GURUKU GURU HEBATÂ
(Part one)
Belum lama ini ada perbincangan para pengawas sekolah berkaitan dengan persiapan pertemuan KKG (Kelompok Kerja Guru). Â Salah satu topik yang disinggung dalam perbincangan itu adalah Kurikulum Merdeka.
 Sepintas dalam inggatan, Kurikulum Pendidikan di tanah air baru lagi, jika tidak mau mengatakan berubah. "Respon guru terhadap perubahan kurikulum sebagaimana biasa, siap beradaptasi," ungkap pengawas dalam perbincangan persiapan itu.  Â
Tercatat bahwa ada beberapa kali terjadi revisi (perubahan kurikulum). Katakan saja, sejak tahun 1964. Seterusnya di tahun 1973 dengan PPSP, kemudian tahun 1984, kemudian beberapa tahun kemudian ada KBK, lalu KTSP, K13 dan sekarang KM (Kurikulum Merdeka), termaktub di dalam KM, merdeka belajar dan merdeka mengajar.
Revisi dan inovasi kurikulum tentunya punya dasar dan manfaat. Tujuannya jelas, untuk kemajuan di bidang pendidikan, efektivitas pembelajaran, untuk sukses dan meningkatkan kualitas pendidikan di tanah air. Jadi revisi, inovasi itu tidak untuk suka-suka.
Atas realita ini, apa yang dituntut dari guru. Apa lagi guru sebagai "the man behind the gun ?" dalam pengelolaan pendidikan di sekolah. Sudah berulang-ulang kali disadari akan pengtingnya  kompetensi-komptensi yang harus dimiliki seorang guru.
Belum cukup, mesti ada tuntutan lagi seperti kerja keras, kerja cerdas, kerja cermat, kerja tulus-jujur, loyal dan total, serta punya skill mumpuni secara individual, (terutama di zaman teknologi ini).
Tidak harus bangga dan berlebihan apabila guruku guru hebat sebagai "The man behind the gun," memiliki segala persayaratan dan tuntutan yang dipaparkan di atas. Ikutannya adalah mereka juga harus punya modal spiritual (SQ) dan Emotional Quotient (EQ), bahkan punya modal sosial.
Dengan modal ini guruku hebat  dimungkinkan bersedia untuk berkolaborasi dengan peserta didik, dan dengan lini-lini lain untuk mencapai hasil yang memuaskan dan berkualitas. Jadi guru hebat bukan single fighter.
Di zaman ini dengan cirikhas teknologi yang kental, jika  masih terdapat fakta bahwa kinerja guru belum terbaca pada kesuksesan sekolah dan peserta didik maka perlu "saat teduh" untuk introspeksi diri berkaitan dengan keterpanggilan dan komitmen sebagai guru.
Keterpanggilan sebagai "born teacher".
Guruku guru hebat dengan aneka tugas, peran dan tanggungjawabnya sangat menentukan majunya pendidikan. Tesis ini mendukung slogan, "No teacher, no education! No education, no economy and social development," yang disampaikan Danim (2011) dalam bukunya, "Pengembangan Profesi Guru." Â
Dalam suatu proses pembelajaran kinerja guru masih berada diurutan depan dan hal ini tidak dapat disangkal dan dibantah, sekalipun dibandingkan dengan kerja komputer yang mempermudah segala pekerjaan sebagai bukti kemajuan teknologi.
Jadi sehebat apapun kemajuan teknologi tidak akan pernah menggantikan seratus persen peran guru karena "teacher is many things", ungkap Young dan Pullias (1979) dalam tulisannya, "A teacher is many things". Guru punya "human touch." Jadi sebagai "the man behind the gun," layaklah predikat itu disandangkan.
Guru yang punya human touch adalah subyek dari segala usaha  pembelajaran. Dengan menjadi subyek (berkepribadian/ punya integritas) ia akan memandang peserta didik sebagai subyek yang bermitra denganya untuk mencapai satu tujuan, yakni sukses dan berkualitas.
Pada tataran ini prinsip win-win solution diutamakan dalam menangani persoalan pembelajaran, dan bukannya win-loose (menang di pihak guru dan kalah di pihak peserta didik). Guru berjuang bersama peserta didik untuk capaian "hasil maksimal dan optimal." Kiranya ini merupakan satu di antara misi dari kurikulum merdeka; merdeka belajar dan merdeka belajar.
Sebagai "the man behind the gun," guruku guru hebat selalu menghendaki peserta didiknya maju dan bukannya kalah dalam perjuangan. Bersama prinsip ini guru bertugas membangun peradaban melalui pendidikan dan dengannya membangun suatu pola relasi kemitraan. Suatu pola relasi yang memandang peserta didik sebagai subyek pembelajaran.
 Atas pola relasi demikian tergeraklah budi dan hati sang guru untuk berjuang dalam rasa sepenanggungan dengan peserta didik untuk raih hasil yang memuaskan. Suatu hasil capaian yang obyektif, dan inilah kualitas dalam pendidikan yang selalu dicari dan diupayakan.
Perjuangan sampai pada titik kualitas seperti ini memberi bukti bahwa tugas, peran guru lahir dari sesuatu yang intrinsik. Ke sana seorang guru dipanggil, dan ini hakekat seorang born teacher, (terlahir sebagai guru).
Pada pribadi born teacher telah tertanam kuat sikap peka, peduli, berkorban dan tidak pernah berpikir ada pamrih dalam pelayanan. Dia loyal dan totalitas. Pelayanannya terbebas dari paradigma "do ut des" (saya beri supaya dia beri). Ia mengasa profesinya sampai titik professional, karenanya dihargai mahal.
Kepribadian "born teacher" akan selalu berduka ketika rekan sepenangungan (peserta didik) terlilit problematika dan tidak capai tingkatan "titik bidik" yang telah dipatok. Hal inilah yang jadi pembeda terhadap subyek lain yang be teacher in the end, ungkap J. Bire (2012), dalam materi, "Models of learning".
Sementara pakar pendidikan, Drost, S J, (2008) dalam bukunya "Guru mengajar atau mendidik" merespon kinerja "born teacher" sebagaimana penjelasan di atas sebagai bukti kualitas kinerja "guru hebat". Â Pertanyaan yang tampil sebagai bahan refleksi: Â Jika anda guru, "are you a born teacher?"*** (to be continued).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H