Siluet pepohonan di sekeliling danau memanjakan mataku yang duduk sendiri menunggumu. Kulirik arloji berwarna perak yang dulu kau hadiahkan dihari ulang tahunku yang ke-23, sebulan sebelum dirimu menghilang tanpa penjelasan. Pukul 18.30 WIB. Terlambat seperempat jam dari waktu janjian untuk bertemu.
"Sudah menunggu lama?" sapa suara bariton yang sangat kuhafal.
Jantungku seketika berjoged ria manakala menatap wajah rupawanmu. Masih segagah dan setampan dahulu. Hanya sedikit kurus. Jambangmu sepertinya lama tak dicukur.
Tanpa permisi, kau duduk di sebelahku. Begitu dekat hingga jarak antara kau dan aku tak lebih dari dua jengkal. Bisa kucium aroma belagio yang menguar dari tubuhmu. Aku suka aroma itu. Wajah, penampilan, aroma, suara dan semua hal yang melekat padamu adalah candu bagiku.
"Bagaimana kabarmu?"
Kutatap wajahmu saat menanyakan hal bodoh barusan. Kau tampak tenang. Sial. Bagaimana bisa dirimu setenang ini setelah menjungki-balikkan duniaku? Masih pantaskah kau bertanya kabar setelah memutuskan hubungan kita hanya lewat sepucuk surat tanpa penjelasan apapun?
Aku menanyakan keberadaanmu pada seluruh orang yang mengenalmu. Tidak ada satu pun dari mereka yang mau buka suara. Patah hati membuatku meraung sepanjang waktu. Bahkan, untuk memasukkan sesendok makanan pun begitu sulit. Persis seperti pecandu yang direhabilitasi. Sakau. Jika bukan karena iman di dada, sudah kugoreskan sebilah pisau ke pergelangan tangan ini.
Naasnya, semua protes itu hanya berputar di kepalaku saja. Tidak ada satu kata pun yang lolos dari bibir ini. Betapa menyebalkannya situasi kelu ketika berhadapan denganmu.
"Pasti tidak baik-baik saja. Kulihat dirimu lebih kurus dan tirus."
Nilai seratus untuk tebakanmu yang selalu benar tentang diriku. Mungkin, tidak ada lelaki yang bisa mengerti aku sebaik dirimu. Tidak perlu repot-repot menjelaskan, kau sudah tahu isi kepala dan perasaanku. Kemampuanmu ini sangat membantuku yang kerap mematung dikala emosi membuncah.
"Kau sendiri bagaimana? Sepertinya baik-baik saja."