Mohon tunggu...
vincenaryabintangchr
vincenaryabintangchr Mohon Tunggu... Konsultan - Mahasiswa

NIM 41123110086 Mercu Buana

Selanjutnya

Tutup

Analisis

praktik stoicisme

28 Januari 2025   15:40 Diperbarui: 28 Januari 2025   15:35 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pandangan Machiavelli, terhadap konsep virtue, tidaklah bersifat konsisten, sehingga acapkali membingungkan para pembacanya. Nampaknya terdapat beberapa makna virtue dalam tulisan-tulisan Machiavelli. Pertama, virtue dimaknai sebagai kepemimpinan. Ketika menjelaskan tentang Nasib baik apa, yang bisa mempengaruhi urusan manusia dan bagaimana mempertahankannya, Machiavelli (1988:85-87) menyatakan, "individu yang memiliki jiwa kepemimpinan (virtu)", yang dicirikan oleh sifat keberanian dan mau menanggung resiko, lebih disukai oleh "Dewi Nasib". "Dewi Nasib" akan menjadi marah dan benci terhadap siapapun pemimpin yang kurang memiliki sifat kepemimpinan (virtu) yang sejati.

FORTUNE

Sementara fortune berarti, Nasib Baik. Istilah ini berasal dari Bahasa Inggris yang bermakna keberuntungan, peluang, ataupun kesempatan. Dalam kamus Webster New World College Dictionary, fortune diartikan sebagai, the supposed power thought of as bringing good or bad to people; luck; chance; fate; often personified (Neufeldt & Guralnik 1996:531). Dengan demikian, fortune adalah kekuatan di luar kita yang berperan memberikan "ganjaran" dan menentukan arah kehidupan kita. Dalam mitologi Yunani dikenal adanya Dewi Fortuna, yakni salah satu dewa dewi yang diyakini oleh masyarakat Yunani Kuno memiliki kuasa membawa keberuntungan. 

Bagi orang Yunani di kala itu, Dewi Fortuna, adalah dewa pengharapan. Robin Hard, dalam The Routledge Handbook of Greek Mythology (2008: vii-viii), menyebut keyakinan mitologis itu muncul karena besarnya tantangan kehidupan masyarakat Yunani Klasik, baik secara politik, ekonomi, geografis, ekologis, sosial dan kultural. Fortune (Nasib Baik) adalah dimensi yang selalu mengelilingi dan menentukan arah hidup kita. Kebebasan manusia tidaklah sepenuhnya bersifat mutlak, berdasarkan tindakan-tindakannya yang otonom, tetapi juga ditentukan nasib yang membawanya. Terkadang kehidupan ini berbelok ke arah yang berlainan dengan keinginan, tetapi ada kalanya sesuai dengan hasrat kita, yang seolah-olah memenuhi segala harapan kita. 

Machiavelli bukan saja menyatakan bahwa, "Dewi Nasib umpama seorang perempuan, pecinta orang-orang berusia muda, dan jika seseorang itu bermaksud menguasainya, maka dia perlu berurusan dengannya secara kasar", tetapi secara tajam Machiavelli juga menyatakan, "Jika seseorang ingin mengatur-atur dan menyalahgunakan dirinya, nampaknya Dewi Nasib akan membiarkan dirinya dikuasai oleh orang-orang yang berjiwa petualang, ketimbang orang yang mendatanginya dengan hati dingin". Dari segi ini, Machiavelli menegaskan bahwa Nasib sebenarnya "lebih suka untuk mengalah pada laki-laki" yang "kerap bertindak terhadapnya dengan berani" (Machiavelli 1988:87). 

Pandangan ini menegaskan bahwa individu tidak boleh bermain-main dengan Dewi Nasib karena ia ingin diperlakukan dengan sepenuh perhatian dan hasrat yang menggebu. Jika kita melihat lebih mendalam, sesungguhnya perspektif terhadap kuasa Nasib mengalami pergeseran penting ketika Agama Kristen muncul. Nasib tidak lagi digambarkan sebagai sahabat ataupun kemurahan, serta kekuatan penentu, tetapi sebagai "kuasa buta' yang sembrono dan terkadang semena-mena, tidak menentu, dan tidak layak untuk dikejar karena Nasib 55 tidaklah berkuasa langsung atas manusia, sehingga kita tidak layak berpaling kepadanya. 

Dalam buku The Discourses Bab 30 (1990) Machiavelli menjelaskan, Dewi Nasib selalu "berubah-ubah", "tidak memilih kesempatan". Mengejar kemurahan Dewi Nasib sama dengan mengejar fatamorgana yang tiada membawa manfaat langsung, memalingkan diri dari kemuliaan. Meskipun demikian, kata Machiavelli, kedudukan Dewi Nasib tidak bisa ditolak. Sekalipun Dewi Nasib itu terkadang bersifat zalim dengan tidak menentu, Dia sebenarnya ialah Ancilla Dei (Dayang Tuhan), yakni agen pemberian Tuhan yang bersifat murah hati, karena ia sebagian dari rancangan Tuhan, yang bertujuan menunjukkan kepada kita bahwa "kebahagiaan tidak mungkin terletak pada hal yang berlaku secara kebetulan dalam kehidupan ini", dan sebab itu menjadikan kita "benci kepada semua hal duniawi, dan nikmat surga bahagia dibebaskan dari semua hal dunia" (Machiavelli 1988:197, 221).  

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas dapat dikemukakan bahwa, Machiavelli tidak mendefiniskan makna virtue secara pasti. Ia tidak menggunakan istilah tersebut secara sistematik. Buku The Prince lebih mengaitkan kualitas virtue secara eksklusif dengan kepemimpin politik dan komandan tentara yang agung. Sementara dalam The Discourses, kualitas virtue lebih menggambarkan kualitas-kualitas yang harus dimiliki oleh badan rakyat secara keseluruhan (Skinner 2000:84). Bahkan dalam The Discourses, pada beberapa bagian, Machiavelli menggunakan istilah bonta, untuk merujuk pada nilai-nilai kebaikan atau keluhuran utama. Dalam kajian ini, penulis berpendapat, Machiavellli menggunakan istilah-istilah tersebut sebagai analisis kompleks yang menggambarkan pada kualitas-kualitas utama seorang pemimpin dalam mencapai kegemilangan, meraih kemuliaan dan kehormatan, menahan pukulan, melepaskan ketergantungan pada pihak lain, kepercayaan dan keyakinan diri. Dalam konteks tertentu, virtue didefinisikan sebagai kesediaan untuk melakukan apa saja tindakan, untuk mencapai kemuliaan umum, baik itu melalui cara-cara yang terpuji maupun jahat. Pemimpin yang berhasil hanyalah yang memiliki virtuoso (keterampilan hebat), yang selalu bersiap sedia "berganti haluan" menurut keadaan. 

Pemikiran ini membawa implikasi moral, di mana Machiavelli terkesan mempermainkan nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya menjadi pijakan dalam mencapai segala tujuan. Mengabaikan prinsip-prinsip moral dalam mengambil tindakan, sama dengan menginjak-injak nilai kemanusiaan itu sendiri. Sementara fortune berarti, Nasib Baik. Fortune adalah dimensi yang selalu mengelilingi dan menentukan arah hidup kita. Kebebasan manusia tidaklah sepenuhnya bersifat mutlak, berdasarkan tindakan-tindakannya yang otonom, tetapi juga ditentukan Nasib yang membawanya. Dalam pandangan Machiavelli, Nasib adalah Dewi dalam kehidupan yang mana kita patut memberikan perhatian kepadanya, karena ia dapat memberikan keberuntungan ataupun kecelakaan. Jika melihat argumentasi yang dikembangkan Machiavelli, maka pandangannya sangat mengejutkan, karena bertentangan dengan pemikiran beliau yang dikenal cukup liberal dalam bidang politik dan kenegaraan. Pada tahap tertentu, 60 pemikiran Machiavelli tentang virtue dan fortune, menciptakan suatu kesenjangan moral antara tradisi moralis klasik (Yunani dan Romawi kuno) dan zaman Renaisans.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun