"Jauh darimu membuatku hancur, Lara. Kumohon kembalilah."
Aku tidak bergegas menjawab, kau pun hanya diam. Kebungkaman kita memperparah keheningan malam ini. Di bawah pendar cahaya keemasan tanpa satu pun manusia lain yang bertandang, kita terperosok pada perasaan masing-masing. Muncul kebimbangan apakah aku harus menuruti perasaan cinta yang selama ini menjadi candu? Masalahnya adalah kenikmatan cinta selalu bersanding dengan derita.
"Lara," panggilmu begitu lembut nyaris mendesah.
Kutatap wajah tampanmu. Lima menit berlalu, kita hanya saling menatap tanpa ada yang berani bicara lagi.
"Kurasa cukup!" putusku kemudian.
Kulantunkan doa semoga kau tidak mendengar getaran suara ini.
"Aku senang kalau Kau memang sembuh," ucapku sembari memberikan senyuman miring.
Kalimat selanjutnya adalah bagian yang paling kubenci. Tapi harus tetap kukatakan demi menuntaskan persoalan kita malam ini juga.
"Sudah malam, aku pulang," pamitku seraya berdiri.
Tanganmu mencekal pergelangan tanganku dengan cepat. Kulihat wajah kusutmu mengiba padaku untuk tinggal.
"Jangan pergi! Aku tak bisa tanpamu."