Diluar sudah hampir malam, sore yang tak pernah terlihat kelam. Namun tugas di kantor tak kunjung selesai, fahamlah seharusnya apa yang kulakukan hingga kerjaanku usai. Aku suka melahap keriuhan sore, debu jalanan dan kegaduhan yang  membuatku semakin menikmati sore dengan melahapnya seperti makanan. Senyumku dikala sore agak sedikit berbeda dengan senyumku ketika pagi. Aku tak terlalu suka suasana pagi yang kebanyakan orang lain puji, aku lebih suka aroma sore yang gaduh hingga membuat dahiku makin berpeluh. Sore semakin riuh, sampai aku sendiri tak sadar banyak kuhabiskan waktu memandangi jalanan dari tepi jendela yang seharusnya kupakai tadi untuk menyudahi segala yang menghalangiku pulang.
Kurebahkan punggungku sedikit menepi di tembok Halte Bus Selatan, sesekali kurapihkan poniku hanya untuk menandakan bahwa aku masih setia untuk menunggu yang ingin membawaku bahagia. Namaku Halena, setia adalah prioritas utamaku dari segala diatas kesegalaanya. Aku selalu setia untuk tetap menunduk ketika yang lain mulai menatap, aku selalu setia untuk tetap berdiri ketika yang lain mulai duduk karena lelah, dan aku selalu setia untuk tetap bertahan ketika yang lain sudah mulai bosan.
Disela kesibukan jariku menjelajahi dunia, sms yang kutunggu-tunggu darinya tak juga menunjukkan kesan bahwa dia masih ada. Masih dalam reaksi yang sama, di waktu yang berbeda. Ketika mulai jenuh memikirkan apa yang seharusnya tidak kupikirkan, aku suka memetik bunga disamping pagar halte yang kelopak kecilnya terlihat sengaja menjulur untuk kupetik. Bagian favoritku adalah ketika harumnya terbawa kemanapun saat aku menggenggamnya. Wangi itu selalu sampai diruang rebahku, tak pernah sampai hilang. Dan jika wanginya sudah mulai hilang aku mulai mencari wanginya dari telapak tangan tempatku tadi menggenggam. Hemmh.. aku suka
Malam yang lelah, 15 Hari sudah aku menunggunya di tempat yang sempat ia janjikan. Wajar jika kubilang lelah, karena mungkin tak ada yang sanggup menunggu berdiri dalam high heels 15 centimeter dan kepastian yang.. entahlah.
"Kita bertemu di Halte Bus Selatan, setelah kamu pulang kerja ya. Love you"
Itu jadi pesan terakhir setelah aku benar-benar menunggunya, sent box handphone ku sudah terlampau penuh untuk memastikan dia akan membalas pesanku, ratusan panggilanku tak ada yang tersaut. Tapi inilah aku, yang tak pernah ingin tau artinya dari semangat yang surut.
Sore yang gelap. Tak ada keramaian seperti sore-sore kemarin yang kuingin, tak ada debu jalan yang biasa ku hirup, dan tak ada kelopak bunga melati yang senang kupetik. Hujan mengacaukan soreku, masih kutunggu ia di tempat yang sama. Entah seberapa erat ku genggam handphoneku untuk memastikan tak ada pesan yang terlewat, separuh tubuhku kini hampir basah. Suara hujan mengalahkan gemerutuk gigi-gigiku beradu, dan akan kutahan sampai waktu yang dulu ia tentukan.
"Permisi, apa benar kau yang bernama Helena itu?"
"Ya, saya. Kamu siapa?"
Riuh sorakan deretan hujan yang tak mau kalah dengan teguran pemuda itu tak menyulutkan dahiku untuk semakin berkerut.
"Saya, Adi. Adik dari Dimas.."
"Ohya? Benarkah? Lalu kenapa kau datang sendiri? Mana kakakmu yang tak pernah membalas satupun pesanku?"
"Maksud kau, ini?"
Adi yang tubuhnya sudah seluruhnya basah itu mengeluarkan sebuat telephone genggam yang  taka asing untukku. Yaa! Itu handphone milik Dimas.
"Hey, kenapa itu bisa ada ditanganmu? Apa kau sengaja mencuri handphone nya agar ia tak bisa melihat pesanku? Iya??!"
"Bukan, bukan begitu Helena. Justru aku datang kesini karena isi pesanmu. 15 Hari yang lalu, Kak Dimas pamit ingin pergi ke halte ini untuk menemui temannya. Tapi, Tuhan hanya mengizinkannya sampai kedepan sana, tak sampai ditempat ini."
Penjelasan Adi sudah berhasil membuat otakku keram, aku tak faham sama sekali apa maksud penjelasannya barusan. Ia menunjuk salah satu pagar jalanan yang letakknya tak jauh dari kami.
"Tuhan? Tak mengizinkan? Maksudmu? Apa kau bisa mengetahui izin Tuhan hanya dari menunjuk pagar begitu? Hah."
"Kak Dimas tertabrak disana, di depan pagar itu sebelum ia sempat menyebrang. Dan aku baru membaca semua pesan mu dari handphonenya siang tadi."
Sekarang bukan otakku saja yang keram, tapi seluruh tubuhku ikut mengeram. Aku ingat, 15 hari lalu dua jam sebelum pulang dari kantor, aku mendengar simpang siur kabar kecelakaan dari teman-teman. Aku tak ambil penasaran, karena saat itu aku sedang riang-riangnya menanti yang berjanji akan membawa hidupku bahagia sampai mati, ya.. mati.
Kini percayalah.. Akan ada saatnya, ketika yang menemuimu dan mendapatkanmu juga siap untuk meninggalkanmu, entah dengan cara apa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H