Kupandangi kepalamu yang menggeleng. Lalu, kau tatap aku lekat-lekat. Ada Kristal bening menyelimuti matamu. Hatiku mendadak pilu. Apa yang terjadi padamu hingga nyaris menangis? Apakah sesuatu yang buruk seperti sakit keras?
Kebencian yang kutanam delapan bulan lamanya terlindas rasa empati ketika menatap wajah sendumu. Aku sangat khawatir.
"Berceritalah! Aku akan mendengarkan."
Aku memang tidak bisa mengerti dirimu sebaik kau mengerti aku. Pikiran ini kerap gagal menafsirkan gestur dan mimik mukamu. Jika benar hal buruk telah menimpamu sebelum pergi, maka aku memang patut ditinggalkan karena tidak bisa memahami kekasihku.Â
Dalam hening, kita menatap siluet pepohonan di permukaan danau yang tercipta oleh cahaya purnama. Lalu, kau mulai mengurai kisah.
"Keadaanku sama sepertimu, Lara. Kukira akan tegar, kenyataannya justru terkapar."
Kau tertawa sumbang untuk dirimu sendiri. Kemudian membuang napas  pelan seolah ingin meluruhkan beban.
"Aku make'." Bibirmu bergetar ketika mengatakannya.
Aku memicingkan mata dengan bibir terkatup rapat. Kutajamkan pendengaran agar tak salah mengartikan.
"Salah satu anak geng motor itu menjebakku, Lara. Dia memberiku rokok yang ternyata mengandung ganja. Awalnya aku merasa jadi lebih gembira. Tapi kemudian seluruh tubuhku kesakitan. Aku takut Kau akan terseret bila tetap disampingku."
Pikiranku berkecamuk dalam hening. Kecewa padamu memang terdengar sangat masuk akal, tetapi gelombang empati yang bersumber dari rasa sayang membanjiri kalbuku. Air mata berjatuhan membayangkan dirimu yang meringkuk kesakitan.