"Terdekat tak selalu melekat, dia kan teringat".
Hari pertama masuk pendidikan lebih tinggi dengan sekolah baru beserta guru idolaku, ibuku tercinta. Ya!, SMAN 1 Lamongan yang begitu aku inginkan, sekolah luas nan asri dengan estetika bangunan kuno terawat.
"Ibu berangkat dulu ya Le, kamu jangan telat" teriak ibuku yang akan berangkat mengajar.
"Gak bareng aku aja Bu?" tanyaku dari dalam kamar saat sedang ganti baju seragam sekolah, putih abu-abu.
"Ibu naik becak aja, kamu berangkat sendiri" jawab ibuku.
"Ok Bu" balasku dengan teriak.
Ibuku berlalu pergi, berangkat mengajar ke sekolah, meninggalkanku yang masih di kamar untuk memakai seragam. Entah apa alasan ibu tak mau bareng denganku, mungkin malu. Tapi seingatku beliau bangga kepadaku kok.
Tak penting alasan ibuku itu, karena yang penting antusiasku sekarang. Lagian aku juga tak mau orang tahu jika Bu Tiwarsih adalah Ibuku, nanti dikira KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme). Antusiasme penuh semangat dengan sekolah baru yang akan jadi cerita mengesankan di hidupku.Â
Aku sudah siap, seragam putih abu-abu melekat indah di tubuhku yang tinggi, rambut mohak bergel ala tahun 90an. Tak lupa, ikat pinggang bertuliskan SMAN 1 Lamongan melingkar rapi di pinggang dengan sepatu hitam gelap dan tas punggung.
Ganteng!, ku rasa sekarang, jauh lebih dewasa dari saat aku masih SMP. Cara berjalanku kali ini juga berbeda, kayak sombong namun elegan gitu. Maklum ABG (Anak Baru Gede) sekarang.
"Yah, aku berangkat dulu" ucapku berpamitan kepada ayah yang sedang memandikan burung kesayangannya.
Ayahku yang wiraswasta berangkat kerjanya tidak terlalu pagi seperti ibu. Hingga tiap pagi selalu menyalurkan hobinya, pelihara burung. Bukan burung itu loh, melainkan burung kicauan yang mahal. Hobinya ini, mampu membuat beliau lebih sayang ke burung daripada anaknya sendiri.
Menurutmu miris, tapi bagiku tidak. Sebab sedemikian sayangnya ayah sama burung, beliau tetap bertanggungjawab terhadapku. Itu lah ayah yang sempurna dengan kekurangannya sebagai manusia biasa.Â
"Iya, Nih uang sakumu" sahut ayahku dengan tetap jongkok menyirami burung di teras rumah sambil tangannya memberikan uang kepadaku.
Aku mendekati, mengambil uang sakuku yang ada ditangan beliau, ku lihat nominalnya.
"Dua puluh ribu?".
"Terus berapa?". Sahut Ayahku yang kini tatapan matanya mengarah kepadaku.
Aku meringis, aku kenal ayahku!. Jika tatapannya seperti ini, beliau serius dan bakalan rewel penuh berdebatan untuk memberiku uang saku tambahan.
"Tambah lima ribu Yah" ucapku pelan.
Di luar ekspektasiku, tanpa babibu lagi ayah langsung merogoh saku celana pendek untuk memberiku uang saku tambahan sebesar lima ribu.
"Makasi" ucapku sambil pamit dengan menjabat tangan kanan dan menciumnya.
"Hati-hati di jalan" sahut ayah.
Ku tak membalas dengan ucapan, hanya isyarat dari tangan yang ku berikan. Lantas, aku berjalan mengambil motor bebekku, mengendarainya menuju sekolah baruku pagi ini.
Baru sebentar mengendarai di perempatan jalan kampung, aku melihat seorang gadis manis berjalan kaki. Gadis yang sepertinya aku kenal tapi kenapa kali ini menjadi asing. Dia memakai seragam putih abu-abu sama sepertiku. Namun wajahnya hanya sekilas ku lihat.
"Siapa gadis manis itu? Setahuku di sini, gak ada gadis semanis itu" pikirku sambil mengendarai motor bebekku.
Aku telah mengendarai melewatinya namun pikiranku akan dirinya belum juga terlewati. Rasa penasaran, kagum, mungkin juga naksir yang membuat pikiranku terus menelisik jauh tentang dia yang termanis, ku lihat sekilas tadi.
"Plakkk".
Suara helmku yang dikeplak seseorang dari samping. Rupanya aku berkendara sambil melamun, memikirkan dia yang termanis. Hingga tak tahu, jika aku hampir melindas kaki satpam yang mengatur lalu lintas di jalan depan gerbang sekolah baruku, SMAN 1 Lamongan.
"Maaf Pak" ucapku berhenti sambil menunggu untuk menyeberang jalan, memasuki gerbang sekolah.
"Sepedaan jangan meleng"
Satpam menyahuti dengan tatapan melotot ke arahku. Nampak urat wajah memarah, seakan mau menghantamku lebih daritadi. Aku tak menggubris, cuek dengan kembali fokus melihat kendaraan untuk segera bisa menyebrang.Â
Akhirnya kendaraan di depan sudah sepi, aku mulai menyebrangkan motor masuk ke sekolah. Lega, perasaan yang ku rasakan, terhindar dari masalah di hari pertama aku masuk sekolah yaitu satpam galak. Namun aku masih ingat nama satpam itu, Hidayat namanya.
Hari pertama masuk sekolah sudah dihadapkan masalah dengan satpam sekolah. Memang salahku karena tak fokus berkendara dengan terus memikirkan gadis manis yang ku temui tadi di perempatan jalan kampung. Bahkan ketika aku sudah duduk di kelas 10G pun, pikiranku terus memikirkannya.
"Ian".
Terdengar suara seseorang gadis memanggilku. Aku menengok, ku lihat dia Eka, temanku sejak Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP).
"Eka!, masuk sini juga rupanya" sahutku
"Tentu lah, ini kan sekolah favoritku"
Eka berjalan menghampiriku yang duduk seusai menyahut.
"Tadi ku lihat melamun aja kamu Ian, kenapa?" tanya Eka saat sudah berdiri di dekatku.
Aku menengadah, meringis setelah mendengar pertanyaan Eka itu.
"Eh, itu tadi aku ketemu gadis SMA manis di jalan kampung tapi seingatku gak ada yang manis di kampungku" ucapku dengan kaget.
"Naksir ya?" Eka mencoba menggodaku.Â
"Gak, hanya kagum" aku meringis, mencoba untuk mengelak atas rasa di hati yang aku sendiri tak tahu.
"Ciri-cirinya gimana? Setahuku yang seumuran dengan kita dan sekampung denganmu hanya Yayuk" tanya Eka yang juga menjelaskannya kepadaku.
"Hidungnya mancung se dan berhijab. Tadi aku ketemu tepat di perempatan jalan kampung" terangku dengan antusias.
"Ini bukan" ucap Eka sembari menunjukkan sebuah foto kecil yang diambil dari tasnya.
"Iya betul itu dia" sahutku.
"Yayuk ini Ian, teman dekatku sejak Sekolah Dasar. Dia sekarang masuk SMAN 2 Lamongan" ucap Eka dengan kembali memasukkan foto di tasnya.
"Oh, kok berubah cantik gitu ya".
Aku mengenalnya, dia dulu tak seperti itu. Apa karena aku terakhir melihat ketika masih sama-sama kecil?. Mungkin juga, kan semakin dewasa seorang gadis pasti makin cantik.
"Kamu ini gimana se Ian. Tetangga sendiri masak gak tahu" ucap Eka sembari berjalan pergi duduk di bangku depan yang dia pilih.
"Yayuk" nama dari termanis yang ku lihat sekilas di perempatan jalan kampung. Gadis yang sangat ku kenal, kini menjadi asing hingga aku tak mengenalinya. Bahkan diriku dibuat terus melamun untuk bisa tahu nama dan dirinya.
Bel masuk sekolah sudah bersembunyi, seluruh siswa dan siswai baru sudah masuk ke kelas masing-masing. Betapa kagetnya aku, saat aku lihat, teman sekelasku adalah mereka yang ku kenal karena teman Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertamaku.
Aku duduk sebangku dengan teman bajinganku, teman seperjuangan di Sekolah Dasar meski berbeda Sekolah Menengah Pertama, Luky namanya atau biasanya aku memanggilnya Londo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H