Mohon tunggu...
sastrabiru
sastrabiru Mohon Tunggu... GURU -

Pak Guru. kurang piknik, kelebihan ngopi.~

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[Cerpen] Menanam Kurma di Kebun Kopi

12 November 2016   13:23 Diperbarui: 15 November 2016   10:03 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Atau tega-nian kau melihat si Muna saban hari ke lepau Om Akal untuk membeli kopi saset mengandung bahan kimia yang tak sehat di konsumsi bayinya?

Atau kau ingin melihat si Jarkun lebih lama di rumah sakit jiwa akibat gilanya kambuh lagi karena kopinya diganti dengan kopi hitam buatan koh-koh Tionghoa yang rasanya lebih mirip cuka itu?

Yang Ama' sebutkan di atas itu, cuma perwakilannya saja Ziq. Kebun kopi dan manusia-manusia di kampung ini, sudah... sudah... apa itu istilahnya... hmmm... sudah seperti saling menghidupi begitu. Maksudnya, kopi kita ini masih setia berbuah karena masih ngingat orang kampung, pun begitu sebaliknya. Kira-kira begitulah..."

"Hmmm... terserah Ama' lah...." jawab Rhozieq, kecewa. Ia mendengus, dan kabut ego di kepalanya perlahan hilang tersingkir setelah meresapi wejangan Ama'nya barusan. Ia tersenyum kemudian, hanya sedikit.

"Jadi maksud Ama' begini, ada beberapa hal yang memang ndak perlu dipaksakan, karena sudah diatur Yang Maha Kuasa begitu adanya. Sama halnya dengan kopi dan kurma barusan. Bukankah memaksa menanam kurma dan membabat pohon-pohon kopi tak berdosa itu hanya atas nama fulus, adalah setara pelecehan terhadap kedua tetumbuhan itu? Dosa loh Zhiq, betul ini.

Biarlah kurma itu jadi tumbuhan khas Arab saja, yang selalu dirindukan orang-orang di Negeri kita ini dikala bulan puasa tiba, Zhiq. Istimewanya kurma, disitu kan? Sama kayak bagaiama sumringahnya Ina' mu ketika kamu bawakan ole-ole buah kurma dari Arab kemarin. Atau seperti yang sering kau bilang di telepon dulu, kalo teman-temanmu di Arab, akan lebih memilih ole-ole kopi dari kebun kita daripada seandainya disuruh memilih tiket gratis melihat monas di Jakarta.

Nah bagaimana kalau kita jadi buta hati dan fikir cuma karena duit? Jelas kurma ndak akan lagi jadi buah-buahan yang sakral kayak dalam cerita-cerita Nabi. Apalagi kebun kopi kita, pasti tinggal jadi dongeng yang menyedihkan, Zhiq."

"Hmmm... iya Mak, sudah sudah sudah, ngerti saya." Balas Rhozieq, legowo.

Dari luar bait yang kian temaram, suara bedug mulai terdengar, dan tak lama kemudian sayup kumandang adzan Imam Sabar memanggil dari corong megafon langgar yang kian berkarat. Sementara orang-orang dukuh sedang malas dibawah hujan dan dingin. Hanya segerombolah bocah-bocah yang tampak berlari menerobos gerimis dengan sajadah yang terkatup di kepala. Mereka berlomba paling cepat diantara seruan ikomah, menuju Langgar untuk menemani Imam Sabar berdiri melantunkan ayat-ayat Tuhan disamping mimbar.

"Ayo sholat dulu." Seru Ama' Rum.

"Iya, asalkan sehabis Maghrib, giliran Ama' yang ngasih kursus tentang cara berkebun kopi yang baik ya...", Balas Rhozieq, tersenyum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun