Di sudut kota yang sibuk, Jaenal duduk di bawah pohon besar, memandangi orang-orang yang berjalan cepat melewatinya. Ia mengulurkan tangan, berharap ada yang memberinya sedikit rezeki. Di balik tubuh ringkihnya, ia menyimpan harapan besar. Istrinya, Siti, jatuh sakit dan memerlukan biaya pengobatan yang tak sedikit. Namun, sebagai seorang pengemis, Jaenal tahu bahwa ia tak mampu menyediakan uang sebanyak itu.
   Setiap hari, Jaenal berdoa agar ada seseorang yang peduli dan membantu, suatu hari, ia teringat akan Yandi, seorang hakim yang kaya raya dan sangat terkenal di kota.
"Jika ada orang yang mampu membantu, pasti dia," pikir Jaenal.
Dengan tekad, ia berjalan menuju rumah Yandi, berharap bisa mendapatkan bantuan.
   Sesampainya di rumah mewah itu, Jaenal merasa gugup, tetapi ia tetap memberanikan diri untuk mengetuk pintu. Seorang pelayan membuka pintu dan mempersilahkan Jaenal masuk ke ruang tamu. Tak lama kemudian, Yandi muncul, tampak angkuh dengan pakaian formalnya.
"Ada apa, Jaenal?" tanya Yandi dengan nada yang kurang ramah.
Jaenal menunduk, menyampaikan permintaannya dengan hati-hati.
"Tuan Hakim, istri saya sakit parah, dan kami tidak cukup uang untuk biaya pengobatan. Saya memohon, Tuan bisa memberikan sedikit bantuan."
Yandi mengerutkan kening, lalu berkata dengan nada dingin.
"Aku tidak punya banyak waktu untuk hal-hal seperti ini. Tapi, baiklah, datanglah besok. Aku akan pikirkan itu."
Jaenal mengangguk dan meninggalkan rumah Yandi dengan penuh harapan, meskipun ada sedikit keraguan di hati.