Akhirnya yang kaya menjadi semakin kaya tapi yang miskin semakin miskin. Sementara yang konsumtif hanya jalan di tempat. Berlangsung dari tahun ke tahun. Akibatnya kehidupan saling kasih sayang dan saling adil makmur menjadi jauh panggang dari api.
Bahkan ucapan "Minal 'Aidin wal Faidzin" dianggap bermakna mohon maaf lahir dan bathin, merupakaan kekeliruan yang berlangsung berpuluh-puluh tahun. Padahal kalimat minal aidin wal faidzin ini menurut ulama mulanya berasal dari seorang penyair pada masa Al-Andalus, yang bernama Shafiyuddin Al-Huli, ketika dia membawakan syair yang konteksnya mengisahkan dendang wanita saat hari raya.Â
Kalimat minal aidin wal faidzin diterjemahkan menjadi "semoga kita semua tergolong orang yang kembali dan berhasil". jadi arti minal aidin wal faidzin yang diucapkan saat Idul fitri adalah sejenis  harapan agar kita semua menjadi golongan orang yang kembali ke fitrah Allah yaitu Islam.
Perbaikannya bagaimana dari asal bermaaf-maafan menjadi pola saling memaafkan sungguhan?. Tentu harus bersadarkan kesadaran dari lubuk hati yang paling dalam. Bahwa hal itu harus sesuai Al-Quran yang kita pelajari dengan serius. Kemudian, saling memaafkan harus berdasarkan perjanjian tidak akan mengulangi kembali kesalahan.Â
Bahkan dalam Islam, orang mencuri dan berzinah bisa dimaafkan jika ia menerima hukumannya dengan sukarela bahwa ia siap bertanggungjawab atas perbuatannya dan pasrah sebagai contoh tegaknya hukum demi kebenaran dan keadilan. Sambil membenahi kesadaran, selagi masih ada kesempatan.
Dengan demikian, apakah lebaran dijadikan momentum saling bermaaf-maafan bisa dibilang sebagai pembusukan akan nilai-nilai kemanusiaan kita?.Â
Karena saling memaafkan lahir dan bathin sudah sepatutnya setiap melakukan kesalahan. Apalagi sikap memaafkan itu yang membedakan manusia dengan hewan.Â
Sedangkan saling memaafkan seolah harus menunggu lebaran adalah sesuatu hal yang konyol karena bertentangan dengan Islam.Â
Islam memerintahkan berbuat baik harus disegerakan, tidak boleh ditunda. Apalagi memberi dan meminta maaf kepada yang tidak tahu apa salahnya tidak bisa diharap kesalahan bisa diperbaiki. Oleh karena itu, mengikuti tradisi yang tidak berdasarkan ilmu, sangat bertentangan dengan Al-Quran (QS 17:36).