.
Aku menghela nafas, mundur perlahan dari tempat luas dan mempesona itu. Bagaimana nasibku sekarang? Jalanan yang panas semuanya jadi rindang. Tidak tahu harus bersyukur atau tidak, padahal sedari tadi perjalanan hendak ke tempat perkumpulan aku mengeluh tanpa henti pada mentari yang rasanya membakar tubuh ini. Aku tidak lagi memikirkan soal langit, aku tengah bingung ke mana aku selepas gagal mengikuti perkumpulan hanya karena alasan yang konyol dari pihak admin.Â
Kuakui aku ingin pergi, ke mana saja pokoknya menjauh lebih dulu dari rumahku. Aku takut ditanya keluarga dan tetangga yang mulutnya macam pengeras suara dan lidah macam jarum yang ujungnya dioleskan bisa. Aduh hai, tak kuasa aku menahan telingaku lebih lama mendengar ucapan dari dua kubu itu. Tidak lagi kupedulikan kemeja putih dan bawahan hitam yang jadi kebanggaanku sejak lama. Dasi yang kupakai bahkan tak kupikirkan sejak menatap isi ruangan berpintu yang kosong tanpa penghuni.