Ayahku yang wiraswasta berangkat kerjanya tidak terlalu pagi seperti ibu. Hingga tiap pagi selalu menyalurkan hobinya, pelihara burung. Bukan burung itu loh, melainkan burung kicauan yang mahal. Hobinya ini, mampu membuat beliau lebih sayang ke burung daripada anaknya sendiri.
Menurutmu miris, tapi bagiku tidak. Sebab sedemikian sayangnya ayah sama burung, beliau tetap bertanggungjawab terhadapku. Itu lah ayah yang sempurna dengan kekurangannya sebagai manusia biasa.Â
"Iya, Nih uang sakumu" sahut ayahku dengan tetap jongkok menyirami burung di teras rumah sambil tangannya memberikan uang kepadaku.
Aku mendekati, mengambil uang sakuku yang ada ditangan beliau, ku lihat nominalnya.
"Dua puluh ribu?".
"Terus berapa?". Sahut Ayahku yang kini tatapan matanya mengarah kepadaku.
Aku meringis, aku kenal ayahku!. Jika tatapannya seperti ini, beliau serius dan bakalan rewel penuh berdebatan untuk memberiku uang saku tambahan.
"Tambah lima ribu Yah" ucapku pelan.
Di luar ekspektasiku, tanpa babibu lagi ayah langsung merogoh saku celana pendek untuk memberiku uang saku tambahan sebesar lima ribu.
"Makasi" ucapku sambil pamit dengan menjabat tangan kanan dan menciumnya.
"Hati-hati di jalan" sahut ayah.