“Traditional Conditioning = More is Better; Football Conditioning = Less is More!!”
Sejak Dr. Raymond Verheijen meluncurkan konsep Football Conditioning pada era 2000an, ia mengajukan suatu konsep latihan fisik alternatif untuk sepakbola. Football Conditionining merupakan konsep latihan fisik yang betul-betul berangkat dari permainan sepakbola itu sendiri. Traditional conditioning dianggap Verheijen sebagai metode peningkatan fisik jangka pendek, dimana tim dipersiapkan untuk bugar di awal musim. Sedangkan Football Conditioning diklaimnya sebagai metode peningkatan fisik jangka panjang yang mempersiapkan pemain untuk semakin bugar di perjalanan musim kompetisi. Metode traditional conditioning dengan orientasi jangka pendek juga dianggapnya sebagai biang keladi terjadinya cedera.
Konsep traditional conditioning menurut Verheijen menggunakan periodisasi yang tidak spesifik sepakbola. Periode pre season selalu terbagi menjadi dua fase, yakni fase peningkatan fisik dan fase peningkatan teknik-taktik. Selain itu periodiasi traditional conditioning juga selalu diawali dengan latihan volume tinggi, intensitas rendah yang terkadang bentuk latihannya keluar dari konteks sepakbola. Football Conditioning tampil dengan wajah berbeda, dimana siklus periodisasi 6 minggu selalu diisi dengan sepakbola. Berangkat dari ide bahwa sepakbola bukanlah olahraga endurance (volume), tetapi sepakbola ialah olahraga intermittent (intensitas) , Verheijen mengedepankan intensitas latihan dulu baru pada peningkatan volume.
Elemen Fisik Sepakbola
Wujud alternatif Football Conditioning juga diimplementasikan ketika Verheijen menciptakan istilah yang lebih sepakbola. Elemen fisik umum yang terdiri dari Endurance, Strength, Speed, Coordination dan Flexibility tidak lagi dikenal di fisik sepakbola. Verheijen dengan cerdas memecah elemen fisik sepakbola menjadi 4 elemen. Pertama, gerak sepakbola eksplosif maksimal. Kedua, cepat pulih pasca gerak sepakbola eksplosif maksimal. Ketiga, konsistensi gerak sepakbola eksplosif maksimal selama 90 menit dan terakhir, konsistensi cepat pulih pasca gerak sepakbola maksimal selama 90 menit. Kecerdasan Verheijen makin tampak saat ia menyederhanakan elemen fisik sepakbola ke dalam simbolisasi berikut:
1. Gerak sepakbola eksplosif maksimal.
X
2. Cepat pulih pasca gerak sepakbola eksplosif maksimal.
X--
3. Konsistenasi gerak sepakbola eksplosif maksimal selama 90 menit.
X- - - X - - - X- - - X - - - X- - - X - - - X
4. Konsistenasi cepat pulih pasca gerak sepakbola eksplosif maksimal selama 90 menit.
X - - X - - X- - X - - X- - X - - X
Untuk melatih keempat elemen fisik tersebut, Verheijen menggunakan sepakbola. Untuk elemen gerak sepakbola eksplosif maksimal, ia menggunakan football sprint dengan interval istirahat lama. Sedang untuk elemen konsistensi gerak sepakbola eksplosif maksimal selama 90 menit, ia memakai football sprint dengan interval istirahat singkat. Verheijen menolak isolated training dengan lari kosong tanpa bola. Menurutnya dalam isolated running exercise, karakteristik gerak eksplosifnya berbeda. Tanpa bola, pemain akan berlari dengan arah menentu, sedangkan dengan bola akan mengikuti arah bola. Penggunaan reaksi juga menjadi berbeda, karena pemain bereaksi akibat peluit atau tepukan. Terakhir, dalam isolated running, pemain berlari di jalurnya masing-masing, tanpa benturan. Padahal karakteristik lari sepakbola menuntut benturan.
Latihan permainan menjadi andalan Verheijen saat melatih elemen fisik cepat pulih pasca gerak sepakbola eksplosif dan konsistensi cepat pulih selama 90 menit. Latihan large sided games dan medium sided games akan meningkatkan konsistensi cepat pulih pemain selama 90 menit. Sedangkan small sided game terbukti akan mengangkat kecepatan pulih pasca gerak sepakbola eksplosif maksimal.
Periodisasi Fisik Sepakbola
Periodisasi Football Conditioning dilakukan dengan siklus 6 minggu. Dimana dalam 6 minggu dibagi menjadi 3 fase. Di dua minggu awal, pemain melakukan Large Sided Games. Dua minggu pertengahan tim berlatih football sprint istirahat sedikit dan medium sided games. Sedang di dua minggu terakhir, tim berlatih football sprint banyak istirahat sebelum bermain small sided games. Siklus berulang, dengan tim kembali berlatih large sided games. Pengulangan berlangsung terus sepanjang musim.
Football Conditioning menuntut pelaksanaan periodisasi yang ketat. Verheijen menolak latihan dua kali per hari. Kemudian, konsepnya menghendaki latihan hanya 4x per minggu, dengan 1x latihan fisik per minggu. Verheijen percaya bahwa lebih baik berlatih 4 kali latihan per minggu dengan intensitas 100% ketimbang latihan 6x per minggu dengan intensitas 80%. Verheijen juga menyukai latihan hanya berdurasi 75-90 menit saja. Intensitas yang selalu dikedepankannya didasari dari karakterisitik cabang olaharaga sepakbola. Konsep ini juga digunakan demi menjaga timnya bebas dari cedera.
Hal lain yang menarik dari konsep Football Conditioning ialah Verheijen menolak static stretching. Menurutnya gerakan sepakbola menuntut eksplosifitas, dimana didalamnya banyak terjadi kontraksi pliometris. Konsekuensinya, static stretching dianggap tidak relevan untuk cabang sepakbola, karena secara berkala akan menurunkan eksplosifitas pemain. Peregangan statis juga dianggapnya membuang waktu latihan. Lama pelaksanaanya dirasa mencuri waktu pemain berlatih dengan bola. Verheijen juga menolak latihan beban (weight training). Metode ini hanya relevan untuk pencegahan dan rehabilitasi cedera.
Luc Castaignos
Bentuk implementasi football conditioning bisa banyak dipelajari dari kasus Luc Castaignos. Pemain muda Feyenoord berusia 19 tahun ini merupakan bintang baru Belanda. Tercatat Inter Milan dan beberapa klub tenar Eropa berusaha merekrutnya. Kehebatan Luc Castaignos sekarang bukannya akibat sulap, tetapi lewat proses panjang, sistematis dengan menggunakan konsep football conditioning secara disiplin.
Luc ditemukan oleh talent scouter Feyenoord saat ia berusia 15 tahun. Di klub amatir tempat ia berasal hanya berlatih 2x per minggu. Sedangkan tim barunya Feyenoord U16 selalu berlatih 4x per minggu. Artinya Luc harus beradaptasi dengan level sepakbola Feyenoord yang lebih tinggi (intensitas), juga dengan frekuensi latihan yang lebih banyak (volume). Keputusan coaching staff Feyenoord amat mengejutkan, Luc hanya diijinkan berlatih 2x/minggu selama pre season 6 minggu. Tujuannya agar Luc bisa beradaptasi dengan level sepakbola (intensitas) yang lebih tinggi di tim barunya. Frekeunsi latihan Luc baru ditambah menjadi 3x per minggu di bulan September dan 4x per minggu di bulan November. Sebuah keputusan brilian yang membuat Luc sebagai bintang baru Feyenoord U16.
Di bulan Januari, pelatih tim Feyenoord U17 meminta Luc bergabung. Artinya ketika itu, Luc kembali harus beradaptasi dengan level sepakbola (intensitas) yang lebih tinggi. Untuk itu coaching staff Feyenoord dengan cerdas kembali menurunkan frekuensi latihan menjadi 3x per minggu. Baru di bulan Maret, Luc Castaignos berlatih penuh 4x per minggu. Saat musim panas, Luc Berjaya dengan timnas Belanda U19 dengan menjadi topskor Euro U19 2009 dengan 9 gol.
Awalnya, Luc menolak pendekatan coaching staff Feyenoord. Menurut Luc, dirinya akan makin sulit mengejar ketertinggalan dari rekan-rekannya apabila ia tidak berlatih dengan porsi yang sama. Pernyataan Luc adalah pemikiran sebagian besar pelatih sepakbola di dunia. Inilah yang mengakibatkan banyak bakat muda di Eropa layu sebelum berkembang. Persoalannya pelatih tidak memperhitungkan rekam jejak individu pemain. Ego dan kepentingan pelatih seringkali lebih dikedepankan ketimbang periodisasi individu.
Vikry Pristian ,
Football Fans ,
(Follow on Twitter: @VikryPristian)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H