4.KELAHIRAN ANAK DI LUAR PERNIKAHAN
Pandangan Hukum Adat Bila dipandang dari segi Hukum Adat, kalau seorang bu
yang tidak nikah, melahirkan anak, maka dalam hubungan hukum anak yang lahir itu hanya mempunyai ibu, dan tidak mempunyai bapak. Hal semacam itu sangat dicela dalam lingkungan masyarakat Indonesia, oleh sebab itu selalu diusahakan keras agar hal tersebut jangan sampai terjadi. Adapun usaha yang dilakukan yaitu, apabila seorang gadis
atau janda hamil tanpa nikah, maka diusahakan agar ibu tersebut selekas mungkin dinikahkan, agar pada waktu ia melahirkan anak, ia sudah nikah. Biasanya seorang hami itu diusahakan dinkahkan dengan pria yang menyebabkan ia hamil, namun ini tidak selalu memungkinkan, tetapi masyarakat menganggap cukup apabila telah nikah, walaupun pria yang menikahi itu, sudah terang bukan pria yang menghamilinya. Dan juga tidak ditetapkan adanya tenggang waktu yang harus sekurangkurangnya ada antara waktu nkah dan waktu melahirkan anak. Dengan demikian, dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa pada waktu melahirkan anak, si ibu telah mempunyai suamni, maka anak itu adalah anak sah, bukan anak yang lahir di luar pernikahan (bukan natuurljke kind).
Pandangan Hukum Islam Oleh Hukum Islam ditetapkan adanya tenggang waktu, yaitu tenggang yang sekurang-kurangnya mesti ada antara yaitu waktu nikah si isteri dan kelahiran si anak; dan lagi suatu tenggang, yang selama-lamanya harus ada antara putusnya pernikahan atau perkawinan dengan lahirnya si anak. Adapun tenggang yang dimak sud yaitu sekurang-kurangnya antara nikah si ibu dan kelah iran si anak adalah 6 bulan, sedang tenggang yang selama-lamanya harus ada antara putusnya tali pernikahan dan kelahiran anak yaitu tenggang iddah, ialah 4 bulan dan 10 hari.
Oleh sebagian pemeluk Agama Islam belakangan ini ditafsirkan sedemik ian rupa, yaitu bilamana seorang wanita setelah pernikahannya putus, tak datang bulan selama lebih dari tenggang iddah tadi, kemudian melahirkan anak, maka anak ini masih dianggap anak sah atas tali pernikahan yang putus tadi. Dalam hal ini ditetapkan tenggang selama-lamanya 4 (empat) tahun. Hal ini oleh Pengad ilan Negeri Surabaya dipersoalkan dalam putusan tanggal 4 April 1955 dan oleh Pengad ilan Tinggi Surabaya pada putu san tanggal 13 Okto ber 1956, termuat pada majalah "Hukum tahun 1959 No. 3-4 halaman 176 dan seterusnya.
Pengadilan Negeri Surabaya, memandang peraturan dalam Hukum Islam mengenai tenggang waktu 4 tahun ini terbentuk pada masa suci, yang artinya bahwa pada waktu itu tak seorangpun janda yang berani berbuat serong, tetapi pada saat sekarang ini berlainan keadaannya, oleh karena itu maka putusan diserahkan kepada kebijak sanaan Hakim. Inkasu Hakim, ditetapkan oleh Pengadilan Negeri Surabaya, yaitu bahwa si anak yang bersangkutan bilamana lahirnya dua tahun setelah suami dari ibunya meninggal dianggap anak dari orang' lain yang hidup berkumpul dengan janda (ibunya) itu. Adapun pend apat lain Pengadilan Tinggi Surabaya, yaitu bahwa "in kasu" mesti dipegang teguh peraturan dalam Hukum Islam, bahwa seorang anak yang dilahirkan oleh seorang janda,
yang ditinggal oleh suaminya karena meninggal dunia, dalam tenggang waktu 4 tahun, dengan tidak dibuktikan, bahwa
5.HIBAH WASIAT (TESTAMENT)
Orang yang memiliki harta terkadang berkeinginan agar hartanya kelak jika ia meninggal dapat dimanfaatkan sesuai kebutuhan. Hal ini akan lebih terasa jika Hukum Warisan yang berlaku bertentangan sekali dengan keinginan hatinya. Jika untuk ini Hukum memperbolehkan si pemilik harta memberikan hartanya menurut keinginannya sendiri di mana hal ini menyimpang dari ketentuan hukum warisan, ini adalah wajar sebab pada prinsipnya seorang pemilik harta bebas memperlakukan hartanya sesuai keinginannya.
Selain itu wajarlah jika keinginan terakhir seorang manusia diperhatikan dan dihormati sejauh hal tersebut dapat dilaksanakan. Dengan demikian kemungkinan terjadinya perselisihan antara para ahli waris dapat dihindarkan, karena dengan adanya pesan terakhir dari si wafat tersebut serta adanya kesadaran para ahli waris untuk menghormati keinginan terakhir si wafat tersebut. Apalagi jika keinginan terakhir dari si wafat tersebut dalam hal pembagian harta warisan telah sesuai dengan keadilan. Namun mungkin saja terjadi bahwa keinginan terakhir si wafat dalam hal pembagian harta warisan kenyataannya tidak adil dan mungkin saja hal ini terjadi karena dorongan paksaan orang lain atau tipu muslihat yang akan menguntungkan diri Untuk itu, adalah wajar jika Hukum membatasi hak untuk menentukan keinginan terakhir tersebut. Perbuatan penetapan pesan terakhir si wafat ini di Indonesia disebut dengan hibah wasiat, yang berasal dari bahasa Arab dalam Hukum Agama Islam. Sedangkan dalam bahasa Belanda disebut testament (lihat pasal 875 BW). Jika testament tersebut menetapkan penghibahan barang tertentu, dipakailah sebutan "legaat" sedang sebutan "erfstelling" dipergunakan untuk penghibahan semua harta warisan atau bagian tertentu (seperberapa) atas harta warisan terhadap seseorang tertentu.