Hari demi hari berlalu, dan Jaenal kembali mendatangi rumah Yandi, namun jawaban yang ia terima selalu sama "Besok." Tiga minggu telah berlalu, dan Siti semakin memburuk kondisinya. Jaenal merasa semakin putus asa.
Pada suatu hari setelah datang ke rumah Yandi dan mendapat jawaban yang sama, Jaenal merasa marah.
"Tuan Hakim, saya sudah datang berkali-kali, dan janji Anda tidak pernah ditepati. Istri saya semakin sakit, dan saya tidak tahu lagi harus berbuat apa!" .
Ujar Jaenal dengan suara yang gemetar, namun penuh ketegasan.
Yandi hanya mengangkat bahu, tidak peduli.
"Sudahlah, jangan mengganggu aku lagi. Aku sedang sibuk."
Jawab Yandi dengan nada sinis.
Dengan hati yang hancur, Jaenal berbalik dan berjalan keluar dari rumah Yandi, ia merasa dikhianati, janji-janji yang diberikan tidak pernah direalisasikan. Langkahnya terasa berat, dan ia hanya bisa berdoa kepada Allah, memohon agar diberikan jalan.
    Saat berjalan menuju rumahnya, Jaenal merasa putus asa. Ia duduk di pinggir jalan, meratapi nasib. Tiba-tiba, seorang pria menghampirinya. Pria itu tersenyum ramah mengulurkan tangan.
"Jaenal, saya dengar tentang istri Anda. Nama saya Yudis, saya ingin membantu."
Jaenal menatap pria itu dengan heran. "Tuan Yudis? Anda benar-benar ingin membantu saya?" tanyanya, sedikit terkejut.