Mohon tunggu...
Virda Naila
Virda Naila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi UIN KHAS Jember

Mahasiswi UIN KHAS Jember

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perubahan Sosial, Konsep dan Teori, Serta Pendidikan Islam Sebagai Agent Of Change

12 Desember 2024   15:00 Diperbarui: 13 Desember 2024   19:46 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

A. Perubahan Sosial

Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari masyarakat, mulai dari sifat-sifat dan perilaku sosial hingga berbagai aspek kehidupan yang berkembang di dalamnya. Sebagai cabang ilmu sosial, sosiologi berfokus pada bagaimana masyarakat terbentuk, berinteraksi, dan mempengaruhi kehidupan individu maupun kelompok. Ilmu ini pertama kali diperkenalkan oleh ilmuwan asal Prancis, Isidore Auguste Comte, yang kemudian dijuluki sebagai "Bapak Sosiologi." Pemikiran Comte membuka jalan bagi para ilmuwan lain untuk mengembangkan sosiologi sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Salah satunya adalah Emile Durkheim, seorang ilmuwan sosial dari Prancis, yang berhasil melembagakan sosiologi sebagai disiplin ilmu akademik yang diakui. Selain itu, Max Weber dan Karl Marx, ilmuwan dari Jerman, juga memiliki kontribusi penting. Max Weber dikenal dengan teori birokrasinya, yang membahas tentang struktur dan organisasi dalam masyarakat, sementara Karl Marx terkenal dengan teori konflik sosialnya, yang menyoroti ketimpangan dan perjuangan kelas dalam masyarakat.

Sosiologi sebenarnya memiliki akar yang sudah ada sejak ribuan tahun lalu, di mana pemikiran tentang masyarakat dan interaksi sosial telah mulai berkembang. Salah satu tokoh awal yang dianggap sebagai peletak dasar pemikiran sosiologi adalah Ibnu Khaldun, seorang cendekiawan dari dunia Islam yang hidup pada abad ke-13. Ibnu Khaldun mengemukakan gagasan-gagasan tentang bagaimana masyarakat terbentuk, mengalami perubahan, dan mengembangkan struktur-struktur tertentu. Meski pemikiran ini menjadi dasar, sosiologi sebagai ilmu formal yang mempelajari masyarakat sebagai kumpulan individu yang terorganisir baru benar-benar berkembang beberapa abad kemudian, khususnya di Eropa pada abad ke-18.

Pada awal abad ke-18 hingga abad ke-19, Eropa menjadi pusat kemajuan dan perkembangan peradaban baru, sering disebut sebagai "new civilization in the world". Di masa ini, perubahan-perubahan besar, seperti Revolusi Industri dan kemajuan dalam ilmu pengetahuan, memunculkan dinamika sosial yang lebih kompleks. Kondisi-kondisi ini mendorong para ilmuwan sosial untuk mengamati dan memahami perubahan dalam masyarakat. Mereka mulai menyadari pentingnya ilmu yang khusus mempelajari pola, struktur, dan proses dalam kehidupan sosial. Para ilmuwan sosial pada masa itu juga berupaya mengembangkan teori-teori sosial yang berdasarkan pada karakteristik dan esensi dari setiap tahap perkembangan masyarakat. Mereka tidak hanya tertarik pada bagaimana masyarakat berubah, tetapi juga pada prinsip-prinsip dasar yang mendasari interaksi sosial, hubungan kekuasaan, dan organisasi dalam komunitas manusia. Pemikiran-pemikiran ini menjadi fondasi bagi sosiologi modern, yang kemudian tumbuh sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri dan berkembang hingga saat ini.

Istilah "sosiologi" berasal dari kata Latin socius, yang berarti teman, dan logos dari bahasa Yunani yang artinya cerita atau berpikir secara ilmiah (logic). Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798-1857) dalam bukunya Cours De Philosophie Positive. Di dalam buku tersebut, Comte memperkenalkan konsep yang disebut sebagai "hukum tiga tahap" (Law of Three Stages), yang menjelaskan perkembangan intelektual manusia melalui tiga tahapan yang saling berkaitan dan berkembang secara bertahap.

Pertama, tahap teologis, di mana manusia meyakini bahwa semua benda di dunia memiliki jiwa atau ruh. Pada tahap ini, pemikiran manusia dipengaruhi oleh keyakinan bahwa segala sesuatu di dunia ini diatur oleh kekuatan supernatural atau kekuatan adikodrati yang berada di luar kendali manusia. Hal ini membuat manusia melihat dunia dari sudut pandang yang penuh mitos dan kepercayaan akan kekuatan gaib.

Kedua, tahap metafisis, di mana manusia mulai mencari makna di balik setiap gejala melalui konsep-konsep abstrak, meski belum mencapai pemahaman ilmiah. Pada tahap ini, manusia percaya bahwa di dalam setiap peristiwa ada kekuatan atau energi tertentu yang bersifat tetap, dan mulai muncul anggapan bahwa ada realitas yang mendasari cita-cita dan kepercayaan. Namun, manusia belum berupaya menemukan hukum-hukum alam yang universal atau seragam.

Ketiga, tahap positif atau tahap ilmiah, di mana manusia mulai memandang dunia dengan cara berpikir ilmiah dan empiris. Di tahap ini, pemikiran manusia mengedepankan pendekatan positif, atau filsafat positivisme, yang berfokus pada hal-hal yang nyata, pasti, dan dapat diuji secara empiris. Pada tahap ini, manusia tidak lagi hanya bergantung pada mitos atau konsep abstrak, tetapi lebih berusaha memahami hukum-hukum alam yang terukur dan bermanfaat bagi kehidupan.

Melalui ketiga tahap ini, Auguste Comte menggambarkan perjalanan pemikiran manusia dari yang bersifat mistis hingga ke pola pikir yang rasional dan ilmiah, yang menjadi dasar bagi perkembangan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan.

Auguste Comte membedakan dua jenis analisis dalam sosiologi: sosiologi statis dan sosiologi dinamis. Sosiologi statis berfokus pada hukum-hukum dasar yang menjadi pondasi dari keberlangsungan masyarakat. Dalam pendekatan ini, sosiologi mempelajari elemen-elemen tetap yang menjaga kestabilan dan keteraturan dalam kehidupan sosial. Sementara itu, sosiologi dinamis lebih menyoroti proses perkembangan masyarakat, yaitu bagaimana masyarakat mengalami perubahan dan kemajuan secara bertahap. Melalui sosiologi dinamis, Comte mengkaji dinamika sosial dalam konteks perubahan dan transformasi, dengan tujuan memahami bagaimana pembangunan sosial dapat mendorong masyarakat ke arah yang lebih maju. Jadi, kedua pendekatan ini statis dan dinamis melengkapi satu sama lain dalam menjelaskan tidak hanya struktur yang stabil dalam masyarakat, tetapi juga proses perubahan yang terus terjadi.

Pada abad ke-20, pandangan filsafat positivisme dari Auguste Comte mulai menerima banyak kritik dari para pemikir dan ahli lain, yang melihat beberapa kelemahan dalam pendekatan ini:

1.Banyak ahli merasa tidak puas dengan dominasi positivisme, terutama karena pendekatan ini dianggap terlalu naturalistik dan deterministik. Naturalistik dan deterministik berarti bahwa positivisme dipandang berusaha menjelaskan fenomena sosial seolah-olah semuanya tunduk pada hukum alam yang kaku dan tak terhindarkan. Pendekatan ini dianggap mengarah pada pemikiran yang cenderung materialistik dan kuantitatif, yang menempatkan angka atau data sebagai dasar utama dalam memahami masyarakat. Konsekuensinya, positivisme dinilai mengabaikan aspek-aspek kemanusiaan yang kompleks dan membawa dampak yang luas pada berbagai dimensi kehidupan sosial.

2.Ada reaksi yang berkembang terhadap semangat kemajuan atau progres yang kuat pada abad ke-20, yang sebagian besar didorong oleh pengaruh pemikiran historis yang berfokus pada perkembangan yang terus berlanjut. Meskipun kemajuan ini di satu sisi menghasilkan manfaat yang signifikan, di sisi lain ada pula kesenjangan atau diskontinuitas dalam proses perkembangan yang terjadi. Diskontinuitas ini menunjukkan bahwa tidak semua perkembangan dapat mengikuti pola linier yang stabil, sehingga menyebabkan tantangan baru dalam memahami perubahan sosial yang kompleks.

3.Kritik terhadap konsep "perkembangan" yang dianggap sebagai proses linier atau berkelanjutan juga muncul. Dalam pandangan banyak ahli, pendekatan ini terlalu sederhana dan kurang mampu menangkap keragaman yang terjadi dalam masyarakat. Dengan menganggap perkembangan bersifat linier, positivisme seakan mengabaikan keragaman dinamika sosial yang sesungguhnya. Akibatnya, muncullah kecenderungan untuk lebih memperhatikan struktur-struktur sosial yang ada daripada mengamati fenomena konkret yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini melahirkan kebutuhan akan pendekatan yang lebih realistis, logis, dan responsif terhadap kompleksitas sosial di masyarakat.

Faktor-faktor inilah yang menyebabkan pemikiran filsafat positivisme dari Auguste Comte mendapat banyak kritik seiring dengan perkembangannya. Sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari masyarakat kemudian berkembang sebagai cabang pengetahuan yang mengandalkan pemikiran ilmiah dan dapat dievaluasi secara kritis oleh publik atau ilmuwan lainnya. Meski demikian, meskipun menerima kritik, pemikiran Comte tetap mendapatkan sambutan positif dari banyak kalangan. Hal ini terbukti dari munculnya sejumlah tokoh besar dalam bidang sosiologi yang memberikan kontribusi penting terhadap teori dan pendekatan sosiologi. Tokoh-tokoh ini termasuk Pitirim Sorokin, Herbert Spencer, Karl Marx, Emile Durkheim, George Simmel, dan Max Weber, yang masing-masing memberikan pendekatan berbeda dalam mempelajari masyarakat. Kontribusi mereka sangat berguna bagi perkembangan sosiologi baik pada masa kini maupun di masa yang akan datang. Beberapa pandangan mereka adalah sebagai berikut:

1.Herbert Spencer memperkenalkan pendekatan analogi organik, yang membandingkan masyarakat dengan tubuh manusia atau perilaku hewan. Ia menekankan bahwa setiap bagian dalam organisasi sosial saling bergantung satu sama lain dan terus mengalami perubahan. Spencer melihat masyarakat sebagai sistem yang saling terkait dan membutuhkan keseimbangan agar tetap berfungsi dengan baik.

2.Karl Marx mengembangkan pendekatan materialisme dialektis, yang menyatakan bahwa konflik antar kelas sosial adalah pendorong utama perubahan dalam masyarakat. Marx percaya bahwa ketegangan antara kelas-kelas ini akan mendorong perubahan sosial dan sejarah. Menurutnya, masyarakat selalu berkembang melalui konflik antara kelompok yang memiliki kepentingan ekonomi yang berbeda.

4.Emile Durkheim memperkenalkan pendekatan fungsionalisme, yang berfokus pada bagaimana berbagai elemen dalam masyarakat berfungsi untuk menjaga keteraturan sosial. Durkheim menganggap bahwa masyarakat terdiri dari bagian-bagian yang saling terhubung, dan setiap bagian memiliki fungsi tertentu yang berperan dalam mempertahankan stabilitas dan mengatur perubahan sosial. Pendekatan ini menekankan pentingnya konsensus sosial dan integrasi dalam masyarakat.

5.Max Weber memperkenalkan konsep verstehen atau pemahaman, yang berupaya memahami tindakan sosial melalui perspektif individu. Weber berfokus pada nilai-nilai, kepercayaan, ideologi, tujuan, dan sikap yang memandu tindakan sosial manusia. Ia menganggap bahwa untuk memahami perilaku manusia, kita perlu memahami makna yang ada di balik tindakan tersebut. Weber mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu yang berusaha memahami berbagai tindakan sosial dan konteks yang melatarinya.

6.Pitirim Sorokin mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara berbagai fenomena sosial, seperti gejala ekonomi, keluarga, dan moral. Sorokin juga mengkaji bagaimana gejala sosial saling berinteraksi dengan fenomena nonsosial, serta ciri-ciri umum dari berbagai jenis gejala sosial. Ia menekankan pentingnya memahami hubungan antara berbagai aspek kehidupan masyarakat secara holistik.

7.Roucek dan Warren menyederhanakan definisi sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok sosial. Pendekatan ini fokus pada interaksi sosial dalam konteks kelompok, tanpa mengabaikan struktur dan dinamika sosial yang lebih besar.

8.William F. Ogburn dan Mayer F. Nimkopf mendefinisikan sosiologi sebagai penelitian ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasil-hasil yang ditimbulkan, seperti organisasi sosial. Mereka menekankan pentingnya pendekatan kuantitatif dan ilmiah untuk memahami pola-pola sosial dalam masyarakat.

9.Selo Soemardjan mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan sosial yang terjadi. Soemardjan berfokus pada bagaimana struktur dan dinamika sosial mempengaruhi kehidupan masyarakat serta perubahan yang terjadi seiring waktu.

10.Soerjono Soekanto melihat sosiologi sebagai ilmu yang fokus pada aspek-aspek umum kehidupan masyarakat dan berusaha mencari pola-pola umum yang berlaku dalam kehidupan sosial. Soekanto menekankan pentingnya untuk memahami pola-pola sosial yang dapat diterapkan dalam berbagai konteks sosial.

Dari berbagai definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari fenomena sosial dan hubungan-hubungan yang terjadi di dalamnya. Sosiologi berfokus pada pola-pola hubungan antara individu dan masyarakat serta berusaha memberikan pemahaman yang rasional, empiris, dan umum tentang perubahan sosial dan perkembangannya. Dengan pendekatan yang beragam dari para tokoh besar tersebut, sosiologi terus berkembang untuk memahami dinamika kehidupan sosial yang semakin kompleks.

Pada zaman kuno, banyak pemikir besar seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles yang berpendapat bahwa masyarakat terbentuk secara alami dan tanpa adanya kekuatan yang dapat mengendalikannya, ibarat aliran air yang mengalir mengikuti jalannya. Mereka memandang bahwa masyarakat berkembang melalui siklus yang tidak bisa dihindari, mengalami masa kemajuan dan kemunduran secara bergantian. Dalam pandangan ini, perubahan dalam masyarakat adalah proses yang berjalan dengan sendirinya, tanpa intervensi atau kendali dari faktor eksternal.

Pandangan tersebut kemudian dipertegas oleh para pemikir di abad pertengahan, seperti Agustinus, Ibnu Sina, dan Thomas Aquinas. Mereka berpendapat bahwa manusia, sebagai makhluk yang fana dan terbatas, tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui atau memprediksi apa yang akan terjadi pada masyarakat mereka, baik pada masa sekarang maupun di masa depan. Dengan demikian, pemikiran ilmiah mengenai perubahan masyarakat belum ada dalam kerangka berpikir mereka pada waktu itu. Namun, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat pada abad Pencerahan (sekitar abad ke-17), pandangan tentang perubahan masyarakat mulai mengalami transformasi. Ciri-ciri ilmiah dalam pemahaman perubahan masyarakat mulai muncul, dan para ilmuwan di zaman itu mulai mengajukan gagasan bahwa perubahan dalam masyarakat harus dipahami dengan pendekatan yang lebih rasional, menggunakan akal budi manusia sebagai landasannya.

Perubahan besar yang terjadi pada abad Pencerahan ini terus berkembang secara revolusioner hingga memasuki abad ke-18, yang menandai pergeseran besar dalam struktur sosial dan politik masyarakat. Struktur masyarakat yang lama dengan cepat digantikan oleh struktur baru yang lebih modern. Transformasi ini sangat jelas terlihat dalam peristiwa-peristiwa monumental seperti Revolusi Amerika (1776-1783), Revolusi Industri, dan Revolusi Prancis (14 Juli 1789). Ketiga revolusi ini memicu gejolak sosial yang dampaknya terasa hingga saat ini. Para ilmuwan sosial pun mulai menyadari pentingnya analisis terhadap perubahan-perubahan besar dalam masyarakat, serta dampak-dampaknya yang luas. Sebagai contoh, perubahan yang terjadi akibat revolusi-revolusi tersebut mengubah secara drastis struktur sosial yang telah ada selama berabad-abad. Kelas bangsawan dan rohaniawan yang sebelumnya menikmati kekayaan dan kekuasaan yang melimpah kini diperlakukan setara dengan rakyat jelata. Bahkan, raja yang sebelumnya memegang kekuasaan absolut harus tunduk pada undang-undang yang ditetapkan oleh rakyat. Dampak dari perubahan ini sangat signifikan, dengan banyaknya kerajaan besar di Eropa yang runtuh atau terpecah sebagai akibat dari gelombang revolusi ini. Gejolak tersebut membangkitkan kesadaran baru di kalangan ilmuwan sosial bahwa perubahan dalam masyarakat bukanlah sesuatu yang bisa diterima begitu saja, melainkan sesuatu yang harus dianalisis secara mendalam, dengan tujuan untuk memahami penyebab dan konsekuensi dari setiap perubahan yang terjadi.

Gejolak yang terjadi selama abad revolusi mulai mempengaruhi pemikiran para ilmuwan sosial tentang pentingnya menganalisis perubahan dalam masyarakat. Mereka menyadari bahwa perubahan besar dalam masyarakat telah menyebabkan banyak korban, seperti perang, kemiskinan, pemberontakan, dan kerusuhan. Mereka berpendapat bahwa bencana ini bisa saja dihindari jika perubahan masyarakat sudah diprediksi dan diantisipasi sejak dini. Perubahan drastis yang terjadi selama revolusi semakin memperkuat kebutuhan untuk memberikan penjelasan rasional mengenai perubahan besar dalam masyarakat. Oleh karena itu, para ilmuwan sosial menyimpulkan bahwa: 1) perubahan masyarakat bukanlah sesuatu yang harus diterima begitu saja, melainkan sesuatu yang dapat dianalisis untuk mengetahui penyebab dan akibatnya; 2) dibutuhkan metode ilmiah yang jelas sebagai alat untuk menjelaskan perubahan dalam masyarakat dengan bukti-bukti yang kuat dan logis; dan 3) dengan menggunakan metode ilmiah yang tepat, yang melibatkan penelitian yang berulang, penjelasan yang cermat, dan perumusan teori berdasarkan bukti, perubahan masyarakat dapat diprediksi dan diantisipasi, sehingga krisis sosial yang parah bisa dicegah.

Berdasarkan pemikiran inilah, lahir sosiologi modern yang kemudian berkembang pesat di Amerika Utara, khususnya di Amerika Serikat dan Kanada. Mengapa bukan di Eropa, tempat lahirnya sosiologi? Salah satu alasan utamanya adalah pada awal abad ke-20, terdapat gelombang besar imigrasi dari Eropa ke Amerika Utara, yang dikenal dengan sebutan white color wave. Fenomena ini menyebabkan pertumbuhan penduduk yang pesat, munculnya kota-kota industri baru, meningkatnya tingkat kriminalitas, dan berbagai gejolak sosial lainnya. Konsekuensi dari perubahan besar ini mempengaruhi masyarakat secara langsung, yang kemudian mendorong para ilmuwan sosial untuk berfikir ulang. Mereka menyadari bahwa pendekatan sosiologi yang lama, yang berasal dari Eropa, sudah tidak lagi relevan untuk menggambarkan kondisi masyarakat saat itu. Para ilmuwan ini kemudian mencari pendekatan baru yang lebih sesuai dengan realitas sosial yang sedang berkembang, yang akhirnya melahirkan sosiologi modern.

Pendekatan sosiologi modern cenderung fokus pada aspek mikro, yang sering disebut sebagai pendekatan empiris. Ini berarti perubahan masyarakat dipelajari melalui hubungan antar fakta sosial satu dengan yang lainnya. Dari fakta sosial tersebut, kesimpulan mengenai perubahan masyarakat secara keseluruhan dapat ditarik. Oleh karena itu, penelitian dalam sosiologi (penelitian sosial) menjadi sangat penting, terutama dalam hal perubahan sosial, dengan menggunakan rumus dan teknik pengumpulan data yang seobjektif mungkin, serta mengikuti metodologi yang tepat untuk pengambilan keputusan berdasarkan fakta yang valid dan aturan yang berlaku (fakta + aturan = keputusan).

Isu tentang perubahan sosial mulai menjadi fokus kajian serius di awal abad ke-19, seiring dengan munculnya isu globalisasi dan globalisme yang mempengaruhi perubahan sosial di seluruh dunia. Konsep perubahan itu sendiri berhubungan erat dengan proses, perbedaan, dan dimensi waktu. Oleh karena itu, perubahan sosial dapat dipahami sebagai proses dalam sistem sosial yang menunjukkan perbedaan-perbedaan yang dapat diukur dan diamati dalam jangka waktu tertentu. Perubahan sosial dapat mengarah pada kemajuan (progres) atau kemunduran (regres). Perubahan sosial yang mengarah pada kemajuan umumnya dikaitkan dengan konsep pembangunan (development), yang dianggap sebagai hasil yang diinginkan (fungsional). Sebaliknya, kemunduran merupakan hasil yang tidak diinginkan dalam masyarakat (disfungsional).

Perubahan sosial merupakan proses terjadinya perubahan dalam tatanan atau struktur di dalam masyarakat, yang mencakup perubahan cara berpikir, sikap, dan kehidupan sosial masyarakat itu sendiri. Proses ini umumnya dilakukan untuk meningkatkan taraf hidup dan mencapai kondisi yang lebih baik. Dalam hal ini, perubahan sosial tidak hanya sebatas perubahan individual, tetapi juga mencakup perubahan yang lebih luas dan kompleks dalam organisasi masyarakat, nilai-nilai sosial, serta hubungan antarindividu. Beberapa ahli memberikan pandangan mereka tentang konsep perubahan sosial, yang dapat membantu kita memahami bagaimana perubahan tersebut dapat terjadi dalam masyarakat.

1.Kingsley Davis berpendapat bahwa perubahan sosial merupakan perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. Artinya, perubahan sosial mencakup perubahan dalam organisasi dan pola hubungan antarindividu dalam suatu masyarakat. Salah satu contoh perubahan sosial yang disebutkan oleh Davis adalah pengorganisasian buruh dalam masyarakat industri atau kapitalis. Dalam konteks ini, buruh mulai mengorganisasi diri mereka untuk menuntut hak-hak yang lebih baik dan mengubah hubungan mereka dengan majikan. Perubahan ini tidak hanya memengaruhi hubungan kerja antara buruh dan majikan, tetapi juga membawa dampak pada perubahan organisasi politik yang ada dalam perusahaan, yang pada akhirnya turut memengaruhi dinamika sosial dalam masyarakat industri tersebut.

2.Mac Iver memberikan pandangan bahwa perubahan sosial merupakan perubahan dalam interaksi atau hubungan sosial yang ada di masyarakat. Menurutnya, perubahan sosial dapat berupa perubahan dalam keseimbangan atau harmoni hubungan-hubungan sosial di masyarakat. Artinya, perubahan sosial terjadi ketika ada perubahan dalam cara individu atau kelompok berinteraksi satu sama lain. Misalnya, ketika masyarakat mulai terbiasa dengan teknologi digital, pola interaksi di antara mereka juga berubah, dari interaksi tatap muka menjadi lebih banyak melalui media digital. Hal ini menyebabkan perubahan besar dalam struktur sosial dan cara orang berkomunikasi satu sama lain.

3. Selo Soemarjan mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan pada lembaga-lembaga masyarakat yang ada di dalam suatu komunitas. Menurutnya, perubahan ini akan memengaruhi sistem sosial yang berlaku, termasuk nilai-nilai, sikap, serta perilaku antar kelompok masyarakat. Sebagai contoh, ketika terjadi modernisasi di suatu desa, lembaga-lembaga tradisional seperti kelompok tani atau arisan desa mungkin akan mengalami perubahan fungsi atau bentuk, seiring dengan munculnya lembaga-lembaga baru yang lebih relevan dengan kehidupan modern. Hal ini menyebabkan nilai dan norma dalam masyarakat juga berubah, karena terjadi penyesuaian antara tradisi lama dengan kebutuhan masyarakat yang baru.

11.William Ogburn memandang perubahan sosial dengan memberikan batasan pada ruang lingkup perubahan tersebut. Ogburn menjelaskan bahwa perubahan sosial mencakup unsur-unsur budaya, baik yang bersifat materiil maupun immateriil. Ia menekankan bahwa unsur-unsur materiil dalam budaya, seperti teknologi dan alat-alat modern, memiliki pengaruh yang besar terhadap perubahan unsur-unsur budaya yang bersifat immateriil, seperti nilai dan norma. Sebagai contoh, perkembangan teknologi internet dapat mengubah pandangan masyarakat terhadap komunikasi, pendidikan, dan pekerjaan. Seiring dengan perkembangan teknologi ini, masyarakat juga mulai mengubah cara pandang mereka terhadap kehidupan, sehingga terjadi perubahan sosial yang cukup signifikan.

Perubahan sosial dalam masyarakat dapat terjadi dengan berbagai cara, dan tidak semua perubahan tersebut membawa dampak yang positif atau kemajuan. Dalam beberapa kasus, perubahan sosial justru bisa menyebabkan kemunduran. Oleh karena itu, perubahan sosial biasanya dibahas berdasarkan dua kategori utama, yaitu perubahan sosial yang direncanakan dan perubahan sosial yang tidak direncanakan. Perubahan sosial yang direncanakan adalah perubahan yang sengaja diupayakan oleh suatu kelompok atau pihak tertentu, seperti pemerintah yang merencanakan program-program pembangunan untuk masyarakat, salah satunya adalah sistem Keluarga Berencana (KB). Program KB ini bertujuan untuk mengatur jumlah anggota keluarga melalui berbagai upaya pendidikan dan penyuluhan, yang pada gilirannya diharapkan bisa memperbaiki kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan. Sebaliknya, perubahan sosial yang tidak direncanakan adalah perubahan yang terjadi tanpa adanya persiapan atau perencanaan, yang sering kali disebabkan oleh faktor eksternal yang tidak terduga, seperti peperangan, bencana alam, atau krisis ekonomi. Perubahan jenis ini sering kali membawa dampak yang lebih besar dan kadang-kadang sulit untuk dikendalikan, karena sifatnya yang tiba-tiba dan tidak dapat diprediksi.

Dalam konteks perubahan sosial, pemahaman tentang tindakan sosial atau aksi sosial juga sangat penting. Menurut Max Weber, seorang ahli sosiologi, tindakan sosial tidak dapat dipisahkan dari proses berpikir rasional yang mendasari setiap keputusan yang diambil oleh individu atau kelompok. Tindakan sosial selalu berhubungan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh pelakunya, dan ini menunjukkan bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh individu dalam masyarakat didorong oleh suatu alasan atau pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mencapai hasil tertentu. Dalam bukunya yang dibahas oleh Berger (2004), Weber mengemukakan bahwa terdapat empat jenis tindakan sosial yang bisa dijelaskan melalui motif atau alasan di baliknya. Pertama, tindakan yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu tindakan yang didorong oleh keinginan untuk mencapai hasil yang spesifik, seperti berusaha keras untuk meraih suatu cita-cita atau tujuan hidup. Kedua, tindakan yang didasarkan pada nilai-nilai tertentu, yaitu tindakan yang dipandu oleh keyakinan atau prinsip moral yang diyakini oleh individu, misalnya berjuang untuk hak asasi manusia atau melakukan amal. Ketiga, tindakan emosional, yang dilakukan berdasarkan perasaan atau emosi, seperti tindakan yang muncul karena rasa marah, cinta, atau rasa dendam. Keempat, tindakan yang didasarkan pada adat istiadat atau tradisi tertentu, yaitu tindakan yang dilakukan karena mengikuti kebiasaan atau norma yang ada dalam masyarakat, seperti perayaan hari besar keagamaan atau pernikahan yang mengikuti aturan adat setempat.

Dengan memahami konsep perubahan sosial dan jenis-jenis tindakan sosial ini, kita dapat lebih mudah melihat bagaimana masyarakat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi dan bagaimana individu dalam masyarakat berperan dalam membentuk perubahan tersebut. Setiap perubahan, baik yang direncanakan maupun yang tidak direncanakan, mempengaruhi struktur sosial dan interaksi antarindividu, yang pada akhirnya akan membentuk dinamika sosial di masyarakat.

B. Konsep dan Teori Perubahan Sosial

Konsep merujuk pada istilah abstrak yang digunakan untuk menggambarkan dan memahami fenomena alam serta sosial yang terjadi di sekitar kita. Konsep ini penting karena memberi kita kerangka kerja untuk menganalisis peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Ada beberapa alasan mengapa kita mempelajari ilmu pengetahuan sosial, khususnya mengenai fenomena perubahan sosial, sebagai bagian dari pemahaman kita terhadap masyarakat, antara lain:

1.Untuk mengkaji dan mengamati manusia sebagai makhluk sosial (homo socius), baik sebagai individu, kelompok, maupun organisasi masyarakat, termasuk interaksi yang terjadi di antara mereka dan dampak-dampak yang ditimbulkan, terutama dalam hal perubahan sosial yang menyertai interaksi tersebut.

2.Untuk memahami banyak permasalahan sosial yang terkait dengan perilaku manusia (human error) yang berpotensi mendorong perubahan sosial dalam masyarakat. Perubahan tersebut dapat terjadi sebagai respons terhadap ketegangan atau masalah yang timbul dalam suatu kelompok sosial.

3.Untuk menganalisis hubungan sebab-akibat antara permasalahan sosial yang terjadi dan perubahan sosial yang muncul sebagai konsekuensinya. Ini membantu kita mengidentifikasi faktor-faktor yang mempercepat atau menghambat perubahan tersebut.

4.Untuk mengetahui dan menganalisis dampak atau konsekuensi dari permasalahan sosial terhadap perubahan sosial yang muncul dalam masyarakat, baik dalam jangka pendek maupun panjang. Dampak ini bisa berupa perubahan nilai, norma, atau bahkan struktur sosial.

5.Untuk mengidentifikasi dan menganalisis bentuk-bentuk permasalahan sosial yang dapat melahirkan perubahan sosial, termasuk faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya perubahan tersebut. Ini penting agar kita dapat memahami akar penyebab perubahan sosial yang terjadi.

6.Untuk melakukan verifikasi atau klarifikasi terhadap berbagai teori sosial yang ada, serta membangun atau menemukan metode, strategi, dan model pemecahan masalah sosial melalui kegiatan penelitian sosial dalam perspektif perubahan sosial yang terus berkembang.

7.Untuk mengukur sejauh mana permasalahan sosial dapat diselesaikan atau tidak terpecahkan melalui perubahan sosial baru, seperti invensi dan inovasi yang dapat merespons tantangan atau kebutuhan baru dalam masyarakat.

8.Untuk mengetahui dan menyikapi perubahan sosial yang terjadi akibat transformasi sistem sosial, perubahan struktur sosial, perubahan fungsi sosial, dan perubahan kultur sosial yang berhubungan dengan masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat, serta dampaknya terhadap kehidupan sosial dan budaya.

Secara umum, perubahan sosial mengacu pada perubahan yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, mencakup cara hidup, perilaku, nilai-nilai dan norma-norma sosial, hubungan sosial, hingga perkembangan teknologi yang memengaruhi cara kita berinteraksi satu sama lain. Meskipun para ahli memiliki pandangan yang berbeda mengenai perubahan sosial, inti dari semua definisi tersebut adalah adanya perubahan dalam aspek-aspek kehidupan sosial yang mencakup dimensi kultural, struktural, dan fungsional dalam masyarakat.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa objek kajian dalam ilmu sosial adalah manusia sebagai makhluk sosial, dengan berbagai macam interaksi sosial yang terjadi, baik yang tampak maupun tidak tampak. Beberapa aspek yang dipelajari dalam ilmu sosial meliputi: 1) perilaku manusia yang tidak terlihat (misalnya persepsi, sikap, kepribadian, motif, proses belajar, dan fakta); 2) perilaku manusia yang terlihat, seperti dinamika sosial, aktivitas yang dilakukan, dan data yang dikumpulkan; 3) apa yang dipikirkan oleh individu dalam konteks sosial; 4) apa yang diucapkan dan cara komunikasi yang digunakan; 5) apa yang dilakukan dalam interaksi sosial; 6) suasana atau konteks yang dirasakan oleh individu dalam situasi tertentu; dan 7) apa yang ditampilkan atau dipertunjukkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai bagian dari interaksi sosial (performance).

Dalam perspektif sosiologis Weberian, individu dipandang sebagai entitas yang memiliki sifat bebas (voluntary), bersifat unik (unique), dan memiliki kekuatan internal dalam dirinya sendiri untuk menginterpretasikan dan bertindak sesuai dengan pemahaman yang dimilikinya. Sifat ini memungkinkan individu untuk melakukan penafsiran dan tindakan yang bersifat relatif, tergantung pada konteks sosial yang ada. Sebaliknya, dalam pandangan Durkheimian, masyarakat dianggap sebagai entitas yang bersifat memaksa (imperative) dan berlaku umum, dengan kekuatan eksternal yang memengaruhi perilaku individu. Masyarakat dalam perspektif Durkheim dipandang sebagai fakta sosial yang lebih terstruktur dan memiliki pengaruh kuat terhadap individu.

Dengan demikian, perbedaan antara individu dan masyarakat terletak pada cara berpikir, berbicara, berperasaan, bertindak, dan berpenampilan. Individu dipandang sebagai aktor yang memiliki kebebasan untuk berpikir dan bertindak berdasarkan penilaiannya sendiri, sementara masyarakat sebagai entitas kolektif memiliki struktur yang lebih kuat dan mempengaruhi perilaku individu dalam cara yang lebih sistematis. Meskipun demikian, keduanya juga memiliki kesamaan dalam naluri dasar untuk berkelompok, bekerja sama, dan saling membantu dalam menghadapi tantangan sosial.

Penyebab perubahan cepat pada manusia atau masyarakat dapat dijelaskan melalui kecerdasan yang dimiliki oleh setiap individu, yang terdiri dari:

1.Kecerdasan emosional (emotional quotient) yang berkaitan dengan kemampuan untuk mengenali dan mengelola perasaan diri sendiri serta berempati terhadap perasaan orang lain. Ini mencakup naluri dan pancaindra yang memandu tindakan emosional dalam kehidupan sosial.

2.Kecerdasan intelektual (intellectual quotient) yang berkaitan dengan kemampuan berpikir, memahami, dan memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Ini melibatkan kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di sekitar kita.

3.Kecerdasan spiritual (spiritual quotient) yang berkaitan dengan pemahaman terhadap nilai-nilai agama dan spiritual yang memberikan panduan hidup dan orientasi moral dalam menghadapi perubahan sosial.

4.Kecerdasan kreatif dan inovatif (creature quotient) yang melibatkan kemampuan untuk menciptakan ide-ide baru dan menerapkannya dalam kehidupan nyata, yang dapat memicu terjadinya perubahan sosial melalui invensi dan inovasi.

Kecerdasan-kecerdasan ini menjadikan manusia sebagai makhluk yang terpuji dan sempurna (kaffah), yang membedakannya dari makhluk lainnya di bumi, serta memungkinkan manusia untuk beradaptasi dan berkembang dalam menghadapi perubahan sosial yang terus berlangsung.

 Teori perubahan sosial pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu teori klasik dan teori modern perubahan sosial. Setiap kelompok memiliki pandangan dan pendekatan yang berbeda dalam menjelaskan dinamika perubahan dalam masyarakat. Berikut ini adalah penjelasan mengenai kedua teori tersebut:

1.Teori Klasik Perubahan Sosial

Pemikiran para tokoh klasik mengenai perubahan sosial dapat digolongkan ke dalam beberapa pola, seperti pola linear, pola siklus, dan pola gabungan dari kedua pola tersebut.

a.Pola Linear

Dalam pandangan Auguste Comte, perubahan sosial mengikuti suatu pola linear yang dianggap sebagai perkembangan alami yang pasti, tak terelakkan, dan selalu mengarah pada kemajuan. Comte mengemukakan teori "hukum tiga tahap," yang menjelaskan perkembangan masyarakat melalui tiga tahapan besar:

a)Tahap Teologis dan Militer: Pada tahap ini, masyarakat didominasi oleh pemikiran yang bersifat adikodrati dan kekuatan militer. Dalam tahap ini, masyarakat bertujuan untuk menundukkan masyarakat lain, dan pemikiran yang rasional serta berbasis penelitian belum diterima. Semua penjelasan mengenai kehidupan lebih dipengaruhi oleh kepercayaan-kepercayaan magis dan religius.

b)Tahap Metafisik dan Religius: Pada tahap ini, masyarakat mulai beralih dari dominasi kekuatan militer menuju pemikiran yang lebih rasional, meskipun masih banyak dipengaruhi oleh imajinasi dan religiositas. Meskipun demikian, tahap ini menunjukkan perkembangan menuju pengamatan dan penelitian yang lebih sistematis, meskipun belum sepenuhnya berbasis ilmiah.

c)Tahap Ilmu Pengetahuan dan Industri: Pada tahap ini, masyarakat telah berkembang menuju industri dan ilmu pengetahuan. Perubahan sosial dalam masyarakat didorong oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan perkembangan industri yang mendominasi kehidupan sosial dan ekonomi. Pada titik ini, masyarakat mulai bergantung pada produksi dan ekonomi industri sebagai faktor utama yang menentukan kemajuan peradaban.

b.Pola Siklus

Teori pola siklus menggambarkan perubahan sosial seperti sebuah roda yang berputar. teori siklus memandang perubahan sosial sebagai serangkaian siklus atau tahapan yang berulang. Menurut teori ini, masyarakat mengalami tahap pertumbuhan, kemajuan, kemunduran, dan kehancuran, lalu kembali ke tahap awal. Konsep ini tercermin dalam karya-karya Arnold Toynbee dan Oswald Spengler, yang melihat sejarah sebagai proses naik-turunnya peradaban. Spengler, misalnya, berpendapat bahwa setiap peradaban memiliki siklus kehidupan sendiri yang meliputi kelahiran, kemajuan, kemunduran, dan kehancuran, yang kemudian akan diikuti oleh peradaban baru yang mengulangi pola yang sama.

c.Gabungan Beberapa Pola

Teori ini mengemukakan bahwa perubahan sosial tidak hanya mengikuti pola linear atau siklus saja, melainkan bisa berupa kombinasi dari kedua pola tersebut. Dalam pandangan ini, perubahan sosial dapat berjalan sesuai dengan pola linear, namun dalam beberapa hal bisa juga mengikuti siklus yang berulang. Dengan demikian, perubahan sosial dapat terjadi dengan cara yang beragam, baik dengan bergerak maju dalam bentuk linear maupun dalam bentuk siklus yang berulang-ulang.

2.Teori Modern Perubahan Sosial

Teori modern mengenai perubahan sosial melihat perkembangan masyarakat di negara-negara berkembang dalam dua perspektif utama, yaitu pandangan yang melihat perubahan sosial sebagai suatu proses linear menuju modernitas dan pandangan yang lebih kritis yang berpendapat bahwa perubahan sosial tidak selalu membawa kemajuan. Beberapa pandangan dalam teori modern perubahan sosial adalah sebagai berikut:

a.Teori Modernisasi

Teori modernisasi berpendapat bahwa negara-negara yang terbelakang akan mengikuti jejak negara-negara maju dengan meniru model pembangunan yang ada di negara-negara industri maju. Negara-negara berkembang dipandang perlu mengubah struktur sosial dan budaya mereka dari keadaan tradisional menuju keadaan yang lebih modern. Perubahan tersebut meliputi berbagai aspek, antara lain penurunan angka kematian dan kelahiran, perbaikan dalam sistem pendidikan formal, transisi dari sistem feodal menuju birokrasi, penurunan pengaruh agama, dan munculnya sistem ekonomi pasar serta industrialisasi. Melalui proses-proses perubahan ini, negara-negara berkembang diharapkan bisa mengejar ketertinggalan dan mencapai tingkat kemajuan yang serupa dengan negara-negara industri maju.

b.Teori Ketergantungan

Pandangan teori ketergantungan menganggap bahwa perkembangan dunia tidak terjadi secara merata. Negara-negara maju yang berada di belahan dunia utara mengalami kemajuan pesat, sementara negara-negara dunia ketiga, khususnya di Amerika Latin, mengalami kemunduran dan keterbelakangan akibat kolonialisme dan neokolonialisme. Dalam pandangan ini, negara-negara dunia ketiga tidak mengalami perkembangan menuju tingkat peradaban yang lebih tinggi, melainkan justru semakin bergantung pada negara-negara industri maju. Ketergantungan ini menyebabkan negara-negara dunia ketiga terus terjebak dalam struktur ekonomi yang mengekstraksi sumber daya alam mereka untuk kepentingan negara-negara industri, sementara negara-negara tersebut tidak memperoleh manfaat yang seimbang.

c.Teori Sistem Dunia

Teori sistem dunia, yang dicetuskan oleh Immanuel Wallerstein, melihat perekonomian kapitalis global terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu negara inti, semi-periferi, dan periferi. Negara inti terdiri dari negara-negara industri maju yang telah mengalami industrialisasi sejak abad ke-16 dan kini telah mencapai kemajuan yang pesat. Negara semi-periferi adalah negara-negara yang memiliki hubungan ekonomi dengan negara inti, namun perkembangannya tidak sepesat negara-negara inti. Sementara itu, negara periferi mencakup negara-negara di Asia dan Afrika yang umumnya berada dalam kondisi tertinggal dan bergantung pada negara-negara inti.

Pada saat ini, Negara-negara inti, seperti Amerika Serikat dan Jepang, menguasai sistem ekonomi global dan memanfaatkan sumber daya alam negara-negara lain untuk keuntungan mereka sendiri, sementara negara-negara semi-periferi dan periferi tidak dapat mengejar ketertinggalan mereka karena dominasi negara-negara inti yang semakin memperlebar jurang ketergantungan.

C. Lembaga Pendidikan Islam Sebagai Agent Of Change

Pendidikan adalah upaya yang disadari dan dirancang secara sistematis untuk menciptakan lingkungan belajar yang memungkinkan peserta didik mengembangkan potensinya secara aktif. Pendidikan sebagai upaya yang terencana menunjukkan bahwa pendidikan adalah proses yang dirancang dengan matang, sehingga pada setiap level, baik nasional, regional, maupun tingkat kota, kabupaten, hingga desa, pelaksanaan pendidikan perlu disadari dan direncanakan. Selain itu, pendidikan juga merupakan sistem sosial karena melibatkan manusia yang saling berinteraksi dengan lingkungannya. Agar pendidikan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, diperlukan perubahan dalam struktur dan proses bagian-bagian pendidikan itu sendiri. Dengan demikian, pendidikan sebagai agen perubahan sosial diharapkan dapat berperan dalam membentuk perubahan nilai, sikap, moral, pola pikir, perilaku intelektual, keterampilan, dan wawasan peserta didik sesuai tujuan pendidikan. Hakikat pendidikan terletak pada pembentukan manusia menuju cita-cita yang diharapkan.

Pendidikan berfungsi sebagai agen perubahan sosial dengan memainkan peran penting dalam mengubah dan mempengaruhi struktur, nilai, norma, serta institusi sosial di masyarakat. Melalui pendidikan, terjadi penyebaran pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang memungkinkan individu memahami realitas sosial mereka dan mendorong partisipasi aktif dalam membentuk perubahan positif dalam lingkungannya.

Pendidikan memberikan individu keterampilan berpikir kritis, kemampuan dalam menyelesaikan masalah, serta pemahaman yang lebih mendalam mengenai hak dan tanggung jawab mereka di masyarakat. Selain itu, pendidikan juga membangun kesadaran kolektif terhadap isu-isu sosial seperti kesetaraan gender, hak asasi manusia, demokrasi, dan pelestarian lingkungan. Oleh karena itu, pendidikan berperan sebagai sarana untuk mendorong perubahan sosial yang lebih inklusif, adil, dan berkelanjutan.

Peran Pendidikan dalam Perubahan Sosial

1.Membentuk Pola Pikir dan Nilai Individu

Pendidikan dalam konteks perubahan sosial berperan dalam mengembangkan kemampuan analisis kritis yang bertujuan menanamkan keyakinan dan nilai-nilai baru terkait cara berpikir manusia. Melalui pendidikan, manusia dibekali dengan nilai-nilai yang membantu membuka wawasan, menerima gagasan-gagasan baru, dan berpikir secara ilmiah. Pendidikan mendorong manusia untuk berpikir objektif, rasional, serta memandang masa depan dengan upaya menciptakan kehidupan yang lebih maju.

Pendidikan juga merupakan sarana efektif dalam membentuk cara pandang serta nilai-nilai individu. Sejak usia dini, pendidikan menanamkan nilai-nilai dasar seperti kerja keras, kejujuran, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap sesama. Ketika pendidikan berlanjut ke tingkat yang lebih tinggi, individu mulai diajarkan untuk berpikir kritis, mengenali ketidakadilan, dan mencari solusi untuk permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat.

Contohnya, pendidikan tentang hak asasi manusia dan demokrasi dapat menghasilkan warga negara yang lebih peduli akan pentingnya keadilan dan hak-hak sipil, sekaligus mendorong keterlibatan aktif dalam proses politik. Selain itu, pendidikan membentuk individu yang lebih toleran dan terbuka terhadap keragaman budaya, agama, dan etnis, yang pada akhirnya akan menciptakan masyarakat yang harmonis dan inklusif.

2.Pemahaman Atas Keberadaan Masyarakat yang Heterogen

Dalam masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial dengan beragam latar belakang budaya, ras, dan ideologi, konflik lebih mudah terjadi, seringkali menyebabkan ketegangan yang mendorong perubahan dalam kehidupan sosial. Misalnya, di komunitas transmigran yang berasal dari berbagai daerah padat penduduk di Indonesia, mereka harus hidup berdampingan di wilayah yang sama dan menjalani kehidupan bersama.

Karena berasal dari daerah yang berbeda, mereka cenderung bertindak sesuai dengan budaya asal masing-masing, sehingga ketidaksesuaian kerap muncul di antara mereka akibat perbedaan nilai dan norma, yang pada akhirnya memicu gesekan atau konflik. Oleh karena itu, pendidikan diharapkan memiliki peran penting dalam memperbaiki moral masyarakat. Ini sejalan dengan pandangan Sudjana (2004) yang menyatakan bahwa pendidikan adalah upaya untuk mengembangkan kemampuan individu sehingga mereka dapat berfungsi optimal sebagai pribadi dan anggota masyarakat, serta memiliki nilai-nilai moral sosial sebagai pedoman hidup. Dengan demikian, pendidikan adalah proses untuk mengembangkan kemampuan individu agar mampu beradaptasi dengan baik dalam lingkungannya.

3.Memajukan Keadilan Gender

Pendidikan adalah kunci dalam memajukan kesetaraan gender dan memperjuangkan hak perempuan. Di banyak masyarakat, pendidikan membantu perempuan mengakses peluang yang sebelumnya terbatas, baik dalam pekerjaan, politik, maupun aspek sosial lainnya. Pendidikan memberdayakan perempuan untuk mengatasi hambatan budaya dan struktural yang menghalangi mereka dari berpartisipasi penuh di berbagai bidang kehidupan. Akses perempuan terhadap pendidikan tinggi, misalnya, meningkatkan partisipasi mereka dalam angkatan kerja dan mengurangi kesenjangan upah berdasarkan gender. Selain itu, pendidikan juga mengajarkan perempuan untuk lebih aktif dalam pengambilan keputusan di keluarga, komunitas, dan masyarakat luas.

4.Mendorong Partisipasi Warga Negara dalam Demokrasi

Pendidikan memiliki peran penting dalam menciptakan masyarakat yang lebih demokratis. Melalui pendidikan kewarganegaraan, individu diajarkan tentang hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara serta pentingnya berpartisipasi dalam proses politik. Pendidikan yang baik membantu individu memahami mekanisme demokrasi, seperti pemilu dan peran lembaga-lembaga negara, sehingga mereka bisa berpartisipasi secara efektif dalam kehidupan politik. Negara-negara dengan tingkat pendidikan tinggi cenderung memiliki tingkat partisipasi politik yang lebih besar, dengan warga negara lebih aktif dalam mengikuti pemilu, bergabung dengan organisasi masyarakat sipil, serta terlibat dalam aksi kolektif untuk mendorong perubahan sosial.

5.Membangun Kesadaran Lingkungan

Pendidikan juga berperan dalam membangun kesadaran lingkungan di tengah isu-isu global seperti perubahan iklim, kerusakan lingkungan, dan kehilangan keanekaragaman hayati. Melalui kurikulum yang berfokus pada pendidikan lingkungan, siswa diajarkan tentang keberlanjutan, pengelolaan sumber daya alam, dan cara-cara mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Pendidikan membentuk generasi yang peduli terhadap isu-isu lingkungan dan siap mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjaga keberlanjutan planet ini. Gerakan global yang dipelopori oleh generasi muda dalam isu perubahan iklim adalah contoh bagaimana pendidikan dapat mendorong individu untuk berperan aktif dalam perubahan sosial yang berkaitan dengan lingkungan.

Tantangan dalam Menjadikan Pendidikan Sebagai Agen Perubahan Sosial

Meskipun pendidikan memiliki potensi besar untuk mendorong perubahan sosial, terdapat beberapa tantangan yang menghambat peran tersebut, seperti:

1.Kesenjangan Akses dan Kualitas Pendidikan

Salah satu tantangan terbesar adalah kesenjangan dalam akses dan kualitas pendidikan. Banyak negara masih menghadapi keterbatasan dalam menyediakan pendidikan berkualitas bagi kelompok-kelompok terpinggirkan, seperti masyarakat di daerah terpencil, kelompok minoritas, dan mereka yang hidup dalam kemiskinan. Tanpa akses pendidikan yang merata, peran pendidikan sebagai agen perubahan sosial akan terhambat.

2.Kebijakan Pendidikan yang Tidak Mendukung

Kebijakan pendidikan yang tidak mendukung juga dapat menghambat peran pendidikan dalam perubahan sosial. Beberapa sistem pendidikan terlalu berfokus pada aspek akademis tanpa memberi perhatian cukup pada pengembangan nilai-nilai sosial, kesadaran lingkungan, atau keadilan sosial. Kurikulum yang tidak relevan dengan kebutuhan sosial dapat menghalangi pendidikan dalam menciptakan individu yang peka terhadap perubahan sosial.

3.Stigma Sosial dan Budaya

Stigma sosial dan budaya dalam masyarakat juga bisa menghalangi peran pendidikan. Di beberapa budaya, akses perempuan terhadap pendidikan masih terbatas oleh norma patriarkal, sementara stigma terhadap kelompok tertentu, seperti penyandang disabilitas atau minoritas etnis, menghalangi mereka mendapatkan pendidikan yang setara.

Solusi untuk Memperkuat Peran Pendidikan dalam Perubahan Sosial

Untuk mengatasi tantangan tersebut, beberapa langkah yang bisa diambil untuk memperkuat peran pendidikan adalah:

1.Meningkatkan Akses Terhadap Pendidikan yang Inklusif dan Berkualitas

Pemerintah dan lembaga pendidikan perlu memastikan bahwa pendidikan berkualitas tersedia bagi semua individu, tanpa memperhatikan latar belakang sosial atau ekonomi. Hal ini bisa dilakukan dengan memperluas infrastruktur pendidikan di daerah-daerah terpencil, menyediakan beasiswa atau bantuan finansial, serta mendorong partisipasi kelompok terpinggirkan.

2.Reformasi Kurikulum untuk Menyesuaikan dengan Kebutuhan Sosial

Pendidikan Multikultural bertujuan untuk mengembangkan kurikulum yang menekankan pada toleransi dan pemahaman lintas budaya guna mengurangi konflik sosial. Jika kolaborasi antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat dapat terjalin dengan baik, pendidikan berpotensi menjadi kekuatan utama dalam membangun masyarakat Indonesia yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan.

Kurikulum pendidikan perlu dirancang dengan memperhatikan kebutuhan sosial secara luas. Selain menyampaikan pengetahuan akademis, kurikulum juga harus mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan, kesadaran terhadap lingkungan, keterampilan berpikir kritis, serta pemahaman mengenai hak asasi manusia. Dengan cara ini, pendidikan dapat lebih efektif dalam membentuk individu yang siap berkontribusi dalam perubahan sosial.

Kurikulum pendidikan harus dirancang untuk memenuhi kebutuhan sosial yang lebih luas. Selain pengetasshuan akademis, kurikulum juga harus mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan, kesadaran lingkungan, keterampilan berpikir kritis, serta pemahaman tentang hak asasi manusia, agar pendidikan lebih efektif dalam menciptakan individu yang siap berperan aktif dalam perubahan sosial.

3.Mengubah Stigma dan Mempromosikan Pendidikan untuk Semua

Untuk menghilangkan stigma sosial dan budaya, pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama dalam mempromosikan pendidikan untuk semua. Kampanye kesadaran dan kebijakan yang mendukung kesetaraan gender dan hak-hak minoritas dapat membantu memperkuat peran pendidikan sebagai agen perubahan sosial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun