Mohon tunggu...
VINI ARISTIANTI
VINI ARISTIANTI Mohon Tunggu... Konsultan - Peneliti

Peneliti

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Sudut Pandang Lain atas Sumbangsih Rakyat untuk Pendanaan JKN

24 November 2019   18:05 Diperbarui: 25 November 2019   08:22 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi kenaika JKN. (sumber: Kompas/Didie SW)

"Ide ini --khususnya-- ditujukan untuk pembuat kebijakan yang mungkin dapat menjadi alternatif/sudut pandang lain dalam solusi permasalahan program JKN."

Beberapa waktu yang lalu penulis membuat artikel mengenai tawaran ide yang mungkin dapat menjadi alternatif solusi untuk permasalahan defisit pada program JKN berikut link artikel: Potensi Sumber Pendanaan JKN, Bukan Pajak, Tetapi Kontribusi.

Penulis belum terlalu berani membuka ide ini ke publik karena memang belum ada kajian yang kita lakukan secara komprehensif terkait ide tersebut serta angka-angka perhitungan pastinya dan dampak positif negatif yang akan ditimbulkan.

Semua yang tertuang masih sebatas pemikiran penulis berdasarkan logika semata, dan perhitungan secara logika, belum diikuti data-data sebenarnya di lapangan.

Terkadang ide ini masih muncul, apakah ini memang bisa menjadi sebuah solusi untuk permasalahan program JKN? untuk menjawabnya sudah sangat pasti kita butuh sebuah kajian yang komprehensif mengenai ide solusi dari permasalahan defisit program JKN tersebut.

Selama di Jakarta, penulis menanyai dua orang yaitu bapak supir dan bapak pensiunan, apakah keduanya setuju jika nantinya dalam program JKN tidak lagi membayarkan iuran namun setiap barang yang mereka beli dan konsumsi akan dinaikkan sebesar 2%.

Itu seperti membeli air mineral seharga 3 ribu rupiah, yang berarti akan ditambahkan 2% (Rp60) menjadi Rp3.060,- (jika dipasaran kemungkinan bisa menjadi Rp3100 atau lebih). Bapak supir menjawab sangat setuju, "..lebih enak seperti itu...", kata beliau.

Bapak yang seorang pensiunan (berusia 81 tahun masih sehat, sangat hafal dan lancar menyebutkan nomor hp beliau ketika saya menanyakan) setelah mendengar itu langsung menyalami saya sambil mengatakan bagus itu dan kemudian pergi. 

Beliau merupakan salah satu responden sebuah kajian lain, saya terketuk ketika beliau mengatakan "UU itu kan dibuat oleh manusia, kita ini sudah tua, hanya ingin menjalani dengan tidak dipersulit",...."seperti itu, masih banyak orang yang tidak mampu...".

Dalam hidup sebagai seorang peneliti terkadang kita memang tidak dapat memperhitungkan sesuatu secara instrumental saja berdasarkan untung rugi dengan angka-angka ekonominya, namun juga harus ada nilai (value) didalamnya, dampak psikologis sosial dan kemanusiaan yang mungkin bisa lebih besar nilainya. Konsep mengenai value ini diajarkan oleh senior saya di pusat penelitian kami. 

Dalam artikel kali ini penulis akan menuangkan kembali ide sumbangsih rakyat untuk JKN. Ide ini khususnya ditujukan untuk Bapak/Ibu pembuat kebijakan yang mungkin dapat menjadi salah satu alternatif sudut pandang lain dalam solusi permasalahan program JKN.

Sumbangsih Rakyat untuk JKN  
Ide ini muncul dari permasalahan defisit program JKN, dimana yang terjadi saat ini jumlah klaim layanan kesehatan jauh lebih besar dari iuran JKN yang terkumpul dari seluruh peserta aktif  di Indonesia. 

Pada tahun 2019 ini BPJS Kesehatan sebagai badan penyelenggara jaminan sosial kesehatan diproyeksikan mengalami defisit sebesar Rp 32,8 Triliun. 

Tentu saja angka ini bukan angka yang kecil, dimana saat ini menteri kesehatan sedang mengkaji klaim untuk penyakit jantung sendiri yang besarnya sekitar 10 trilliun rupiah.

Selanjutnya dalam upaya mengatasi defisit ini pemerintah mengeluarkan Perpres No.75 tahun 2019 tentang perubahan atas Perpres No.82 tahun 2018 tentang jaminan kesehatan yang ditandatangani pada 24 Oktober 2019. 

Isi perpres ini adalah mengenai kenaikan iuran JKN pada kelompok PBI APBN dan APBD (dari 23ribu ke 42ribu), PPU (dari 5% gaji pokok dengan batas atas maksimal gaji Rp8juta menjadi 5%take home pay dengan batas atas maksimal gaji Rp12juta) dan kelompok PBPU dan BP (kelas 3 dari Rp25.500 menjadi Rp42ribu; kelas 2 dari Rp51ribu menjadi Rp110ribu; kelas 1 dari Rp80ribu menjadi Rp160ribu). 

Kenaikan iuran PBI APBD dan APBN telah dilakukan sejak bulan Agustus tahun 2019, sedangkan untuk kelompok PPU, PBPU dan BP akan diberlakukan mulai Januari tahun 2020. 

Penulis sepakat bahwa iuran harus dinaikkan karena memang kondisi saat ini klaim pelayanan kesehatan masyarakat Indonesia yang menggunakan JKN-KIS lebih besar dibandingkan dengan pemasukannya.

Namun ketika kita melihat berapa besar kemampuan membayar rumah tangga (RT) untuk iuran JKN satu keluarga berdasarkan 5% dari seluruh total pengeluarannya jawabannya adalah hanya 10% tingkat ekonomi teratas dari seluruh peserta Pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan Bukan Pekerja yang kemampuan membayarnya pada kelas I dan tidak akan berdampak terhadap kenaikan iuran JKN-KIS. 

Sisanya(90%) ada yang kemampuan membayarnya pada kelas 2, kelas 3 dan ada yang tidak mampu(unable) yang kemudian berpotensi menunggak membayar atau mungkin saat ini sudah merupakan bagian dari 46,3% kelompok PBPU yang menunggak membayar iuran JKN.

Jika kenaikan iuran JKN menyebabkan peserta turun kelas pelayanan hal ini akan berdampak terhadap revenue (pemasukan dari iuran) program JKN, namun peserta tersebut beserta anggota keluarganya masih aman memiliki perlindungan ketika sakit. 

Jumlah revenue masih belum banyak terganggu jika 90% dari kelompok PBPU yang terdampak melakukan turun kelas perawatan, ketika 10% yang tidak terdampak tadi tetap memilih pelayanan di kelas I. 

Namun jika 10% tingkat ekonomi teratas di sektor PBPU dan BP (rata-rata penghasilan sebulan Rp17,7 juta, dengan minimal Rp10juta dan maksimal Rp110juta) juga melakukan turun kelas pelayanan maka revenue program JKN tidak akan berbeda dari sebelumnya dan/atau berpotensi turun sesuai besar tingkatan penurunan kelas-nya dan frekuensi RT yang turun kelas. 

Yang lebih besar lagi risikonya adalah peserta atau RT yang kemudian menjadi menunggak dan keluar dari skema JKN-KIS.

Mendapatkan hasil seperti tersebut penulis mencoba berfikir melompat dari sistem yang ada saat ini. Berfikir mengenai konsep yang seharusnya yaitu setiap peserta berkontribusi (bergotong royong) dalam program JKN sesuai dengan kemampuannya. 

Jika dalam teori kemampuan membayar Russel (rata-rata rumah tangga di LMIC mengeluarkan 2-5% dari total pengeluarannya untuk kesehatan). 

Dengan pemikiran jika semua masyarakat indonesia berkontribusi/gotong royong dalam program JKN maka iuran tidak perlu dinaikkan (Hukum bilangan besar) dan konsep volume based, semakin besar pembaginya maka nilainya menjadi akan semakin kecil.

Jjika proyeksi penduduk indonesia menurut BPS tahun 2018 adalah 265 juta jiwa makan pada saat tersebut kemungkinan ada sebanyak 66.250.000 (66 juta RT  jika rata-rata 1 RT terdiri dari 4 Anggota rumah tangga) atau 53 juta RT jika setiap RT terdiri dari 5 ART. 

Saat ini program JKN membutuhkan dana 100 triliun per tahun maka berapa 1 RT harus menyumbang setiap tahun? jawabannya sekitar Rp1.509.434 hingga Rp1.886.792 per tahun atau Rp125.786 hingga Rp157.233 per bulan, ini perhitungan sederhananya. 

Berapa rata-rata pengeluaran penduduk Indonesia tahun 2018 (berdasarkan data susenas tahun 2018, rata-rata pengeluaran sektor PBPU dan BP pada tahun 2018 adalah Rp6,2 juta berapa 2% dari Rp6,2juta jawabannya adalah Rp124.000, di mana rata-rata jumlah ART di Indonesia adalah 4 orang (berdasarkan susenas 2018). Angka 2% untuk membayar iuran masih akan aman bagi rumah tangga ketika RT tersebut tidak perlu lagi membayar untuk pelayanan kesehatan ketika sakit. 

Asumsinya jika dikelola dengan lebih efisien Dana Jaminan Sosial (DJS) tidak akan menghabiskan hingga 100 triliun per tahunnya. Dengan perhitungan sederhana seperti ini maka akan ketemu antara kemampuan membayar rumah tangga dengan total klaim yang perlu dibayarkan untuk tagihan dari pelayanan kesehatan peserta JKN-KIS setiap tahunnya.

Pertanyaan selanjutnya bagaimana agar seluruh RT di Indonesia dapat berkontribusi tanpa terkecuali, jawabannya adalah dengan melekatkan kontribusi dari seluruh rakyat Indonesia untuk JKN ini pada setiap barang yang dikonsumsinya yaitu dengan menaikkan sekitar 2% setiap barang yang dikonsumsi sebagai sumbangsih Rakyat untuk JKN.

Dalam hal ini sangat membutuhkan kebijakan dari pemerintah, Bapak Presiden RI untuk dapat menginstruksikan seluruh perusahaan-perusahaan di Indonesia berkontribusi dalam pengumpulan dana sumbangsih rakyat untuk JKN ini. 

Perusahaan membantu menaikkan dan mengumpulkan 2% dari setiap barang yang dijualnya. Ini dapat menjadi sumbangsih Perusahaan di Indonesia terhadap jaminan kesehatan rakyat Indonesia yang selama ini juga rakyat Indonesia telah memberikan banyak berkah bagi perusahaan -perusahaan di Indonesia.

Jika Melihat data di Kemenperin saat ini ada sebanyak 24.425 perusahaan yang terdaftar untuk seluruh Indonesia.

Setelah Rakyat berkontribusi langsung untuk JKN melalui Sumbangsih Rakyat untuk Program JKN maka tidak ada lagi iuran JKN, sehingga tidak ada lagi istilah menunggak membayar iuran dan keluar dari skema JKN, dan jatuh miskin karena sakit.

Karena setiap orang sudah pasti berkontribusi, dimana besar kecilnya kontribusi sesuai dengan kemampuan ekonominya dan pengeluarannya. 

Semakin kaya seseorang maka akan semakin besar pengeluaran/konsumsinya dan semakin besar kontribusinya dalam Sumbangsih Rakyat untuk JKN. 

Isu ketidakadilan dapat diminimalisir karena sudah pasti lebih banyak ragam variasi konsumsi orang di kota terhadap barang-barang yang diproduksi perusahaan-perusahaan daripada penduduk di desa. Ketika dana yang terkumpul telah cukup banyak maka akan dapat membantu membangun fasilitas kesehatan dan Rumah Sakit di daerah rural. 

Pemerintah daerah, pemerintah pusat dan perusahaan akan lebih tenang karena tidak perlu memikirkan premi rakyat dan pegawainya, namun tetap dapat berkontribusi dalam bentuk lain, seperti membangun fasilitas kesehatan, menyediakan tenaga medis dan kesehatan keseluruh Indonesia, terutama untuk daerah Rural, serta menggencarkan program promotif dan preventif disetiap sudut Indonesia.

Dana Sumbangsih Rakyat untuk JKN tidak masuk ke dalam pajak, namun merupakan sumbangsih langsung dari seluruh rakyat Indonesia untuk jaminan kesehatan dirinya dan keluarganya yang dananya merupakan dana amanat yang akan dikelola langsung oleh BPJS Kesehatan. 

Sudah seharusnya dana amanat dikelola secara efisien, efektif, transparan dan akuntabel, Informasi mengenai setiap Rp1 dana yang masuk/diterima dan setiap pembayaran ke fasilitas kesehatan satu per satu untuk setiap nama faskes yang terdaftar/bekerja sama, dapat dishare secara terbuka dan terinci didalam website badan penyelenggara.

Tantangan ide ini:

  1. Perlu perombakan sistem revenue JKN-KIS yang ada saat ini
  2. Sudah pasti akan merubah beberapa point di UU SJSN dan turunannya terkait pengumpulan iuran
  3. Masih belum dilakukan perhitungan rinci dari seluruh produk yang terjual di Indonesia setiap tahunnya dan besar potensi revenuenya. Perlu sebuah kajian yang komprehensif
  4. Perlu melihat pandangan masyarakat
  5. Perlu melihat dampak terhadap perekonomian

Peluang Ide ini:

1. Sumber dana DJS dari sumbangsih rakyat untuk JKN tidak tergantung dari dana pajak yang dikelola oleh negara (menteri keuangan) yang telah memiliki pos sendiri-sendiri.

2. Sumbangsih rakyat untuk JKN merupakan dana kontribusi langsung dari rakyat yang dititipkan melalui perusahaan-perusahaan yang menjual produknya untuk kemudian dikumpulkan dan dikelola oleh BPJS Kesehatan secara efisien, efektif, menjaga mutu layanan kesehatan, transparan dan akuntabel (strategic purchasing).

3. Angka 2% masih dalam batas kemampuan membayar rumah tangga untuk pelayanan kesehatan berdasarkan teori kemampuan membayar russel (2-5% dari total pengeluaran), ketika rumah tangga tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk pelayanan kesehatan, dan hanya berkontribusi pada sumbangsih rakyat untuk JKN, maka masih dalam batas kemampuan rumah tangga tersebut.

4. Sumbangsih rakyat untuk JKN berbeda prinsip dengan iuran/premi, premi bersifat mengikat dengan nominal tertentu dimana terkadang kemampuan rumah tangga akan berbeda setiap hari dan atau bulannya ketika tidak memiliki pekerjaan tetap.

Dengan pendekatan sumbangsih rakyat untuk JKN secara tidak langsung dapat melindungi rumah tangga yang ketika dalam bulan ini mendapatkan penghasilan sedikit maka akan belanja kebutuhan sehari-hari yang lebih sedikit, dan masih dapat terjamin dalam program JKN tanpa memikirkan membayar iuran.

Karena rumah tangga tersebut juga masih berkontribusi pada DJS namun dalam nominal yang lebih kecil, begitu juga ketika rumah tangga tersebut menjadi kaya yang mana konsumsinya juga akan meningkat dan kontribusinya juga menjadi lebih besar --> prinsip gotong royong masih berjalan.

5. Sumbangsih rakyat untuk JKN menitipkan kontribusi untuk dana DJS dari setiap rakyat melalui pembelian barang konsumsi kebutuhan sehari-hari, yang mana berarti setiap rakyat sudah pasti akan berkontribusi setiap hari dan setiap tahunnya, sesuai dengan kemampuannya.

*) Penulis: Vini Aristianti (Peneliti Pusat KPMAK FK-KMK UGM)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun