Mohon tunggu...
Vina Nur Hanifah
Vina Nur Hanifah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiwa Pendidikan Sosiologi FIS UNJ

Jadilah orang yang selalu berusaha dan pandai menerima

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Problematika Penanaman Pendidikan Karakter pada Sekolah Menengah Atas (SMA) di Masa Pandemi Covid-19

1 November 2022   17:38 Diperbarui: 1 November 2022   17:44 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Vina Nur Hanifah_Pendidikan Sosiologi_FIS UNJ

Praktik pendidikan dimasa pandemi merupakan problematika universal yang hingga kini masih dihadapi oleh lembaga pendidikan di berbagai lapisan dunia terkhusus pada Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut merasakan dampak pandemi Covid-19 tidak terkecuali dalam dunia pendidikan (Siahaan, 2020). 

Dalam perjalanannya, pandemi covid-19 ini telah mengubah sebagian besar proses pendidikan hingga teknis pembelajaran yang dilakukan guru di dalam kelas. Secara lebih lanjut menurut (Putro, Widyastuti,  &  Hastuti,  2020) menjelaskan bahwa permasalahan pendidikan di tiap-tiap negara seperti:   Filipina,  Nigeria, Ethiopia,  Finlandia,  Jerman,  hingga Indonesia disebabkan karena ketidaksiapan sarana prasarana, kompetensi sumber daya manusia, hingga permasalahan pendidikan pada keadaan negara sebelum pandemi. 

Fenomena tersebut merupakan realitas yang sering kita jumpai di Indonesia yang pada umumnya banyak terjadi di daerah-daerah. Permasalahan pendidikan merupakan salah satu pembahasan yang penting untuk dikaji dan merupakan salah satu lingkup pembahasan dasar-dasar pendidikan khususnya di dalam sekolah.

Hingga kini Sekolah dijadikan sebagai salah satu komponen penting dalam melaksanakan nilai-nilai positif pada pengembangan pendidikan karakter peserta didiknya di sekolah. 

Sejalan dengan pernyataan menurut (Murniyetti, dkk. 2016: 163) bahwa Sekolah sebagai tempat kedua untuk melakukan sosialisasi dan pendidikan yang terstruktur dibandingkan dengan kegiatan dirumah yang relatif bersifat insidental, sehingga sekolah memiliki peran yang penting untuk mewujudkan pemberdayaan kepada para peserta didik menjadi warga sekolah yang memiliki kepribadian yang baik sesuai dengan nilai-nilai karakter bangsa. 

Keberhasilan pendidikan karakter pada masa pandemi Covid-19 mengalami banyak kendala, mengingat pembelajaran di sekolah dilakukan secara online atau daring. Tidak dipungkiri perlunya kerja sama dalam peran orang tua dirumah sangat dibutuhkan dalam pembelajaran online dimasa pandemi seperti sekarang ini.

Realitasnya pembelajaran online bukanlah sebuah hal baru dalam proses perjalanan pendidikan di Indonesia. Sebelum adanya pandemi Covid-19 telah dikenal istilah distance learning atau yang biasa disebut dengan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Pembelajaran jarak jauh merupakan sistem pembelajaran dimana antara guru dan siswa berada di tempat yang berbeda dan berinteraksi secara online (Muhaemin & Mubarok, 2020). 

Sejalan dengan pernyataan menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 1 Ayat 15, pembelajaran jarak jauh adalah proses pembelajaran yang dilakukan secara jarak jauh antara guru dan siswa dan menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi, komunikasi, dan informasi. Menurut Thome dalam (Kuntarto, 2017), pembelajaran online adalah proses pembelajaran yang menggunakan teknologi multimedia, video streaming, conference call, teks animasi online, pesan suara, kelas virtual, dan email.

Diantara berbagai platform teknologi tersebut merupakan wadah yang ditujukan untuk kebermanfaatan dalam dunia pendidikan. Berbagai kajian materi dan sumber-sumber belajar pun menjadi melimpah bagi siswa dari tiap-tiap platform seperti kursus online, artikel dalam website, hingga konten-konten di social media. 

Secara tidak langsung di era disrupsi teknologi ini akses pendidikan telah dimudahkan oleh hadirnya hal-hal baru secara online. Proses pendidikan pun dapat dilaksanakan dengan mudah dari jarak dan waktu yang tidak terbatas. 

Dalam perjalanannya makna pendidikan pendidikan masih diartikan sebagai penopang penting kemajuan, maka secara sadar proses pembelajaran didalam dunia pendidikan ini harus diolah dalam beberapa aspek supaya lebih tertata dan berdimensi positif untuk menjadi wadah dalam mewujudkan cita-cita masyarakat dan bangsa. 

Arah yang dimaksud dari proses pendidikan itu sendiri adalah bagaimana proses yang dilakukan dapat berkembang hingga mencapai kriteria keluaran yang ideal. 

Istilah ideal di sini diartikan sebagai orang yang unggul dalam kecerdasan dan kemampuan intelektual, menunjukkan kemampuan dalam berbagai hal, dan mengarah pada pembentukan sikap positif terhadap pembentukan kepribadian dan moral yang baik. Untuk membentuk kognitif dan kepribadian yang baik, perlu adanya keseimbangan yang di implementasikan kepada siswa melalui pendidikan karakter.

Secara  etimologis kata "pendidikan" berasal  dari educare yang dalam bahasa  Latin  berartinya "melatih".  Kata educare dalam istilah  pertanian  juga  dapat  diartikan  menyuburkan  yakni  mengolah tanah agar menjadi subur dan menumbuhkan tanaman yang baik. Sedangkan arti karakter dalam Kretschmer menyebutkan bahwa karakter, yaitu kepribadian keseluruhan (totalitas) yang terbentuk oleh unsur-unsur dari dalam (dasar, keturunan, faktor-faktor endogen) dan unsur-unsur  dari  luar  (pendidikan  dan pengalaman,  faktor-faktor  eksogen),  makalah  Sasongko  (2010),  Allport  memaknainya "Character  is  personality  evaluated,  and personality  is  character  devaluated". 

Sehingga,  tidak terdapat perbedaan yang secara  signifikan antara character (watak) dan personality (kepribadian).  Meski  dimaknai  serupa,  menurut  pernyataan Allport  dalam  pengertian  kedua  istilah  ini  dapat dibedakan.  Watak,  yaitu  upaya  orang  menanamkan norma-norma moral dan nilai-nilai moral, atau mengadakan penilaian. Sementara, jika hanya sekadar ingin memberikan gambaran apa adanya, maka pemakaian yang tepat dengan istilah kepribadian.

Dalam perspektif sosiologi makna pendidikan karakter bisa dilihat sebagai  sebuah  proses  internalisasi yang disosialisasikan oleh berbagai agen-agen sosial seperti: keluarga, sekolah, hingga masyarakat untuk membantu menumbuhkan, mengembangkan,  mendewasakan,  menata,  dan  mengarahkan individu agar dapat berperan, bertindak, dan melakukan fungsinya masing-masing sesuai nilai dan norma yang berlaku dimasayarakat. Mininmnya pendidikan karakter dalam pembelajaran dimasa pandemi secara tidak langsung membentuk culture baru bahwa pelanggaran dan penyimpangan merupakan hal wajar yang dilakukan oleh anak sekolah.

Secara harfiah, Character   Education   Partnership   (CEP) mendefinisikan pendidikan  karakter  sebagai sebuah  upaya  yang disengaja dan  proaktif  oleh  sekolah  maupun  pemerintah untuk  menanamkan  nilai-nilai  inti  yang  penting  kepada  peserta  didik  seperti: nilai  kepedulian, kejujuran,  keadilan,  tanggung  jawab,  dan  menghargai  diri  sendiri  dan  orang  lain.  

Sementara Kementerian Pendidikan  dan  Kebudayaan  (Kemendikbud)  RI  juga mendefinisikan  pendidikan karakter yang tergambar dalam uraian tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), yaitu gerakan pendidikan di sekolah untuk memperkuat karakter siswa melalui harmonisasi olah hati (etik), olah rasa (estetis), olah pikir (literasi), dan olah raga (kinestetik) dengan dukungan pelibatan publik dan kerja sama antara sekolah, keluarga, dan masyarakat.(Kemdikbud, 2016) (Amirullah M.A, 2021: 24).

 Secara umum problematika pendidikan pada situasi pra-pandemi dan pasca pandemi di Indonesia ini terkait pada minimnya akses pendidikan di seluruh kalangan masyarakat hingga sarana pembelajaran siswa disekolah yang belum maksimal. Dalam penelitian yang sudah dibahas sebelumnya (Kurniawan, 2016) problematika pendidikan lebih luas dari hal tersebut yaitu terkait pemerataan pendidikan, mutu pendidikan, efisiensi, dan relevansi. Berbagai masalah tersebut diperparah dengan adanya kondisi baru akibat pandemi  covid-19. 

Hadirnya permasalahan virus yang mulai mewabah di berbagai negara ini menambah permasalahan panjang  bagi dunia pendidikan yang terkhusus di Indonesia. Dapat kita jumpai bahwa beberapa aspek dasar pendidikan disekolah tidak dapat kita laksanakan prosesnya dalam pembelajaran secara online. Secara lebih lanjut (Asmuni, 2020) juga menjumpai ketidakefektifan proses pembelajaran pada berbagai jenjang sekolah menengah atas seperti:

1) Penyampaian materi tidak tersampaikan dengan baik dan tepat

2) Keterbatasan kompetensi guru pada bidang teknologi informasi

3) Kontrol pembelajaran yang dilakukan guru tidak berjalan maksimal.

Masalah lain yang timbul didalam dunia pendidikan pasca pandemi adalah terkait pendidikan karakter pada anak sudah yang sudah mengalami degradasi moralitas dan berkembangnya perilaku baru yang kurang sesuai dengan nilai dan norma sosial di masyarakat kini cenderung meluas. Disamping aspek kognitif siswa, terdapat kendala yang terjadi dalam pembelajaran online yaitu adalah proses internalisasi pendidikan karakter dan sosialisasi moralitas antar guru dengan peserta didiknya. Problematika degradasi moralitas pada siswa di masa pandemi telah menjadi salah satu dasar berkembangnya kriminalitas dan penyimpangan yang hadir hari ini disekitar lingkungan kita. Menurut (Mithhar , Andi Agustang: 2021) distorsi karakter tersebut yakni: 

(1) Perilaku tidak toleransi antar pemeluk agama

(2) Penggunaan bahasa dan katakata yang memburuk

(3) Pengaruh peer-group (geng) yang kuat dalam tindak kekerasan

(4) Meningkatnya perilaku merusak diri sendiri, seperti penggunaan narkoba, minuman keras

(5) Menurunnya integritas

(6) Rendahnya rasa hormat kepada orang yang lebih tua

(7) Ketidakjujuran semakin membudaya dan

(8) Menebar rasa kebencian di antara sesama hingga perilaku penyimpangan lainnya seperti tawuran antar pelajar maupun pelecehan seksual.

Selain itu terdapat juga jenis penyimpangan remaja yaitu perilaku seks bebas yang mana hal ini merupakan perilaku menyimpang dalam nilai dan norma masyarakat serta agama dalam budaya ketimuran bagi negara Indonesia. 

Diketahui dalam penelitian yang dilakukan oleh (Janatun Nikmah, 2021 : 1-2) bahwa faktor pergaulan anak yang menyebabkan  peningkatan  pernikahan  dini akibat perilaku seks bebas disebabkan karena tingginya frekuensi  memegang  gadget  pada  anak  juga. 

Di sela-sela jadwal daring dan mengerjakan tugas, mereka bisa terjebak pada konten-konten pornografi dan pergaulan bebas sehingga merusak moral dan mempraktekkan  hal-hal  yang  mereka  lihat  bersama  pasangannya.  Jika  hal  itu terjadi  maka  tak  jarang  terjadilah  hamil  di  luar  nikah  yang  berujung  pada pernikahan akibat perilaku sex bebas yang ditimbulkan oleh pengaruh konten-konten digital di media sosial.

Terdapat data yang ditemukan oleh peneliti terkait fenomena peningkatan pernikahan dini pada anak-anak usia remaja yang secara nyata diketahui karena  calon  pengantin  putri telah hamil dahulu. Fenomena tersebut terjadi di Desa Ngunut, Tulungagung. 

Berdasarkan data yang dipaparkan oleh peneliti dalam jurnalnya terdapat keterangan yang dikeluarkan oleh KUA  Kecamatan Ngunut dalam tahun 2019 sampai 2020 terdapat 19 pasangan, lalu pada tahun 2020 Maret hingga  bulan  Februari  2021  terdapat  48 pasangan.  Maka  hal  ini  terjadi peningkatan lebih dari 100 persen. Dalam hal ini peneliti melihat faktor-faktor lain yang menjadi sebab fenomena tingginya pernikahan dini ini, yaitu akibat pergaulan, kurangnya pengawasan orang   tua, dan kurangnya interaksi dengan orang tua. 

Pergaulan tanpa kontrol yang baik dapat menjerumuskan anak pada penyimpangan sosial jenis pergaulan bebas. Hal tersebut dapat mengakibatkan terjadinya kehamilan pranikah. Oleh karena itu perlunya pengawasan dari orang  tua sebagai kontrol sosial untuk bisa memahami dan mengarahkan anak dalam pembentukan karakter yang ideal sesuai nilai dan norma dimasyarakat.

Dari fenomena tersebut dapat kita pahami bahwa perlunya peran pada agen-agen sosial dalam proses internalisasi pendidikan karakter ditujukan untuk sebagai tindakan preventif untuk mencegah perilaku remaja dari penyimpangan sosial. Ketidakberhasilan membentuk karakter peserta didik menurut Sjarkawi (2006) dalam bukunya Pembentukan Kepribadian Anak, disebabkan  karena adanya  moralitas  yang  rendah.  Nilai moralitas  yang  rendah  antara  lain   dapat disebabkan oleh  tidak efektifnya proses pendidikan karakter dalam satuan pendidikan yaitu sekolah. 

Hal ini juga dibahas lebih lanjut oleh analisis dari Priyono dan Maarif (2010) dalam bukunya yang berjudul Penyusunan Kurikulum Berbasis Pendidikan Karakter menyatakan bahwa berbagai fenomena negatif yang melanda peserta didik ini merupakan contoh konkret telah terjadi pergeseran nilai-nilai budaya dan sosial di kalangan pelajar sebagai tanda  tindakan  yang  menyimpang.  Diketahui berbagai problematik tersebut disebabkan oleh minimnya penanaman pendidikan karakter pada siswa.

Idealnya pendidikan karakter haruslah di tanamkan sejak dini yang dimulai pendidikan dasar sampai di pendidikan tinggi karena itu akan menjadi salah satu kunci penting untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia (Khaironi, 2017:21). Hingga kini proses penanaman  dan  penguatan  nilai-nilai  karakter  disekolah biasa dilakukan  melalui  proses pembelajaran yang dilakukan secara langsung (offline) diantaranya dengan melakukan proses pembiasaan  dan  tindakan  langsung.  Sementara penanaman  dan penguatan  karakter  melalui  pembelajaran  secara virtual atau langsung (online)  dianggap  sulit  dan  menjadi  tantangan tersendiri bagi  guru  dan lembaga pendidikan, termasuk lembaga pendidikan tinggi.

Kemendikbud RI juga memaparkan bahwa pendidikan karakter dapat diimplementasikan melalui proses yang berbasis kelas, berbasis budaya sekolah dan berbasis masyarakat. Berangkat dari pemikiran ini, model pembelajaran penguatan nilai-nilai karakter melalui pengalaman langsung dengan pembelajaran yang berbasis pengabdian perlu terus dikembangkan. 

Secara lebih lanjut (Fatiha & Nuwa, 2020) memaparkan bahwa terdapat tiga eleman yang menjadi penentuan keberhasilan pendidikan karakter yaitu kolaborasi dan interaksi guru, peserta didik dan orang tua. Dalam hal ini, guru dan orang tua sebagai role model yang perannya sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter, etika, moral serta membantu dalam membangun kekuatan spiritual keagamaannya saat pembelajaran dari 126 di masa pandemi seperti saat ini. 

Dengan demikian, guru tetap berkewajiban untuk menanamkan pendidikan moral kepada peserta didik di masa pembelajaran daring dan peran orang tua adalah sebagai kunci sukses terlaksananya pendidikan moral di kalangan peserta didik, hal tersebut karena orang tua lah yang bertemu secara langsung, memiliki andil untuk menasehati dan bisa memantau gerak-gerik anaknya selama masa pembelajaran daring

Tetapi dalam dunia pendidikan guru secara langsung juga menjadi role model bagi peserta didik saat di sekolah, oleh karena itu guru memiliki peran ganda. Disamping menanamkan nilai moral, guru juga harus bisa memberikan contoh dalam pembentukan moral peserta didik, sehingga moralitas peserta didik dapat berkembang menjadi kesadaran moral yang menumbuhkan sikap hati-hati dalam berperilaku. 

Sebagai pusat perhatian, guru dituntuk untuk bisa memberikan contoh teladan yang baik dan benar agar peserta didik dapat mencontoh dan menerapkan moral yang baik, serta dapat membedakan perilaku pantas dan tidak pantas berdasarkan norma yang berlaku di masyarakat. Hal ini sejalan dengan pemaparan (Amaruddin, Atmaja, & Khafid, 2020) bahwa sosialisasi dan pembiasaan lingkungan sekolah untuk menegakkan nilai-nilai akhlak dan moral yang benar melalui teladan dapat dijadikan sebagai salah satu upaya pembentukan karakter peserta didik di sekolah. 

Hendaknya setiap guru dan tenaga kependidikan yang ada di sekolah bisa menjadi contoh nyata bagi peserta didik. Pengamatan, pembimbingan, pengawasan, evaluasi dan tindak lanjut merupakan beberapa hal yang dapat dilakukan untuk memonitoring sejauh mana perkembangan dan penanaman nilai moral terhadap peserta didik.

Pada hakikatnya definisi  pendidikan  karakter  cukup  beragam,  beberapa  dapat  dikemukakkan  antara lain,   yaitu   pendidikan   karakter   didefinisikan   sebagai   kegiatan   berbasis   sekolah   yang membentuk  perilaku  siswa  secara  sistematis  (Lockwood  1997 dikutip  dalam  Arthur 2003). Pendidikan  karakter  adalah  upaya  yang  disengaja  untuk  mengembangkan  karakter  yang  baik berdasarkan  kebajikan  inti  yang  baik  untuk  individu dan  baik  untuk  masyarakat  (Thomas Lickona). 

Makna pendidikan  karakter adalah  sebuah proses pengembangan  nilai-nilai  yang  berasal  dari  pandangan  hidup  maupun  ideologi  bangsa, agama, budaya, dan nilai-nilai seperti yang dirumuskan dalam tujuan pendidikan nasional untuk disosialisasikan pada tiap-tiap individu. 

Oleh karena itu, pengembangan pendidikan karakter hanya dapat dilakukan melalui proses internalisasi dan sosialisasi dari pengembangan karakter individu seseorang. Secara fungsional pendidikan karakter di sekolah ditujukan untuk membentuk perilaku dan moral peserta didik secara ideal sesuai nilai dan norma yang berlaku di masarakat. Lebih lanjutnya sekolah sebagai agen sosialisasi kedua perlu menginternalisasikan hal hal berikut ini, yaitu :

  • Mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik,  dan  berperilaku  baik
  • Memperkuat  dan  membangun  perilaku  bangsa  yang  multikultur
  • Meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia. Pendidikan karakter dilakukan melalui berbagai media yang mencakup keluarga, satuan pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, tokoh agama, pemerintah, dunia usaha, dan media massa

DAFTAR PUSTAKA

Amirullah, M. A., Arifin, S., & Fajri, M. D. (2021). Implementasi Pendidikan Karakter Di Masa Pandemi Covid-19 Melalui Kuliah Kemuhammadiyahan Berbasis Pemberdayaan Keluarga Dhuafa. Muaddib: Studi Kependidikan dan Keislaman, 11(1), 20-39.

Mithhar, M., & Agustang, A. (2021). Distorsi Pendidikan Karakter Siswa Dalam Pendidikan Jarak Jauh Pada Era Pandemi Covid-19 Di Kabupaten Majene, Indonesia. In Seminar Nasional LP2M UNM.

Nikmah, J. (2021). Pernikahan Dini Akibat Hamil di Luar Nikah Pada Masa Pandemi: Studi Kasus Di Desa Ngunut. Sakina: Journal of Family Studies, 5(3).

Rasmuin, R., & Ilmi, S. (2021). Strategi implementasi pendidikan karakter di masa pandemi Covid-19: Studi kasus di MAN 2 Banyuwangi. Indonesian Journal of Islamic Education Studies (IJIES), 4(1), 17-36.

Siswanto, H. W. (2020). IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DI LEMBAGA PENDIDIKAN TENAGA KEPENDIDIKAN. Patra Widya: Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya., 21(1), 97-118.

Syafi'i, M. I. (2021). Analisis Permasalahan Pendidikan di Sekolah Dasar Pada Masa Pandemi Covid-19. Al-Rabwah, 15(02), 51-59.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun