Di sebuah Dukuh, di bawah awan biru yang berkejaran dengan gumpalan awan hitam, di sebuah bait beratap rumbia. Tepat di ruang tengah, saat itu petang hampir mendung di atas langit kebun kopi Ama' Oyang.
***
"Apa yang membuat kau jadi kurang sehat pikiran begini, Zhiq. Hingga segila anjing mau menanam kurma di kebun kopi kita?"
Ketus Ama' Oyang dalam Mongondow kepada anak sulungnya yang baru selesai studi di Saudi Arabia, Rhoziq.
"Ama' dan Ina' mu ini, sekalipun tidak mencicipi sekolah, manalah mungkin menuruti ithikad kurang sehat mu ini nak, hmmmmm..."
Lanjut Ama' Oyang,
"Kebun kopi kita ini, bukan cuman soal perkara rupiah nak, bukan juga soal panen, sekalipun Ama' dan Ina' ndak bisa berdusta kalau beberapa rupiah yang dikirim untuk ongkos kuliah mu di Arab itu, sebagian hasil kebun kopi ini, juga sebagian dari bantuan sedikit-sedikit kedua kakak mu. Tentu dari upah mereka sebagai buruh bangunan. Sekalipun mungkin ndak sebesar bantuan beasiswa dari kerajaan Saudi."
"Lantas selebihnya tentang apa Ma'?", Sela Rhozieq dengan posisi wajah tunduk menghadap layar gawai di telapak tinjunya.
"Kau tahu, kopi di Dukuh kita ini, bukan sebatas minuman penyambut matahari, atau sekedar pendamping untuk dua biji panada milik Ina' Udin. Di Dukuh ini, mungkin juga di Negeri kita ini, kopi adalah peradaban. lebih-lebih bisa di bilang sebuah keajaiban dunia."
Ruang tengah dengan dinding cempaka itu hening.
Ama' Oyang gagu seketika. Tatapan kosongnya menembus jendela, jatuh di hamparan kebun kopi yang menghijau pekat di atas tanah gembur yang tak pernah memberikan kesempatan kepada rerumputan liar untuk hidup dan menjadi rimbun.