Judul: Negeri 5 Menara
Penulis: Ahmad Fuadi
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: Cetakan pertama, Juli 2009
Cetakan kedua puluh tiga, September 2013
Cetakan kedua puluh empat, Maret 2016
Cetakan kedua puluh lima, September 2016
Tebal: 423 Halaman
ISBN: 978-979-22-4861-6
Kisah Persabatan 5 Sahibul Menara
Ahmad Fuadi lahir di Bayur, kampung kecil di pinggir Danau Maninjau tahun 1972, tidak jauh dari kampung ulama sastrawan Buya Hamka. Fuadi merantau ke Jawa, mematuhi permintaan ibunya untuk masuk ke sekolah agama. Di Pondok Modern Gontor dia bertemu para kiai dan guru yang meingspirasinya lahir dan batin. Di pesantren ini dia bertemu dengan “miniatur dunia”, karena ribuan santrinya dating dari Sabang sampai Merauke, bahkan dari manca negara. Di Gontor pula dia diajarkan jata Mutiara sederhana yang sangat kuat, man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses. Man jadda wajada lalu menjadi motto di novel pertamanya.
Lulus kuliah Hubungan Internasional, UNPAD, dia menjadi wartawan Majalah Tempo. Kelas jurnalistik pertamanya dijalani dalam tugas-tugas reportase di bawah bimibingan para wartawan senior Tempo. Tahun 1999, dia mendapat beasiswa Fulbright untuk kuliah S-2 di School of Media and Public Affairs, George Washington University, USA. Merantau ke Washington DC Bersama Yayi, istrinya-yang juga wartawan Tempo-adalah mimpi masa kecilnya yang menjadi kenyataan. Sambal kuliah, mereka menjadi koresponden TEMPO dan wartawan Voice of America (VOA). Berita bersejarah seperti tragedy 11 September dilaporkan mereka berdua langsung dari Pentagon, White House dan Capitol Hill.
Penyuka fotografi ini pernah menjadi Direktur Komunikasi The Nature Conservancy, sebuah NGO konservasi internasional. Kini, Fuadi sibuk menulis, menjadi public speaker, serta mengasuh Yayasan social untuk membantu Pendidikan anak usia dini yang kurang mampu-Komunitas Menara.
Novel pertamanya, Negeri 5 Menara terbit pada tahun 2009 dan disambut pasar dengan baik. Dalam waktu singkat dicetak ratusan ribu eksemplar dan langsung menjadi national bestseller selama beberapa tahun. Novel ini bercerita tentang kehidupan masa lalunya ketika sesudah lulus MTSn-sejenjang dengan SMP- hingga ketika dia reuni kecil-kecilan dengan teman-temannya di dekat Trafalgar Square. Ia berhasil membuat kita merasakan suasana kehidupan di dalam pesantren. Ia juga berhasil membuat kita tertawa ketika Alif dan kawan sahibul Menara kedatangan tamu wanita yang cantik, yakni anak dari Ustad Khalid. Setting novel ini membuat kita dapat merasakan alur perjalanan para sahibul Menara berjuang menghadapi kondisi-kondisi sulit, muali dari aturan, senior, uang, hingga keinginan untuk pulang.
Alif lahir di pinggir Danau Maninjau dan tidak pernah menginjak tanah di luar ranah Minangkabau. Masa kecilnya adalah berburu durian runtuh di rimba Bukit Barisan, bermain sepak bola di sawah berlumpur dan tentu mandi berkecipak di air biru Danau Maninjau.
Tiba-tiba saja dia harus naik bus tiga hari tiga malam melintasi punggung Sumatera dan Jawa menuju sebuah desa di pelosok Jawa Timur. Ibunya ingin dia menjadi Buya Hamkawalau Alif ingin menjadi Habibie. Dengan setengah hati dia mengikuti perintah Ibunya, belajar di pondok.
Di kelas hari pertamanya di Pondok Madani (PM), Alif terkesima dengan “mantera” sakti man jadda wajada. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses.
Dia terheran-heran mendengar komentator sepak bola berbahasa Arab, anak mengigau dalam bahasa Inggris, merinding mendengar ribuan orang melagukan Syair Abu Nawasdan terkesan melihat pondoknya setiap pagi seperti melayang di udara.
Dipersatukan oleh hukuman jewer berantai, Alif berteman dekat dengan Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung dan Baso dari Gowa. Di bawah menara masjid yang menjulang, mereka berenam kerap menunggu maghrib sambil menatap awan lembayung yang berarak pulang ke ufuk. Di mata belia mereka, awan-awan itu menjelma menjadi negara dan benua impian masing-masing. Kemana impian jiwa muda ini membawa mereka? Mereka tidak tahu. Yang mereka tahu adalah: Jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apa pun. Tuhan sungguh Maha Mendengar.
Keunggulan pada karya ini cukup bayak. Suasana yang digambarkan novel ini membuat pembaca merasakan berada di lingkungan Pondok Madani. Karya ini membuat pembaca seolah masuk ke dalam cerita. Karya ini juga mengambil sudut pandang yang sederhana yakni persahabatan sehingga pembaca bias mengambil kesimpulan bahwa persahabatan sejati dapat mengatasi atau menanggung masalah kita secara Bersama serta tumbuh Bersama karenanya.
Kelemahan pada karya ini adalah klimaks kurang menonjol sehingga setelah selesai membaca, pembaca merasa belum selesai setuntas-tuntasnya.
Tema yang terdapat dalam novel ini adalah Pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari latar tempat dan suasana yakni di pesantren dimana kegiatan sang tokoh berlangsung.
Alur dalam novel ini adalah alur campuran. Ceritanya adalah ingatan ketika masa lalu sang tokoh dan membuahkan hasil pada masa kini. Hal ini dapat terbukti dengan kutipan “Washington DC, Desember 2003, pukul 16.00” (Negeri 5 Menara, h.1). dan “aku tersenyum dan pikaranku langsung terbangun jauh ke masa lalu. Masa yang sangat kuat terpatri dalam hatiku” (Negeri 5 Menara, h.4).
Dalam novel ini, sahibul Menara merupakan komponen penting karena mereka merupakan tokoh utama. Alif memiliki watak penurut dan patuh. Hal ini terdapat dalam kutipan “selama ini aku anak penurut” (Negeri 5 Menara, h.10). Baso, sebagai salah satu sahibul Menara memiliki sifat yang agamis. Hal ini terbukti dengan “saya ingin mendalami agam islam dan menjadi penghafal Al-Qur’an” (Negeri 5 Menara, h.46). Raja Lubis, salah satu sahibul menara memiliki sifat rajin. Dapat terlihat pada kutipan “hobi utamanya membaca buku,…” (Negeri 5 Menara, h.45). Kawan lain di sahibul Menara, yakni Dulmajid memiliki sifat mandiri. Terbukti dengan “tentu saya akan dating sendiri” (Negeri 5 Menara, h.27). Said Jufri, anak keturunan Arab itu memiliki pemikiran yang dewasa. Ini terbukti dengan “dia yang paling dewasa di antara kami” (Negeri 5 Menara, h.45). Anak yang bernama Atang, memiliki watak humoris dengan bukti “ sesuai janji, Atang yang membayari ongkos” (Negeri 5 Menara, h.221).
Latar dalam cerita ini cukup banyak dan beragam. Latar tempatnya berlokasi di Pondok Madani. Terbukti dengan kutipan “hari ini aku sampai di PM dengan perasaan bimbang” (Negeri 5 Menara, h.37). Latar waktunya juga beragam. Dapat dibuktikan dengan “malam itu aku tidur bersesak-sesakkan di lantai beralaskan karpet, …” (Negeri 5 Menara, h.37), “sudah jam 4 sore dan kami punya waktu 1 jam untuk kembali ke meja Ustad Torik” (Negeri 5 Menara, h.130), dan “esok paginya, PM diselimuti kabut” (Negeri 5 Menara, h.398).
Dalam novel ini si penulis merupakan orang pertama dan ketiga karena menggunakan kata “aku” dan terkadang menceritakan orang lain. Ini terbukti dengan kutipan “aku tegak di atas panggung aula madrasah negeri setingkat SMP” (Negeri 5 Menara, h.5) dan “dia mantan anak nakal yang aneh” (Negeri 5 Menara, h.45).
Novel ini sangat menginspirasi karena berpesan kepada kita bahwa kita harus bersungguh-sungguh dan bekerja keras untuk meraih apa yang kita impikan. Tetapi ingatlah selalu ada peran orangtua di bali kesuksesan tersebut. Jadi, kita juga harus menghormati, menyayangi, dan berbakti kepada orangtua. Janganlah kita meremehkan impian siapapun termasuk impian kita sendiri karena Tuhan Maha Mendengar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H