Ahmad Fuadi lahir di Bayur, kampung kecil di pinggir Danau Maninjau tahun 1972, tidak jauh dari kampung ulama sastrawan Buya Hamka. Fuadi merantau ke Jawa, mematuhi permintaan ibunya untuk masuk ke sekolah agama. Di Pondok Modern Gontor dia bertemu para kiai dan guru yang meingspirasinya lahir dan batin. Di pesantren ini dia bertemu dengan “miniatur dunia”, karena ribuan santrinya dating dari Sabang sampai Merauke, bahkan dari manca negara. Di Gontor pula dia diajarkan jata Mutiara sederhana yang sangat kuat, man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses. Man jadda wajada lalu menjadi motto di novel pertamanya.
Lulus kuliah Hubungan Internasional, UNPAD, dia menjadi wartawan Majalah Tempo. Kelas jurnalistik pertamanya dijalani dalam tugas-tugas reportase di bawah bimibingan para wartawan senior Tempo. Tahun 1999, dia mendapat beasiswa Fulbright untuk kuliah S-2 di School of Media and Public Affairs, George Washington University, USA. Merantau ke Washington DC Bersama Yayi, istrinya-yang juga wartawan Tempo-adalah mimpi masa kecilnya yang menjadi kenyataan. Sambal kuliah, mereka menjadi koresponden TEMPO dan wartawan Voice of America (VOA). Berita bersejarah seperti tragedy 11 September dilaporkan mereka berdua langsung dari Pentagon, White House dan Capitol Hill.
Penyuka fotografi ini pernah menjadi Direktur Komunikasi The Nature Conservancy, sebuah NGO konservasi internasional. Kini, Fuadi sibuk menulis, menjadi public speaker, serta mengasuh Yayasan social untuk membantu Pendidikan anak usia dini yang kurang mampu-Komunitas Menara.
Novel pertamanya, Negeri 5 Menara terbit pada tahun 2009 dan disambut pasar dengan baik. Dalam waktu singkat dicetak ratusan ribu eksemplar dan langsung menjadi national bestseller selama beberapa tahun. Novel ini bercerita tentang kehidupan masa lalunya ketika sesudah lulus MTSn-sejenjang dengan SMP- hingga ketika dia reuni kecil-kecilan dengan teman-temannya di dekat Trafalgar Square. Ia berhasil membuat kita merasakan suasana kehidupan di dalam pesantren. Ia juga berhasil membuat kita tertawa ketika Alif dan kawan sahibul Menara kedatangan tamu wanita yang cantik, yakni anak dari Ustad Khalid. Setting novel ini membuat kita dapat merasakan alur perjalanan para sahibul Menara berjuang menghadapi kondisi-kondisi sulit, muali dari aturan, senior, uang, hingga keinginan untuk pulang.
Alif lahir di pinggir Danau Maninjau dan tidak pernah menginjak tanah di luar ranah Minangkabau. Masa kecilnya adalah berburu durian runtuh di rimba Bukit Barisan, bermain sepak bola di sawah berlumpur dan tentu mandi berkecipak di air biru Danau Maninjau.
Tiba-tiba saja dia harus naik bus tiga hari tiga malam melintasi punggung Sumatera dan Jawa menuju sebuah desa di pelosok Jawa Timur. Ibunya ingin dia menjadi Buya Hamkawalau Alif ingin menjadi Habibie. Dengan setengah hati dia mengikuti perintah Ibunya, belajar di pondok.
Di kelas hari pertamanya di Pondok Madani (PM), Alif terkesima dengan “mantera” sakti man jadda wajada. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses.
Dia terheran-heran mendengar komentator sepak bola berbahasa Arab, anak mengigau dalam bahasa Inggris, merinding mendengar ribuan orang melagukan Syair Abu Nawasdan terkesan melihat pondoknya setiap pagi seperti melayang di udara.
Dipersatukan oleh hukuman jewer berantai, Alif berteman dekat dengan Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung dan Baso dari Gowa. Di bawah menara masjid yang menjulang, mereka berenam kerap menunggu maghrib sambil menatap awan lembayung yang berarak pulang ke ufuk. Di mata belia mereka, awan-awan itu menjelma menjadi negara dan benua impian masing-masing. Kemana impian jiwa muda ini membawa mereka? Mereka tidak tahu. Yang mereka tahu adalah: Jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apa pun. Tuhan sungguh Maha Mendengar.
Keunggulan pada karya ini cukup bayak. Suasana yang digambarkan novel ini membuat pembaca merasakan berada di lingkungan Pondok Madani. Karya ini membuat pembaca seolah masuk ke dalam cerita. Karya ini juga mengambil sudut pandang yang sederhana yakni persahabatan sehingga pembaca bias mengambil kesimpulan bahwa persahabatan sejati dapat mengatasi atau menanggung masalah kita secara Bersama serta tumbuh Bersama karenanya.
Kelemahan pada karya ini adalah klimaks kurang menonjol sehingga setelah selesai membaca, pembaca merasa belum selesai setuntas-tuntasnya.