Mohon tunggu...
Vethria Rahmi
Vethria Rahmi Mohon Tunggu... Penulis - Pranata Humas Ahli Muda Kanwil Kemenag Riau

Thalabul Ilmi yang tak berhenti belajar

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Dari Mengupas Harkitnas, Meretas Covid-19, hingga Menggagas Lebaran Cerdas

20 Mei 2020   06:47 Diperbarui: 20 Mei 2020   08:19 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di zaman sekarang, penjajahan memang tidak lagi berupa kolonialisme. Para penjajah tidak lagi menginvasi militer asing ke Indonesia. Karena hal itu boros. Tapi yang masuk justru neokolonialisme yang sifatnya lebih irit dan halus cara kerjanya dalam penjajahan. Bentuk praktik kapitalisme, globalisasi, dan pasukan kultural imperialisme telah mengontrol Negara. Baik berupa ekonomi, budaya, maupun linguistik. Lalu ketika korporasi sudah tertanam, maka selanjutnya membuat kemajuan besar dalam membuka pasar di suatu negara.

Memang ini sulit dipahami dan dirasakan oleh orang-orang yang berhenti mempelajari perjalanan sejarah Indonesia ini. Untuk itulah pola Budi Utomo perlu diteladani. Dengan mempelajari dan menyadari bersama apa yang menjadi common enemy, Indonesia dapat bersatu, bahu membahu menyingkirkan duri-duri yang bersarang dalam daging bangsa ini. Duri-duri yang membuat bangsa ini bagaikan simalakama. Jika dibiarkan bangsa ini akan merasakan sakit yang berkepanjangan. Tapi bila duri-duri itu dicabut, bangsa ini akan menjerit dan merasakan nyeri yang dahsyat, walau hanya sekejap.

Salah satu duri-duri itu adalah sifat hedon dan konsumtif yang berurat berakar dalam jiwa kita. Kata nabi, penyakit manusia adalah cinta dunia dan takut mati. Buktinya meskipun pemerintah telah melarang kerumunan demi memutus mata rantai penyebaran wabah Corona, tapi masyarakat kurang peduli pada keselamatan dirinya sendiri, apalagi pada keselamatan orang lain.  Mal-mal dan pasar tetap disesaki oleh pengunjung. Itu terlihat di TVone. Demi terpuaskan hasrat belanja karena cintanya pada dunia. Dengan alasan untuk menyambut lebaran sebentar lagi. 

  1. Makna Lebaran Perlu Pembaharuan

Istilah "lebaran" tidak dapat dirujuk pada Al-Quran karena bukan istilah Al-Quran. Karena berdasarkan artikel karya M.A. Salmun yang dimuat dalam majalah Sunda tahun 1954, disinyalir istilah "Lebaran" berasal dari tradisi agama Hindu yang bermakna 'usai', 'sudah', atau 'selesai'. Yang kemudian orang-orang penganut Islam memaknai lebaran dengan 'sudah selesai berpuasa'.  Sebagian lagi menyatakan bahwa kata "Lebaran" berasal dari bahasa Jawa "wis bar", "bubar", dan "lebar" yang berarti 'sudah selesai'. 

Disini seakan-akan lebaran itu untuk perayaan karena dianggap sudah selesai. Padahal dalam Islam selesai itu bermakna tamat atau mati. Jadi bagi Muslim sudah selesai kewajibannya kalau sudah mati atau tamat. Karena masih hidup dan perjuangan belum selesai, maka hidup sederhana bagiku lebih utama dari pada hidup berpoya-poya.

Kata "Lebaran" juga dianggap orang berasal dari masyarakat Betawi yang kerap menyebut kata "lebar" yang bermakna 'luas'. Kemudian diartikan bahwa kata "Lebaran" pada masyarakat Betawi menggambarkan keluasan hati atau kelegaan hati setelah saling bermaaf-maafan pada Hari Raya Idul Fitri. 

Tentu saja, hal itu tidak berarti orang-orang yang terlilit hutang banyak akan terhapus hutangnya dan tak akan lega. Sebab kata nabi berhutang itu membuat gelisah pada malam hari dan terhina pada siang hari. Tentu orang yang terlilit hutang tidak akan merasa lega hatinya, walau meminta maaf kepada pemberi hutang. Apalagi kalau berhutang untuk berhura-hura, tentu bukan kebangkitan nasional yang diraih tapi malah keterpurukan nasional.

Yang diharapkan  setelah sebulan penuh kita puasa Ramadan adalah meningkatnya ketakwaan. Artinya semakin menjalankan perintah-Nya dan semakin menjauhi larangan-Nya. Dengan perkataan lain, jika tidak berlaku demikian, maka ada yang salah dengan dasar tujuan kita dalam berpuasa, bukan?.

Maka yang perlu dijauhi adalah sikap hedon dan konsumtif serta mubazir atas rayuan dan iming-iming korporasi. Apalagi bila sampai mengabaikan keselamatan saat wabah Corona masih merebak. Tentu sikap ini tidak sesuai dengan Islam sebagai agama keselamatan. Misalnya berkerumun di keramaian, tidak menggunakan alat pelindung diri dan tidak menjaga kebersihan bukanlah cermin orang yang bertaqwa.

Sebentar lagi lebaran, apakah harus selalu berdampak inflasi dan menjadi beban?. Apakah di tengah keprihatinan nasional kita perlu memamerkan kemewahan dan bermegah-megah?. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun