PRAKTIK STOICISME
Stoicisme, atau Stoikisme dengan bahasa Indonesia, ialah saluran pertimbangan filsafat yang dari Yunani kuno sekitaran 300 SM. Dibangun oleh Zeno dari Citium dan jadi populer lewat tuntunan beberapa filsuf populer seperti Epictetus, Seneca, dan Marcus Aurelius. Pada dasarnya, Stoicisme ialah filosofi ringkas yang mengutamakan kebijakan, kebijakan, dan ketahanan saat hadapi kesusahan.
Tiga Pilar Stoicisme
Stoicisme sekitar pada tiga konsep dasar:
1. Kebijaksanaan
Golongan Stoa yakin pada penelusuran pengetahuan dan kebijakan sebagai fasilitas untuk jalani kehidupan yang bajik. Pahami apa yang ada dalam kendalian kita dan apa yang tidak adalah dasar kebijakan ini.
2. Keberanian (Kebesaran hati)
Keberanian bukan tidak ada perasaan takut tetapi kekuatan hadapi kesusahan dengan karunia dan keteguhan. Stoicisme mengajari kita untuk hadapi rintangan langsung.
3. Pertarakan (Kepantas-santunan)
Moderasi dan pengaturan diri ialah kebijakan penting pada Stoicisme. Ini menggerakkan pribadi untuk temukan kesetimbangan dalam kemauan dan perlakuan mereka.
Stoicisme dalam Praktik
Stoicisme bukan sekedar filsafat teoretis; dia tawarkan alat ringkas untuk mengarahkan turun-naiknya kehidupan.
Apa Itu Stoikisme dalam Kehidupan Setiap hari
1. Memahami Kontrol
Stoicisme mengajari kita untuk konsentrasi dari sesuatu yang dapat kita kontrol dan terima apa yang tidak dapat kita kontrol. Perubahan sudut pandang ini kurangi kekhawatiran dan depresi.
2. Dikotomi Kontrol (Dikotomi Kontrol)
Epictetus mengenalkan ide dikotomi kontrol, membagikan kejadian kehidupan jadi dua kelompok: beberapa hal yang kita kontrol dan beberapa hal yang tidak kita kontrol. Dengan memfokuskan energi kita pada hal pertama, kita capai ketenangan.
3. Melatih Mengucapkan syukur (Latihan Bersyukur)
Golongan Stoa menyarankan refleksi harian mengenai beberapa hal yang kita sukuri. Praktek ini tumbuhkan kepuasan dan ketahanan.
4. Visualisasi Negatif
Dengan memikirkan scenario terjelek, golongan Stoa menyiapkan diri dengan psikis hadapi kesusahan, membuat mereka lebih kuat saat rintangan ada.
5. The Stoic Journal (Jurnal Stoik)
Membuat jurnal untuk menulis pertimbangan dan pengalaman menolong pribadi memperoleh kepastian dan jaga kesetimbangan emosional.
Dampak Stoicisme
Stoicisme sudah tinggalkan tapak jejak yang tidak terhapus pada beragam faktor warga dan budaya:
-- Kepemimpinan Inspiratif: Pimpinan seperti Marcus Aurelius manfaatkan memahami Stoicisme untuk membikin keputusan yang arif dan adil untuk masyarakatnya.
-- Psikologi Modern: Therapy sikap kognitif (CBT) dikuasai oleh beberapa prinsip Stoic dan sudah menolong beberapa orang mengurus kesehatan psikis mereka.
-- Ketahanan dalam Kesusahan: Stoicisme memperlengkapi orang dengan alat psikis untuk hadapi kritis individu dan global.
-- Cetak Biru untuk Hidup Etis: Norma Stoa memberi dasar kepribadian untuk pribadi yang cari kehidupan yang beradab mulia.
Pertanyaan seputar Paham Stoikisme
Asal Saran Apa Itu Stoikisme?
Stoicisme asal dari Yunani kuno sekitaran 300 SM dan dibangun oleh Zeno dari Citium.
Bagaimana Saya Bisa Mengaplikasikan Stoicisme dalam Hidup Saya?
Mulai dengan pahami konsep kebijakan, keberanian, dan kepenguasaan diri. Latih rasa sukur, visualisasi negatif, dan refleksi diri.
Siapakah Beberapa Figur Stoa Populer?
Figur Stoa terpenting termasuk Epictetus, Seneca, dan Kaisar Romawi Marcus Aurelius.
Apa Stoicisme Sesuai Kehidupan Kekinian?
Sudah pasti. Stoicisme tawarkan alat yang bernilai untuk hadapi rintangan dunia kekinian.
Bagaimana Stoicisme Memengaruhi Kesehatan Psikis?
Penekanan Stoicisme pada rasionalitas dan pengaturan emosi searah dengan konsep psikis kekinian, menjadikan alat yang bermanfaat untuk mengurus kesehatan psikis.
Apa ada yang Dapat Mengaplikasikan Stoicisme?
Ya, Stoicisme bisa dijangkau oleh siapa pun yang ingin pelajari dan mengaplikasikan prinsip-prinsipnya
Dalam penelusuran kebijakan, ketahanan, dan kehidupan yang beradab mulia, Stoicisme, atau "Apa Itu Stoikisme", berdiri sebagai tutorial kekal. Prinsip-prinsipnya sudah melebihi jaman, tawarkan kenyamanan dan kebijakan ringkas untuk mereka yang menelusurinya. Dengan pahami Dengan mengaplikasikan tiga pilar Stoicisme---kebijaksanaan, keberanian, dan pengaturan diri---dan mengaplikasikan tuntunannya di kehidupan setiap hari, pribadi bisa temukan kemampuan, kepastian, dan ketenangan di tengah-tengah kerusuhan dunia.
Dapatkan kebijakan Stoicisme dan mulai perjalanan ke arah kehidupan lebih memiliki makna dan memberikan kepuasan. Ingat, sama seperti yang disebutkan golongan Stoa, "Kebijakan ialah kekayaan sejati" (Kebijakan ialah kekayaan sejati).
VIRTUE DAN FORTUNE
Machiavelli tidak mendefiniskan makna virtue secara pasti. Ia tidak menggunakan istilah tersebut secara sistematik. Machiavelli menggunakan istilah virtue sebagai analisis kompleks yang menggambarkan pada kualitas-kualitas utama seorang pemimpin dalam mencapai kegemilangan, meraih kemuliaan dan kehormatan, menahan serangan, melepaskan ketergantungan pada pihak lain, keyakinan diri.Â
Dalam konteks tertentu, virtue didefinisikan sebagai kesediaan untuk melakukan apa saja tindakan untuk mencapai kemuliaan umum, baik itu melalui cara-cara yang baik maupun jahat. Pandangan ini menegasikan prinsip-prinsip moral dalam mencapai tujuan. Sementara fortune berarti, Nasib Baik.Â
Fortune adalah dimensi yang selalu mengelilingi dan menentukan arah hidup kita. Dalam pandangan Machiavelli, Nasib adalah Dewi dalam kehidupan yang mana kita patut memberikan perhatian kepadanya, karena ia dapat memberikan keberuntungan ataupun kecelakaan. Argumentasi tentang Nasib ini berseberangan dengan pandangan Machiavelli yang sejauh ini dikenal cukup liberal dalam bidang politik dan kenegaraan. Pada tahap tertentu, pemikiran Machiavelli tentang virtue dan fortune, menciptakan suatu kesenjangan moral antara tradisi moralis klasik (Yunani dan Romawi kuno) dan zaman Renaisans, serta dilema moralitas baru kekuasaan.
VIRTUE
Dalam tulisan-tulisan Machiavelli, ketika menguraikan dan menganalisis berbagai peristiwa, dia seringkali menggunakan istilah virtue dan fortune. Secara khusus, dua istilah tersebut muncul dalam berbagai pengertian dan konteks. Terkadang istilah tersebut digunakan secara bergantian, untuk menggambarkan sifat kebalikan yang satu terhadap yang lainnya. Pada satu konteks istilah virtue seringkali memiliki makna tertentu yang berbeda, dengan konteks yang lain.Â
Istilah virtue 45 berasal dari bahasa Latin, virtuere yang bermakna, keutamaan atau kemuliaan. Kemudian dalam bahasa Inggris menjadi virtu, serta virtue, yang artinya "keutamaan moral". Dalam kamus Webster New World College Dictionary, virtue diartikan sebagai, general moral excellence; right action and thinking; goodness or morality (Neufeldt & Guralnik 1996:1491). Quentin Skinner (2000:59) menafsirkan virtue sebagai, himpunan kualitas yang dimiliki seorang raja (pemimpin) yang berkelindan dengan nasib baik untuk memperoleh penghormatan, kemuliaan, serta kemasyhuran. Dengan demikian, istilah virtue mengacu pada seperangkat nilai-nilai unggul yang dimiliki individu atau kelompok. Â
Pandangan Machiavelli, terhadap konsep virtue, tidaklah bersifat konsisten, sehingga acapkali membingungkan para pembacanya. Nampaknya terdapat beberapa makna virtue dalam tulisan-tulisan Machiavelli. Pertama, virtue dimaknai sebagai kepemimpinan. Ketika menjelaskan tentang Nasib baik apa, yang bisa mempengaruhi urusan manusia dan bagaimana mempertahankannya, Machiavelli (1988:85-87) menyatakan, "individu yang memiliki jiwa kepemimpinan (virtu)", yang dicirikan oleh sifat keberanian dan mau menanggung resiko, lebih disukai oleh "Dewi Nasib". "Dewi Nasib" akan menjadi marah dan benci terhadap siapapun pemimpin yang kurang memiliki sifat kepemimpinan (virtu) yang sejati.
FORTUNE
Sementara fortune berarti, Nasib Baik. Istilah ini berasal dari Bahasa Inggris yang bermakna keberuntungan, peluang, ataupun kesempatan. Dalam kamus Webster New World College Dictionary, fortune diartikan sebagai, the supposed power thought of as bringing good or bad to people; luck; chance; fate; often personified (Neufeldt & Guralnik 1996:531). Dengan demikian, fortune adalah kekuatan di luar kita yang berperan memberikan "ganjaran" dan menentukan arah kehidupan kita. Dalam mitologi Yunani dikenal adanya Dewi Fortuna, yakni salah satu dewa dewi yang diyakini oleh masyarakat Yunani Kuno memiliki kuasa membawa keberuntungan.Â
Bagi orang Yunani di kala itu, Dewi Fortuna, adalah dewa pengharapan. Robin Hard, dalam The Routledge Handbook of Greek Mythology (2008: vii-viii), menyebut keyakinan mitologis itu muncul karena besarnya tantangan kehidupan masyarakat Yunani Klasik, baik secara politik, ekonomi, geografis, ekologis, sosial dan kultural. Fortune (Nasib Baik) adalah dimensi yang selalu mengelilingi dan menentukan arah hidup kita. Kebebasan manusia tidaklah sepenuhnya bersifat mutlak, berdasarkan tindakan-tindakannya yang otonom, tetapi juga ditentukan nasib yang membawanya. Terkadang kehidupan ini berbelok ke arah yang berlainan dengan keinginan, tetapi ada kalanya sesuai dengan hasrat kita, yang seolah-olah memenuhi segala harapan kita.Â
Machiavelli bukan saja menyatakan bahwa, "Dewi Nasib umpama seorang perempuan, pecinta orang-orang berusia muda, dan jika seseorang itu bermaksud menguasainya, maka dia perlu berurusan dengannya secara kasar", tetapi secara tajam Machiavelli juga menyatakan, "Jika seseorang ingin mengatur-atur dan menyalahgunakan dirinya, nampaknya Dewi Nasib akan membiarkan dirinya dikuasai oleh orang-orang yang berjiwa petualang, ketimbang orang yang mendatanginya dengan hati dingin". Dari segi ini, Machiavelli menegaskan bahwa Nasib sebenarnya "lebih suka untuk mengalah pada laki-laki" yang "kerap bertindak terhadapnya dengan berani" (Machiavelli 1988:87).Â
Pandangan ini menegaskan bahwa individu tidak boleh bermain-main dengan Dewi Nasib karena ia ingin diperlakukan dengan sepenuh perhatian dan hasrat yang menggebu. Jika kita melihat lebih mendalam, sesungguhnya perspektif terhadap kuasa Nasib mengalami pergeseran penting ketika Agama Kristen muncul. Nasib tidak lagi digambarkan sebagai sahabat ataupun kemurahan, serta kekuatan penentu, tetapi sebagai "kuasa buta' yang sembrono dan terkadang semena-mena, tidak menentu, dan tidak layak untuk dikejar karena Nasib 55 tidaklah berkuasa langsung atas manusia, sehingga kita tidak layak berpaling kepadanya.Â
Dalam buku The Discourses Bab 30 (1990) Machiavelli menjelaskan, Dewi Nasib selalu "berubah-ubah", "tidak memilih kesempatan". Mengejar kemurahan Dewi Nasib sama dengan mengejar fatamorgana yang tiada membawa manfaat langsung, memalingkan diri dari kemuliaan. Meskipun demikian, kata Machiavelli, kedudukan Dewi Nasib tidak bisa ditolak. Sekalipun Dewi Nasib itu terkadang bersifat zalim dengan tidak menentu, Dia sebenarnya ialah Ancilla Dei (Dayang Tuhan), yakni agen pemberian Tuhan yang bersifat murah hati, karena ia sebagian dari rancangan Tuhan, yang bertujuan menunjukkan kepada kita bahwa "kebahagiaan tidak mungkin terletak pada hal yang berlaku secara kebetulan dalam kehidupan ini", dan sebab itu menjadikan kita "benci kepada semua hal duniawi, dan nikmat surga bahagia dibebaskan dari semua hal dunia" (Machiavelli 1988:197, 221). Â
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas dapat dikemukakan bahwa, Machiavelli tidak mendefiniskan makna virtue secara pasti. Ia tidak menggunakan istilah tersebut secara sistematik. Buku The Prince lebih mengaitkan kualitas virtue secara eksklusif dengan kepemimpin politik dan komandan tentara yang agung. Sementara dalam The Discourses, kualitas virtue lebih menggambarkan kualitas-kualitas yang harus dimiliki oleh badan rakyat secara keseluruhan (Skinner 2000:84). Bahkan dalam The Discourses, pada beberapa bagian, Machiavelli menggunakan istilah bonta, untuk merujuk pada nilai-nilai kebaikan atau keluhuran utama. Dalam kajian ini, penulis berpendapat, Machiavellli menggunakan istilah-istilah tersebut sebagai analisis kompleks yang menggambarkan pada kualitas-kualitas utama seorang pemimpin dalam mencapai kegemilangan, meraih kemuliaan dan kehormatan, menahan pukulan, melepaskan ketergantungan pada pihak lain, kepercayaan dan keyakinan diri. Dalam konteks tertentu, virtue didefinisikan sebagai kesediaan untuk melakukan apa saja tindakan, untuk mencapai kemuliaan umum, baik itu melalui cara-cara yang terpuji maupun jahat. Pemimpin yang berhasil hanyalah yang memiliki virtuoso (keterampilan hebat), yang selalu bersiap sedia "berganti haluan" menurut keadaan.Â
Pemikiran ini membawa implikasi moral, di mana Machiavelli terkesan mempermainkan nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya menjadi pijakan dalam mencapai segala tujuan. Mengabaikan prinsip-prinsip moral dalam mengambil tindakan, sama dengan menginjak-injak nilai kemanusiaan itu sendiri. Sementara fortune berarti, Nasib Baik. Fortune adalah dimensi yang selalu mengelilingi dan menentukan arah hidup kita. Kebebasan manusia tidaklah sepenuhnya bersifat mutlak, berdasarkan tindakan-tindakannya yang otonom, tetapi juga ditentukan Nasib yang membawanya. Dalam pandangan Machiavelli, Nasib adalah Dewi dalam kehidupan yang mana kita patut memberikan perhatian kepadanya, karena ia dapat memberikan keberuntungan ataupun kecelakaan. Jika melihat argumentasi yang dikembangkan Machiavelli, maka pandangannya sangat mengejutkan, karena bertentangan dengan pemikiran beliau yang dikenal cukup liberal dalam bidang politik dan kenegaraan. Pada tahap tertentu, 60 pemikiran Machiavelli tentang virtue dan fortune, menciptakan suatu kesenjangan moral antara tradisi moralis klasik (Yunani dan Romawi kuno) dan zaman Renaisans.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI