Â
Frasa "bermaaf-maafan" menurut KBBI berarti ampun-mengampuni; saling memberi ampun. Namun menurutku, frasa itu digunakan dalam tradisi yang adanya hanya di Indonesia. Termasuk pernah berlaku di keluarga kami. Dahulu, frasa itu berlaku di keluarga kami hanya bersifat simbolik saat lebaran, kalau tak ingin disebut sebagai tradisi kepura-puraan. Ya jujur saja, ini sebuah pengakuan, bahwa saling bermaaf-maafan saat lebaran bukan maaf sungguhan.
Frasa "bermaaf-maafan" saat lebaran, kurasakan tidak terkait dengan substansi saling memaafkan yang sebelumnya bersinggungan. Faktanya, antar keluarga kami dan antar tetangga kami yang saling bermaaf-maafan sebenarnya saling tidak mengerti apa kesalahan yang harus diampuni. Baik yang memberi maaf maupun yang meminta maaf sama-sama gak tahu apa salahnya, apalagi tidak saling memberi pengakuan salah. Tapi anehnya saling menumpahkan air mata. Hal ini pernah membuatku gelisah, bukan membuatku terharu.
Sampai suatu hari, kami menyadari bahwa tradisi ini sebagai aktivitas yang menjurus saling membohongi diri kami sendiri. Sebab usai kami saling bermaaf-maafan, tidak ada beban untuk mengulagi kebiasaan keliru yang tak diketahui itu. Padahal setiap orang tak luput dari kesalahan pada masa lalu ke hari-hari berikutnya. Tapi karena tak ada perjanjian untuk tak mengulangi kembali kesalahan yang tak diketahui tersebut, maka terus saja berulang.Â
Setelah kami sadari tradisi saling bermaaf-maafan itu hanya sekadar euforia. Tidak menjadi solusi atas ketidaktahuan dasar bermaaf-maafan. Tidak menjadi solusi bagi yang terlilit hutang dalam konteks menegakkan kebenaran dan keadilan. Tidak menjadi solusi atas kemiskinan korban eksploitasi. Tidak menjadi solusi atas permusuhan abadi. Bahkan tidak menjadi solusi berhentinya segala tindakan perusak alam.Â
Tapi tetap saja para pemudik nekat melanggar larangan mudik untuk saling bermaaf-maafan dan saling bersalam-salaman. Padahal bermaaf-maafan pola begitu tidak akan memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Yang bermaaf-maafan tidak menjamin bebas dari dampak Covid-19.Â
Malahan diperkirakan ahli, pekan depan usai mudik, masa kritis penyebaran Covid-19 akan terjadi. Begitu juga lonjakan jumlah yang terpapar Covid-19 diprediksi meningkat tajam, karena mudik lebaran 2020 ini kerumunan dan kontak lintas penduduk mengalami peningkatan.Â
Lebaran Bermaaf-mafan tidak Identik dengan Idul Fitri pada masa Kenabian
Apalagi dalam sejarah nabi, tidak mengenal tradisi saling bermaaf-maafan seperti sungkeman yang ada di Indonesia. Tapi ritual Idul Fitri pada zaman nabi diselenggarakan sebagai momentum kembali hidup menurut Islam (regulasi Zakat yang sesuai fitrah manusia). Kembali pesta kepedulian antar si punya dan yang tak punya. Artinya Islam dan tradisi (tradisi Arab dan  Indonesia) adalah dua hal yang berbeda. Namun Islam dan tradisi memang bisa berdampingan tanpa harus saling bersinggungan. Caranya bagaimana?.
Dalam Islam, tidak ada Rasulullah mencontohkan saling bermaaf-maafan setahun sekali. Tapi tidak memaksa orang berbudaya sesuai kebiasaan Rasulullah. Rasulullah membiarkan orang hidup dengan keyakinannya, selama tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum.Â
Dalam Islam saling memaafkan setiap menyadari suatu kesalahan tidak harus menunggu Idul Fitri. Jadi tidak harus menunggu lebaran untuk saling memaafkan. Karena dikhawatirkan bila kita tutup usia sebelum lebaran dan belum saling memaafkan, hanya mempersempit dada dan apakah bisa disebut husnul khatimah?.
Dalam Al-Quran, Surat An-Nur: 22, jelas ditegaskan bahwa orang yang memiliki fadhilah (keutamaan, keunggulan, kelebihan) diantara para mukmin harus memaafkan (membantu) kaum kerabat, golongan miskin, golongan Muhajirin yang mau hidup menurut Islam.
Tujuannya agar Allah mengampuni, memaafkan, merevolusi, merombak nasib mukmin yang masih terpuruk. Selain itu saling memafkan juga dapat melapangkan dada karena saling berdamai dan menjadi aman.Â
Berdamai berlaku bagi kedua belah pihak yang sepakat berdamai. Tidak mungkin bisa berdamai dengan Covid-19, karena virus mahluk yang tidak pernah mengenal kata damai. Maka hanya satu kata, "Lawan!".Â
Bagiku tradisi "Jahiliyah" yang mendistorsi Islam (Al-Quran), bagaikan virus yang melemahkan dan meruntuhkan kesadaran. Bagaimana tradisi yang dapat mendistorsi Islam?.
Dalam ayat tersebut jelas bahwa memaafkan itu konteksnya adalah membantu bagi yang berkelebihan pada yang kekurangan atau yang kesusahan. Bukan sekadar basa-basi sekadar lisan saling memaafkan, tapi menutup mata (bakhil) terhadap kemiskinan saudaranya, termasuk bermegah-megahan atau berlaku mubazir di atas penderitaan saudaranya.Â
Tentu memaafkan atau membantu disini bukan dalam kejahatan, tapi dalam rangka bersama-sama mendekatkan diri hidup menurut Islam yang bersifat rahmat bagai semesta jagat raya.Â
Islam sebagai regulasi saling tolong menolong menurut Allah bukan hanya berlaku saat Idul Fitri, tapi setiap saat. Tolong-menolong itu seharusnya dalam kerangka Zakat sebagai satu pembinaan perekonomian Islam.Â
Berhubung perekonomian menyangkut hajat hidup umat, seharusnya bukan hanya setahun sekali. Tapi setiap saat. Karena kebutuhan hidup umat harus bergulir setiap saat mulai dari faktor-faktor produksi, distribusi dan konsumsi. Allah melarang hambanya memiskinkan diri terhadap aturan selain-Nya.
Jangan sampai budaya lebaran dianggap sebagai budaya Islam. Lebaran dan Idul fitri dua hal yang berbeda. Karena Islam tidak pernah menyebabkan inflasi seperti setiap kita melakukan budaya belanja berlebihan (konsumtif), mudik berduyun-duyun untuk bermaaf-maafan saat lebaran. Semua itu salah sau penyeba inflasi setiap tahun. Inflasi jelas memakan korban.Â
Korban pertama dari persekutuan tradisi dan kapitalisme justru orang-orang miskin yang membutuhkan bahan pokok. Saat situasi demikian, terjadi rekayasa kebutuhan yang membuat putaran uang mengalir antar orang kaya dan yang konsumtif.Â
Akhirnya yang kaya menjadi semakin kaya tapi yang miskin semakin miskin. Sementara yang konsumtif hanya jalan di tempat. Berlangsung dari tahun ke tahun. Akibatnya kehidupan saling kasih sayang dan saling adil makmur menjadi jauh panggang dari api.
Bahkan ucapan "Minal 'Aidin wal Faidzin" dianggap bermakna mohon maaf lahir dan bathin, merupakaan kekeliruan yang berlangsung berpuluh-puluh tahun. Padahal kalimat minal aidin wal faidzin ini menurut ulama mulanya berasal dari seorang penyair pada masa Al-Andalus, yang bernama Shafiyuddin Al-Huli, ketika dia membawakan syair yang konteksnya mengisahkan dendang wanita saat hari raya.Â
Kalimat minal aidin wal faidzin diterjemahkan menjadi "semoga kita semua tergolong orang yang kembali dan berhasil". jadi arti minal aidin wal faidzin yang diucapkan saat Idul fitri adalah sejenis  harapan agar kita semua menjadi golongan orang yang kembali ke fitrah Allah yaitu Islam.
Perbaikannya bagaimana dari asal bermaaf-maafan menjadi pola saling memaafkan sungguhan?. Tentu harus bersadarkan kesadaran dari lubuk hati yang paling dalam. Bahwa hal itu harus sesuai Al-Quran yang kita pelajari dengan serius. Kemudian, saling memaafkan harus berdasarkan perjanjian tidak akan mengulangi kembali kesalahan.Â
Bahkan dalam Islam, orang mencuri dan berzinah bisa dimaafkan jika ia menerima hukumannya dengan sukarela bahwa ia siap bertanggungjawab atas perbuatannya dan pasrah sebagai contoh tegaknya hukum demi kebenaran dan keadilan. Sambil membenahi kesadaran, selagi masih ada kesempatan.
Dengan demikian, apakah lebaran dijadikan momentum saling bermaaf-maafan bisa dibilang sebagai pembusukan akan nilai-nilai kemanusiaan kita?.Â
Karena saling memaafkan lahir dan bathin sudah sepatutnya setiap melakukan kesalahan. Apalagi sikap memaafkan itu yang membedakan manusia dengan hewan.Â
Sedangkan saling memaafkan seolah harus menunggu lebaran adalah sesuatu hal yang konyol karena bertentangan dengan Islam.Â
Islam memerintahkan berbuat baik harus disegerakan, tidak boleh ditunda. Apalagi memberi dan meminta maaf kepada yang tidak tahu apa salahnya tidak bisa diharap kesalahan bisa diperbaiki. Oleh karena itu, mengikuti tradisi yang tidak berdasarkan ilmu, sangat bertentangan dengan Al-Quran (QS 17:36).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H