Mohon tunggu...
Vincensia Prima P.
Vincensia Prima P. Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis adalah media katarsis terbaik

Seorang manusia yang terlahir dari rahim ibu yang mulia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kontroversi Brent Spar: Mengurai Krisis dengan Komunikasi yang Tepat

21 Maret 2016   12:41 Diperbarui: 21 Maret 2016   13:13 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="https://upload.wikimedia.org"][/caption]Kelanggengan sebuah perusahaan salah satunya akan bergantung dari bagaimana manajemen terhadap berbagai kebijakan dapat dibuat dan dilaksanakan secara baik. Namun kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh perusahaan, rentan beresiko mengalami krisis apalagi jika hal tersebut berkaitan dengan isu lingkungan. Berbagai benturan akan terjadi karena isu lingkungan melekat dengan banyak kepentingan yang melibatkan pemerintah, berbagai macam organisasi, LSM, masyarakat dan tentu perusahaan itu sendiri. Strategi komunikasi yang terjalin baik antara sema pihak, menjadi salah satu cara untuk menangani krisis yang terjadi. Penanganan krisis yang tidak dipikirkan secara matang, apalagi dengan komunikasi yang asal-asalan, akan menghantar sebuah perusahaan pada titik kerugian dalam berbagai segi. Kasus penenggelaman Brent Spar menjadi salah satu bukti nyata betapa sebuah kebijakan yang tidak terorganisir dengan baik, akan menghasilkan benefit yang tidak baik pula, begitu juga sebaliknya.

Kontroversi berawal pada tahun 1994, ketika dua perusahaan raksasa dalam bidang perminyakan, Shell dan Exxon mengalami masalah tentang pembuangan pelampung yang seyogyanya digunakan sebagai tempat penyimpan minyak (buoy) bernama Brent Spar. Dua perusahaan besar tersebut berusaha untuk mempertimbangkan dampak pembuangan Brent Spar yang sudah tidak digunakan selama lima tahun. Shell kemudian mengadakan tiga puluh riset terpisah untuk mempertimbangkan segala resiko pembuangan, baik dari segi teknis, keamanan dan lingkungan (Löfstedt & Renn, 1997). Dari tiga puluh riset tersebut, dihasilkan empat pilihan yang dapat ditempuh untuk membuang Brent Spar, yakni:

1.      Pembuangan di darat

2.      Mengenggelamkan pelampung di lokasi Brent Spar berada

3.      Dekomposisi pelampung di tempat itu juga

4.      Penenggelaman di laut dalam, di perairan Inggris Raya

Opsi kemudian jatuh pada cara keempat, dengan pertimbangan terkait biaya yang relatif terjangkau, serta dampak terhadap lingkungan yang relatif rendah. Keputusan ini disetujui oleh pemerintah Inggris sebagai Best Practicable Environmental Option (BPEO) atau keputusan lingkungan yang paling mungkin dilakukan. Pemerintah Inggris menerima keputusan ini dan memberi tahu negara-negara lain yang berada di kawasan Eropa mengenai hak ini, sesuai dengan ketetapan yang dikeluarkan oleh Konvensi Oslo-Paris yang berbicara tentang lingkungan kelautan. Setiap negara diberikan tenggang waktu 60 hari dari pemberitahuan, dan dari waktu yang diberikan tersebut, tidak ada satu pun negara yang menyatakan keberatan, sehingga izin pun diluncurkan. Namun, sebelum izin ini terbit, aksi keberatan terhadap pembuangan Brent Spar ini dilontarkan oleh Greenpeace sebagai salah satu organisasi yang memperjuangkan kelestarian lingkungan (Löfstedt & Renn, 1997).

Kontroversi mulai mencuat dan permasalahan ini menjadi agenda utama media. Media ‘menembak’ masyarakat dengan gambar aktivis Greenpeace yang disembur oleh water cannons kapal penarik milik Shell. Kementrian Lingkungan dan Agrikultur Jerman pun kemudian menolak keputusan ini dan menyatakan bahwa langkah pembuangan Brent Spar tersebut bukan menjadi opsi yang tepat dan perlu dipertimbangkan lagi. Protes yang dilayangkan oleh pemerintah Jerman ditolak mentah-mentah oleh Inggris dengan alasan bahwa tenggang waktu penolakan terhadap pembuangan Brent Spar telah melewati batas (Löfstedt & Renn, 1997).

Gejolak penolakan terhadap pembuangan Brent Spar semakin menjadi-jadi. Kampanye-kampanye melawan keputusan Shell semakin marak, termasuk dengan mengumpulkan tanda tangan para politisi dan aksi boikot terhadap stasiun pengisian bahan bakar milik Shell. Aksi-aksi ini dimobilisasi oleh aktivis Greenpeace. Aksi penolakan yang dilakukan oleh para aktivis Greenpeace terhadap pembuangan Brent Spar dilandasi oleh klaim bahwa Shell tidak melaporkan kandungan Brent Spar yang ternyata di dalamnya terdapat banyak senyawa kimiawi beracun (Löfstedt & Renn, 1997). Semakin hari, pendukung Shell U.K. terus menurun, bahkan terus ditekan oleh Shell Jerman dan Belanda walau pemerintah Inggris telah meyakinkan negara-negara Eropa lain terkait keputusan pembuangan Brent Spar merupakan hal yang terbaik. Namun, hal-hal yang dilontarkan oleh pemerintah Inggris mengenai Brent Spar sama sekali tidak mendapat perhatian banyak orang. Aksi penolakan terhadap Shell justru terus bergejolak, hingga pengerusakan, boikot serta serangan keras terhadap stasiun bahan bakar Shell terus terjadi. Berbagai cara ditempuh untuk menolak keputusan Shell, termasuk dengan melayangkan surat keluhan. Sampai pada saat itu, lebih dari 11.000 surat keluhan dikirimkan kepada pihak Shell (Löfstedt & Renn, 1997).

Aksi mencengangkan terjadi ketika Brent Spar akan ditenggelamkan. Beberapa jam sebelum penampung minyak tersebut akan dimusnahkan, Shell akhirnya menyerah dengan keadaan dan membatalkan keputusan tersebut. Greenpeace sebagai organisasi yang dari awal gencar melakukan aksi penolakan, mengapresiasi keputusan Shell dan akan menggandeng Shell untuk mencari solusi lingkungan yang dapat dilakukan. Namun, kejadian ini menggugah amarah pemerintah Inggris yang merasa dikhianati dan diperlakukan tidak adil oleh negara-negara Eropa lain (Löfstedt & Renn, 1997).

Shell pun kemudian berusaha mempercepat langkahnya untuk memperbaiki keadaan dengan memasang iklan satu halaman penuh yang menjelaskan bahwa keputusan yang telah mereka perbuat merupakan keputusan yang keliru, meski secara teknis dan lingkungan hal tersebut benar. Shell juga meminta Det Norske Veritas untuk menginvestigasi tuduhan Greenpeace terkait dengan klaim yang dikemukakan bahwa tangki penyimpanan masih berisi 5000 ton minyak mentah. Greenpeace kemudian mengakui kekeliruan terkait kuantitas minyak dalam tangki, namun tetap menyatakan bahwa keputusan penenggelaman tersebut salah. Penelitian lanjutan yang dilakukan juga kemudian tetap menunjukkan hasil bahwa penenggelaman Brent Spar di laut tidak memiliki resiko dan dampak signifikan terhadap lingkungan, dibanding membuangnya di darat. Pembuangan di laut menjadi salah satu langkah yang tepat karena pencemaran yang dihasilkan pun relatif kecil meski terdapat beberapa ketakutan akan munculnya kontaminasi lingkungan lokal di laut dalam (Löfstedt & Renn, 1997).

Kontroversi pembuangan Brent Spar oleh perusahaan raksasa Shell kemudian menjadi bahan menarik bagi Löfstedt dan Renn (1997) untuk dianalisis. Löfstedt dan Renn menjelaskan benang merah dari krisis ini, yaitu:

1.      Shell sebagai perusahaan transnasional yang dianggap memiliki jaringan bisnis besar, kurang dipercaya oleh masyarakat. Hal ini juga berlaku pada pemerintah yang dianggap memihak industri, sehingga berbagai aksi protes Greenpeace dapat cepat memengaruhi masyarakat.

2.      Shell terlihat serakah karena memilih opsi yang paling murah untuk membuang Brent Spar, meski keputusan tersebut berada dalam satu garis dengan BPEO.

3.      Shell adalah target yang mudah untuk diboikot. Orang hanya perlu berpindah ke stasiun pengisian bahan bakar lain dan merasa diri telah berbuat sesuatu untuk lingkungan.

4.      Para politisi dari negara-negara Eropa (kecuali Inggris dan Norwegia) merasa dukungan terhadap Greenpeace akan membuat mereka kembali dipilih. Selain itu, keputusan ini tidak terlalu berpengaruh terhadap ekonomi, karena negara-negara ini tidak terlalu banyak berurusan dengan minyak.

5.      Terdapat isu moral terkait kesucian laut dalam yang seharusnya menjadi wilayah murni dan tak terjamah.

Hal lain yang disoroti Löfstedt dan Renn adalah bagaimana isu Brent Spar dapat bertahan menjadi agenda media:

1.      Terdapat banyak foto yang menggugah emosi masyarakat. Salah satunya adalah aktivis Greenpeace yang disembur oleh kapal penarik Shell.

2.      Media menggambarkan Shell dan Pemerintah sebagai pihak yang arogan, keras kepala dan membingungkan, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap keduanya semakin tergerus.

3.      Isu Brent Spar mendominasi pertemuan-pertemuan internasional.

Kelemahan-kelemahan Shell dan pemerintah Inggris dalam mengatasi krisis ini:

1.      Shell dan pemerintah Inggris melakukan pendekatan justru dari atas ke bawah (top-down approach) dan bukan pendekatan yang dialogal, sehingga publik merasa tidak dianggap.

2.      Shell tidak dipercaya oleh masyarakat, sementara Greenpeace dipercaya. Shell sebagai perusahaan yang tersebar di berbagai negara pun tidak satu suara, sehingga kepercayaan masyarakat semakin memudar.

3.      Shell tidak dapat melawan pemaknaan simbolik mengenai penenggelaman di laut dalam. Ketika masyarakat memiliki respons emosional terkait kemurnian laut dalam, para ilmuwan tidak dapat secara semena-mena menyatakan hal tersebut di luar akal.

4.      Klaim dari Greenpeace tidak dapat dilawan oleh pihak Shell karena Shell tidak berkonsultasi secara mendalam dengan ilmuwan yang benar-benar memahami laut dalam.

5.      Liputan media sebagian besar mendukung Greenpeace, bukan Shell.

 

Kasus ini menjadi satu hal nyata yang dapat dipelajari semua orang, mengenai bagaimana manajemen krisis seharusnya diterapkan. Dari kontroversi pembuangan Brent Spar oleh Shell, dapat dipetik beberapa kesimpulan, yaitu: Strategi resiprokal melalui dialog antara masyarakat, kelompok kepentingan, para ahli, dan perusahaan menjadi hal yang penting untuk mengatasi krisis. Dialog semacam ini membantu masing-masing pihak untuk memahami alasan-alasan dan kerangka pikir pihak lain, sehingga akan didapati titik solusi yang dapat diterima oleh semua pihak. Tidak hanya itu, perusahaan perlu mengembangkan strategi komunikasi yang lebih fleksibel dalam menerima kritik, seperti diadakannya peer-review oleh publik terhadap suatu rancangan kebijakan sebelum aksi dilakukan. 

Sebuah perusahan juga perlu berkonnsultasi dengan konselor media atau ilmuwan sosial independen untuk mengantisipasi kritik yang mungkin muncul. Untuk perusahaan multinasional, diperlukan adanya konsultasi dan komunikasi dengan lembaga politik di negara lain agar tercipta koordinasi. Diperlukan pemahaman tentang apa yang paling menjadi perhatian dan ketakutan publik, serta membuat kampanye yang dekat dengan isu tersebut agar lebih mudah diterima dan didukung. Informasi yang diberikan juga harus sama dan tidak ambigu, sehingga satu perusahaan dengan yang lain tampak konsisten dan memiliki kredibilitas tinggi. Tidak hanya dari pihak perusahaan, pemerintah juga harus menyatakan klaim yang terkesan netral dan independen walau pada dasarnya pemerintah setuju dengan jalan yang ditempuh perusahaan. Dalam rangka menggaet kepercayaan publik, diperlukan penegasan tentang adanya kontrol dan akuntabilitas. Industri perlu bekerjasama dengan LSM terkait, untuk mendukung keputusan-keputusan yang akan diluncurkan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Lofstedt, Ragnar E & Renn, Ortwin. 1997. Perspectives The Brent Spar Controversy:An Example of Risk Communication Gone Wrong. Journal Risk Analysis Vol 17, No 2, 1997.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun