Mohon tunggu...
Viandra Fendhi Gunawan
Viandra Fendhi Gunawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Belajar menuntut ilmu

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesia Pengarang: Oemarsalim, S.H

14 Maret 2023   08:35 Diperbarui: 14 Maret 2023   08:56 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

A.Identitas Buku

Judul Buku: Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia

Pengarang: Oemarsalim

Penerbit: PT Rineka Cipta Jakarta

Kota Terbit: Jakarta

Tahun Terbit: 2012

Tebal Buku: 198 halaman+X

B.Isi Buku

1.KARAKTERISTIK DARIPADA WARISAN

Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH memberikan batasan-batasan mengenai warisan, antara lain :

a.Seorang yang meninggalkan warisan (Erflater) pada saat orang tersebut meninggal dunia.

b.Seorang atau beberapa orang ahli waris (Erfenaam), yang mempunyai hak menerima kekayaan yang ditinggalkannya itu.

c.Harta warisan (nalaten schap), yaitu ujud kekayaan yang ditinggalkan dan selalu beralih kepada para ahli waris tersebut.

Di antara ke tiga pandangan dari Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH saling menimbulkan permasalahan sendiri-sendiri.

1. Bagaimana dan sainpai di mana hubungan seorang yang meninggalkan warisan dengansegala kekayaannya dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan, di mana orang yang meninggalkan warisan itu bertempat tinggal.

2. Bagaimana dan sampai di mana harus ada hubungan ke- keluargaan antara yang meninggalkan warisan dengan ahli warisnya, agar kekayaan orang yang meninggalkan warisan dapat berpindah kepada ahli warisnya.

3. Bagaimana dan sampai di mana ujud kekayaan yang berpindah itu, dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan di mana orang yang meninggalkan warisan serta ahli warisnya bertempat tinggal.

2.MASALAH PEMBAGIAN HARTA WARISAN YANG DIPEGANG TEGUH BENTUK KESELURUHANNYA

Hukum Warisan merupakan masalah yang sangat penting, maka Prof. Dr. R. Wijono Prodjodikoro, SH menjelaskan mengenai masalah Hukum Warisan. Bahkan me- nurut Mayers sendiri mengatakan bahwa tidak ada hukum warisan dalam arti yang sebenarnya, jika harta warisan dapat atau tidak dipisahkan. Dalam menyinggung pasal 1066 BW, yang dapat disebutkan sebagai sesuatu "sokoguru" atau sendi pokok dari hukum waris menurut hukum Buregerlijk Wetboek pada pasal 1066 menjelaskan

(1) Dalam masalah seorang mempunyai hak atas sebagian dari sekumpulan Harta-Benda, seorang itu dipaksakan membiarkan Harta Benda itu dibagi-bagikan di antara orang yang

bersama-sama berhak atasnya

(2) Pembagian Harta Benda ini selalu dapat dituntut, meskipun ada suatu perjanjian yang oerten tangan dengan itu.

(3) Dapat diperjanjikan, bahwa pembagian Harta Benda itu dipertangguhkan selama waktu tertentu,

(4). Perjanjian selama ni nanya dapat berlaku selama lima tahun tetapi dapat diadakan lagi, kalau tenggang Maka dari itu khusus untuk orang-orang Tionghoa dan tahun itu telah lalu. Eropa (Warga Negara Indonesia) memiliki peraturan yang dan pada ahli waris maupun orang luar, untuk menjalankan sholat dan haji dengan atas nama orang yang dikehendaki dalam penafsiran Hukum.

Penggunaan uang dengan cara yang disebutkan ini, menurut pendapat Prof. Dr. R. Wigono Prodjodikoro adalah lebih memuaskan, dikarenakan Sukar bahwa orang-orang yang diberi uang untuk melaksanakan haji itu, akan benar-benar dilaksanakan ibadah tersebut dan benar-benar dilak sanakan dengan atas nama orang Vane meninggal. Disebutkan fitrah kepada orang-orang miskin. Kebenaran yang mutlak dalam Burgerlijk Wetboek, bahwa hutang dari orang yang meninggalkan warisan berpindah ke- pada semua ahli waris, dari ketentuan dalam BW sendiri, dan para ahli waris dapat mengalihkan perpindahan itu dengan dua jalan, yaitu

1. Tidak mau menerima harta warisan.

2. Menerima harta warisan dengan syarat diadakan perhitungan bentuk barang-barang warisan, dengan maksud bahwa hutang-hutang orang yang meninggalk an warisan hanya dibayar pada batas kemampuannya dengan mempergunakan barang-barang warisan itu (lihat BW pasal 1023 dst, pasal 1044 dst, pasal 1057 dst.).

Mengenai biaya pembayaran pemakaman mayat perbedaannya dalam di pemakaman mayat tidak ada perbedaannya dalam Hukum Burgerliik.

3.AHLI WARIS

a.Keturunan,

b.anak angkat

c.istri yang ditinggal mati oleh suami,

d.duda

4.KELAHIRAN ANAK DI LUAR PERNIKAHAN

Pandangan Hukum Adat Bila dipandang dari segi Hukum Adat, kalau seorang bu

yang tidak nikah, melahirkan anak, maka dalam hubungan hukum anak yang lahir itu hanya mempunyai ibu, dan tidak mempunyai bapak. Hal semacam itu sangat dicela dalam lingkungan masyarakat Indonesia, oleh sebab itu selalu diusahakan keras agar hal tersebut jangan sampai terjadi. Adapun usaha yang dilakukan yaitu, apabila seorang gadis

atau janda hamil tanpa nikah, maka diusahakan agar ibu tersebut selekas mungkin dinikahkan, agar pada waktu ia melahirkan anak, ia sudah nikah. Biasanya seorang hami itu diusahakan dinkahkan dengan pria yang menyebabkan ia hamil, namun ini tidak selalu memungkinkan, tetapi masyarakat menganggap cukup apabila telah nikah, walaupun pria yang menikahi itu, sudah terang bukan pria yang menghamilinya. Dan juga tidak ditetapkan adanya tenggang waktu yang harus sekurangkurangnya ada antara waktu nkah dan waktu melahirkan anak. Dengan demikian, dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa pada waktu melahirkan anak, si ibu telah mempunyai suamni, maka anak itu adalah anak sah, bukan anak yang lahir di luar pernikahan (bukan natuurljke kind).

Pandangan Hukum Islam Oleh Hukum Islam ditetapkan adanya tenggang waktu, yaitu tenggang yang sekurang-kurangnya mesti ada antara yaitu waktu nikah si isteri dan kelahiran si anak; dan lagi suatu tenggang, yang selama-lamanya harus ada antara putusnya pernikahan atau perkawinan dengan lahirnya si anak. Adapun tenggang yang dimak sud yaitu sekurang-kurangnya antara nikah si ibu dan kelah iran si anak adalah 6 bulan, sedang tenggang yang selama-lamanya harus ada antara putusnya tali pernikahan dan kelahiran anak yaitu tenggang iddah, ialah 4 bulan dan 10 hari.

Oleh sebagian pemeluk Agama Islam belakangan ini ditafsirkan sedemik ian rupa, yaitu bilamana seorang wanita setelah pernikahannya putus, tak datang bulan selama lebih dari tenggang iddah tadi, kemudian melahirkan anak, maka anak ini masih dianggap anak sah atas tali pernikahan yang putus tadi. Dalam hal ini ditetapkan tenggang selama-lamanya 4 (empat) tahun. Hal ini oleh Pengad ilan Negeri Surabaya dipersoalkan dalam putusan tanggal 4 April 1955 dan oleh Pengad ilan Tinggi Surabaya pada putu san tanggal 13 Okto ber 1956, termuat pada majalah "Hukum tahun 1959 No. 3-4 halaman 176 dan seterusnya.

Pengadilan Negeri Surabaya, memandang peraturan dalam Hukum Islam mengenai tenggang waktu 4 tahun ini terbentuk pada masa suci, yang artinya bahwa pada waktu itu tak seorangpun janda yang berani berbuat serong, tetapi pada saat sekarang ini berlainan keadaannya, oleh karena itu maka putusan diserahkan kepada kebijak sanaan Hakim. Inkasu Hakim, ditetapkan oleh Pengadilan Negeri Surabaya, yaitu bahwa si anak yang bersangkutan bilamana lahirnya dua tahun setelah suami dari ibunya meninggal dianggap anak dari orang' lain yang hidup berkumpul dengan janda (ibunya) itu. Adapun pend apat lain Pengadilan Tinggi Surabaya, yaitu bahwa "in kasu" mesti dipegang teguh peraturan dalam Hukum Islam, bahwa seorang anak yang dilahirkan oleh seorang janda,

yang ditinggal oleh suaminya karena meninggal dunia, dalam tenggang waktu 4 tahun, dengan tidak dibuktikan, bahwa

5.HIBAH WASIAT (TESTAMENT)

Orang yang memiliki harta terkadang berkeinginan agar hartanya kelak jika ia meninggal dapat dimanfaatkan sesuai kebutuhan. Hal ini akan lebih terasa jika Hukum Warisan yang berlaku bertentangan sekali dengan keinginan hatinya. Jika untuk ini Hukum memperbolehkan si pemilik harta memberikan hartanya menurut keinginannya sendiri di mana hal ini menyimpang dari ketentuan hukum warisan, ini adalah wajar sebab pada prinsipnya seorang pemilik harta bebas memperlakukan hartanya sesuai keinginannya.

Selain itu wajarlah jika keinginan terakhir seorang manusia diperhatikan dan dihormati sejauh hal tersebut dapat dilaksanakan. Dengan demikian kemungkinan terjadinya perselisihan antara para ahli waris dapat dihindarkan, karena dengan adanya pesan terakhir dari si wafat tersebut serta adanya kesadaran para ahli waris untuk menghormati keinginan terakhir si wafat tersebut. Apalagi jika keinginan terakhir dari si wafat tersebut dalam hal pembagian harta warisan telah sesuai dengan keadilan. Namun mungkin saja terjadi bahwa keinginan terakhir si wafat dalam hal pembagian harta warisan kenyataannya tidak adil dan mungkin saja hal ini terjadi karena dorongan paksaan orang lain atau tipu muslihat yang akan menguntungkan diri Untuk itu, adalah wajar jika Hukum membatasi hak untuk menentukan keinginan terakhir tersebut. Perbuatan penetapan pesan terakhir si wafat ini di Indonesia disebut dengan hibah wasiat, yang berasal dari bahasa Arab dalam Hukum Agama Islam. Sedangkan dalam bahasa Belanda disebut testament (lihat pasal 875 BW). Jika testament tersebut menetapkan penghibahan barang tertentu, dipakailah sebutan "legaat" sedang sebutan "erfstelling" dipergunakan untuk penghibahan semua harta warisan atau bagian tertentu (seperberapa) atas harta warisan terhadap seseorang tertentu.

6.KETENTUAN-KETENTUAN UMUM TENTANG SI PENINGGAL WARISAN DAN AHLI WARIS

Syarat-syarat bagi si peninggal warisan. Jika saat ini akan dijabarkan mengenai masalah syarat-syarat umum untuk pribadi orang yang meninggalkan warisan, maka yang dimaksud ialah hanya orang yang meninggalkan warisan dalam membuat suatu hibah wasiat. Tidak salah lagi bagi orang yang meninggal dunia dengan tidak membuat hibah wasiat adalah sudah wajar dengan adanya syarat-syarat untuk bisa menjadi sebagai peninggal warisan, maka dari masing- masing orang yang meninggal dunia tentu saja dianggap sebagai orang yang meninggalkan warisan bagi barang-barang milik yang ditinggalkan.

Ketentuan utama bagi seorang untuk bisa membuat hibah wasiat pada dasarnya adalah sama dengan syarat utama bagi orang yang melaksanakan perbuatan hukum pada umumnya, yaitu bahwa orang tersebut wajib dapat memastikan harapannya secara bebas dan merdeka. Apabila bisa dijelaskan bahwa, dalam masalah ini tidak ada perbedaan antara Hukum Adat, Hukum Islam dan hukum Burgerlijk Wetboek. Akal sehat Hanya sebagai penjelasan dalam pasal 895 BW yang menentukan bahwa untuk membuat suatu hibah wasiat, orang harus mempunyai kemampuan berfikir secara normal. Kemampuan berfikir secara normal ini tidak ada pertama-tama terhadap orang yang sakit ingatan serta seseorang yang dalam keadaan sakit demam yang parah, menjelaskan berbagai masalah (lende koorts), atau pada seseorang yang baru mabuk setelah meminum minuman keras membuat suatu hibah wasiat, maka tentang sahnya hibah wasiat.

Hal ini berarti. jika seorang yang dalam kondisi demikian tersebut dapat ditentang oleh orang-orang yang berkepentingan, yaitu para ahli waris serta para yang mempunyai piutang dari orang yang meninggalkan warisan. Yang mempunyai piutang dari orang yang meninggalkan warisan. Pasal 446 ayat 3 BW menetapkan, bahwa seorang yang adalah mempunyai kekuasaan untuk membuat hibah wasiat, ada di bawah pengawasan curatele oleh karena pemborosan dapat disimpulkan bahwa seorang curandus yang diawasi berhubung sakit ingatan, sedikitpun tidak dapat membuat wasiat juga dalam keadaan yang bersangkutan kadang-kadang dapat berfikir dengan agak normal.

Dan juga tidak mempunyai kekuatan untuk membuat hibah wasiat apabila seorang yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa. Hal ini bisa disimpulkan dari pasal-pasal 37, 41, serta 43 dari staatsblad 1897--54 (Reglement Krankzinnigen Wezen atau peraturan mengenai orang sakit ingatan). Terdapat suatu ketetapan umum dalam BW, yang menye butkan bahwa hanya seorang yang telah dewasa saja yang dapat melakukan perbuatan hukum. Sedangkan pada pasal 897 BW disebutkan tentang hal yang menyimpang dari ketentuan umum ini, yakni bahwa seorang yang belum dewasa juga dapat membuat suatu testament dengan catatan ia harus telah berumur paling sedikit 18 tahun.

Menurut pasal 898 BW, untuk menetapkan apakah seseorang itu telah mempu membuat diperhatikan keadaan orang tersebut disaat testament tersebut dibuat. Namun jika dengan jelas keadaan orang tersebut saat sebelum dan sesudah membuat testament dalam keadaan sakit gila, jadi dapat disimpulkan bahwa saat ia membuat testament tersebut iapun sedang sakit gila. suatu keadaan, harus patuh pada peraturan umum tentang pembuktian. satu testament, haruslah

Namun untuk pembuktian Tidak ada kesalahan Suatu testament mungkin dianggap batal atau tidak sah, jika di dalam nya disebutkan suatu penyebab yang memaksa si peninggal warisan untuk memberi sesuatu terhadap seseorang, sedang dikemudian hari terdapat kekeliruan atas penyebab tersebut, serta jika diketahui oleh si peninggal warisan tentang kekeliruan tersebut sebelumnya penghibahan itu tidak akan dilakuka nnya. Hal ini sesuai dengan pasal 890 BW.

Namun biasanya suatu testament tidak terlalu diselidiki apa penyebab yang mendorong si peninggal warisan untuk menghibahkan barang tersebut. Seda ngkan kini, tentang penyebab tersebut menjadi syarat sesuai dengan pasal 890 ini. Contohnya: m isal si penghibah dalam testamentnya menyebutkan memberi suatu barang kepada si A, karena si Aini adalah anak angkatnya.

Namun ternyata kemudian yangdiangkat adalah si B dan bukannya si A, dengan demikian maka dapatlah dikatakan tahwa terdapat kekeliruan dimana menurut pasal 890 BW penghibahan tersebut dapat dianggap batal. Tidak ada paksaan atau penipuan. Hal mengenai tidak adanya paksaan serta penipuan ini pasal 893 BW menyatakan, bahwa suatu testam ent dia nggap batal jika dibuat dibawah ancaman atau penipuan.

Namun untuk ini wajib dibuktikan. Sampai sejauh mana dianggap terdapatnya unsur paksaan Secara analogi Hakim harus memperhatikan hal seperti ini ini wajib dibuktikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. berlaku bagi perjanjian pada umumnya (lihat pasal-pasal 1324, 1325, dan 1326 BW serta buku "Asas-asas Hukum Perjanjian" karangan Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, cetakan keempat halaman 30 dan 31).ARIQ Berlaku juga pasal 1327 BW yang menetapkan, bahwa telah tiada serta selanjutnya si peninggal warisan telah pembatalan tidak bisa dituntut, jika terhadap paksaan tersebut menerima dan menyetujui penghibahan tersebut, baik penyetujuan tersebut secara terang-terangan ataupun secara diam-diam.

Persyaratan bagi ahli waris. Para ahli waris harus sudah terlahir disaat meninggalnya si peninggal warisan. Ketentuan tersebut di atas ditetapkan bagi ahli waris tanpa testament pada pasal 836 BW serta bagi ahli waris dengan testament pada pasal 899 ayat 1 BW. Pengertian tentang sudah terlahir ini tidak hanya berarti "sudah dilahirkan" saja, akan tetapi juga berarti bayi yang masih dalam kandungan ibunya, karena kedua pasal tersebut menunjuk pada pasal 2 BW yang berbunyi:

(1) Seorang anak yang masih dalam kandungan ibunya dianggap telah lahir, jika kepentingan si anak tersebut menuntutnya.

(2) Jika disaat kemudian anak tersebut dilahirkan dalam keadaan telah meninggal, maka anak tersebut dianggap tidak pernah ada.

Termasuk juga penting apa yang ditetapkan oleh pasal 831 BW bahwa jika si peninggal warisan dan si ahli waris meninggal dunia dalam saat yang bersamaan, misalnya pada suatu kecelakaan, dimana tidak dapat ditentukan siapa yang wafat terlebih dahulu, maka mereka dianggap meninggal dunia pada saat yang bersamaan.

Hal ini berarti bahwa tidak mungkin ada perpindahan barang warisan dari satu pihak kepihak yang lain. Berdasarkan pendapat Juynboll (halaman 247), peraturan tentang keragu-raguan siapa yang meninggal lebih dulu dan tentang ahli waris yang masih dalam kandungan ibu juga terdapat pada Hukum Islam. Tidak layak menjadi ahliwaris (onwaardig) Hal tentang tidak pantasnya seseorang dianggap sebagai ahliwaris ini dalam Burgelijk Wetboek diatur dengan:

a. dalam pasal-pasal 838, 839 dan 840 untuk ahli waris tanpa testament, dan

b. dalam pasal 912 untuk ahli waris dengan testament.

Kedua peraturan tersebut mempunyai persamaan dan perbedaan.Persamaannya adalah bahwa seorang tidak layak dianggap sebagai ahli waris dua macam tersebut di atas.

1. Jika oleh Hakim ia dihukum, karena membunuh si peninggal warisan, jadi wajib ada putusan Hakim yang menghukumnya.

2. Jika ia secara paksa mencegah kemauan si peninggal warisan untuk membuat, mengubah atau membatalkan testamentnya.

3. Jika ia melenyapkan, membakar atau memalsu testament dari si peninggal warisan. Sedangkan perbedaannya ialah, di samping ketiga hal tersebut ahli waris tanpa testament juga dianggap tidak pantas:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun