"Ohya? Benarkah? Lalu kenapa kau datang sendiri? Mana kakakmu yang tak pernah membalas satupun pesanku?"
"Maksud kau, ini?"
Adi yang tubuhnya sudah seluruhnya basah itu mengeluarkan sebuat telephone genggam yang  taka asing untukku. Yaa! Itu handphone milik Dimas.
"Hey, kenapa itu bisa ada ditanganmu? Apa kau sengaja mencuri handphone nya agar ia tak bisa melihat pesanku? Iya??!"
"Bukan, bukan begitu Helena. Justru aku datang kesini karena isi pesanmu. 15 Hari yang lalu, Kak Dimas pamit ingin pergi ke halte ini untuk menemui temannya. Tapi, Tuhan hanya mengizinkannya sampai kedepan sana, tak sampai ditempat ini."
Penjelasan Adi sudah berhasil membuat otakku keram, aku tak faham sama sekali apa maksud penjelasannya barusan. Ia menunjuk salah satu pagar jalanan yang letakknya tak jauh dari kami.
"Tuhan? Tak mengizinkan? Maksudmu? Apa kau bisa mengetahui izin Tuhan hanya dari menunjuk pagar begitu? Hah."
"Kak Dimas tertabrak disana, di depan pagar itu sebelum ia sempat menyebrang. Dan aku baru membaca semua pesan mu dari handphonenya siang tadi."
Sekarang bukan otakku saja yang keram, tapi seluruh tubuhku ikut mengeram. Aku ingat, 15 hari lalu dua jam sebelum pulang dari kantor, aku mendengar simpang siur kabar kecelakaan dari teman-teman. Aku tak ambil penasaran, karena saat itu aku sedang riang-riangnya menanti yang berjanji akan membawa hidupku bahagia sampai mati, ya.. mati.
Kini percayalah.. Akan ada saatnya, ketika yang menemuimu dan mendapatkanmu juga siap untuk meninggalkanmu, entah dengan cara apa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H