Mungkin kita sudah banyak mengetahui tentang film bertema feminisme yang beredar saat ini. Contohnya seperti film Marlina si Pembunuh Dalam Empat Babak (2017) atau film Little Women (2019).
Namun bagaimana jika tema feminisme diangkat dengan menceritakan adik perempuan dari detektif terkenal yaitu Sherlock Holmes?
Cerita tersebut dapat kalian temui dalam film Enola Holmes (2020) yang disutradarai oleh Harry Bradbeer.
Enola Holmes diperankan oleh Millie Bobby Brown. Si aktris asal Inggris yang karirnya mencuat setelah memerankan karakter Eleven dalam serial netflix Stranger Things.
Film ini menceritakan tentang Enola yang berpetualang mencari ibunya yang hilang secara misterius setelah ulang tahunnya yang ke-16.
Peran Enola dalam film ini menggambarkan sosok gadis berusia 16 tahun yang pantang menyerah dan tidak takut akan apapun.
Enola dibesarkan oleh Ibunya di sebuah kota kecil di Inggris, sedangkan kedua kakak laki-lakinya, Mycroft dan Sherlock tinggal di London.
Berbeda dengan anak perempuan seumurannya yang diajarkan tata kesopanan dan kecantikan, Enola justru dibesarkan agar tumbuh menjadi wanita yang cerdas dan tangguh.
Sejak dini, Enola diajarkan bela diri, sains, catur, dan kriptologi oleh Ibunya.Â
Mycroft Holmes, salah satu kakak laki-laki dari Enola, tidak setuju akan hal ini, sehingga saat Ibu mereka menghilang, Ia memutuskan untuk mengirimkan Enola ke Asrama khusus perempuan.
Namun mengenal sifat Enola, tentulah Ia tidak betah dan kabur dari sana dan kembali melanjutkan petualangannya untuk mencari Ibunya, Ia mendobrak stigma mengenai pendidikan perempuan pada saat itu.
Dalam penjelasan The Road Movie Genre dalam buku World Cinema through Global Genres, dikatakan bahwa 'The central traveling companions may be male and female'.Â
Hal tersebut tergambarkan dalam film ini saat Enola bertemu Lord Tewkesbury di kereta saat ia sedang kabur.
Pertemuan ini mengawali terbentuknya hubungan, serta awal perjalanan mereka berdua.
Enola juga digambarkan sebagai karakter yang lebih suka memakai baju laki-laki ketimbang baju perempuan, saat ia kabur dari asrama, ia menyamar sebagai laki-laki dengan memakai setelan jas.
Kemudian ia juga tidak membantah saat dikira sebagai seorang laki-laki. Hal ini juga berisi pesan bahwa pakaian tidak memiliki gender.Â
Yang menarik dari film ini bukanlah bagaimana Enola, sang protagonis berusaha memecahkan misteri hilangnya Ibunya, namun bagaimana karakter Enola dikupas dan berkembang selama film berjalan.
Sebagai film aksi petualangan yang menceritakan deteltif remaja, film ini mengandung segala aspek yang perlukan.
Seperti adegan pertarungan jarak dekat dengan sosok antagonis, adengan perkelahian, adengan aksi di kendaraan bergerak, dan tentunya proses investigasi dalam memecahkan misteri.
Penyampaian pesan mengenai feminisme dalam film ini mudah diterima oleh penonton karena karakter Enola merupakan karakter yang disukai penonton, juga dengan pembawaannya yang ringan dan ramah.
Dengan setting film ini yang berada di Inggris pada tahun 1900-an, tentu saja kesetaraan gender dan kebebasan berpendapat untuk kaum perempuan belum ada pada saat itu.
Setelah Enola menemukan Ibunya, ternyata Ibunya sedang memperjuangkan kebebasan berpendapat perempuan pada saat itu.
Ibunya Ingin putrinya tumbuh di lingkungan dimana kebebasan berpendapat dapat dinikmati siapa saja, tidak tergantung kepada gender.
Terakhir, film ini cocok ditontoh sebagai penyemangan kaum perempuan atau siapapun untuk menjadi diri mereka sendiri dan mengejar masa depan yang mereka mau tanpa dipaksa dan terkurung dalam norma.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H