Mohon tunggu...
Vethria Rahmi
Vethria Rahmi Mohon Tunggu... Penulis - Pranata Humas Ahli Muda Kanwil Kemenag Riau

Thalabul Ilmi yang tak berhenti belajar

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Dari Mengupas Harkitnas, Meretas Covid-19, hingga Menggagas Lebaran Cerdas

20 Mei 2020   06:47 Diperbarui: 20 Mei 2020   08:19 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Screenshot YouTube: Bang Scout Production

Berbicara frasa "Hari Kebangkitan Nasional", sebenarnya bukan bicara sejarah yang hanya berlaku pada masa lalu saja, tapi juga prinsipnya berlaku pada masa kini dan masa depan. Karena Hari Kebangkitan Nasional terkait hukum kausalitas sejarah. 

Dengan perkataan lain, prinsip yang terjadi pada zaman kini dan masa depan sebenarnya sebagai pantulan cermin prinsip sejarah. Ya, segala sesuatu memiliki prinsipnya, termasuk pergerakan sejarah. 

Pada prinsipnya gerakan sejarah yang baik itu berjalan, tumbuh dan beredar  diatas prinsip perulangan. Sepertihalnya kita berjalan,  pada prinsipnya ada perulangan langkah. Yaitu langkah kanan dan kiri, keduanya silih berganti secara horizontal. Dalam suatu pertumbuhan pohon pun prinsipnya demikian, hanya berlaku 2 prinsip, berkembang dan mati secara vertikal. Begitu juga halnya dalam peredaran matahari dan bulan, berlaku prinsip perulangan, yaitu terbit dan tenggelam. Baik sejarah yang baik dan buruk, masing-masing memiliki batas ruang dan waktu tertentu dominasinya.

Artinya perulangan sejarah jatuh bangun (bangkit) suatu bangsa itu adalah keniscayaan. Tak seorangpun dapat membendung arus sejarah. Persoalannya, sekarang dimana posisi bangsa kita dan hendak berkiprah ke arus mana kita?. Inilah urgensinya mengenal sejarah Kebangkitan Nasional. Agar kita mengerti mana kawan dan mana lawan. Mana pahlawan da mana penghianat. 

Dalam sejarah, selalu saja penghianatan yang menjadi musuh bangsa. Oleh karena itu, kata Bung Karno: 'Jasmerah'!, Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Selain itu, ia juga mengingatkan: "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Perjuanganmu lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri". Peringatan Bung Karno ini tampaknya masih relevan.

Perhatikan nasib suatu bangsa yang melupakan sejarah dan melupakan jasa-jasa para pahlawannya serta melupakan sepak terjang penghianat-penghianat bangsa. Pasti suatu bangsa mudah diadudomba, mudah dibohongi dan mudah diperdaya. Akhirnya sesama anak bangsa bisa  serba lawan. 

Semua ini disebabkan buta sejarah. Buta sejarah inilah yang dapat melupakan dan melunturkan nilai-nilai nasionalisme, solidaritas, dan kebersamaan. Lebih jauh dapat mengancam keterpurukan bangsa. 

Baru-baru  ini misalnya, keprihatinan yang ditunjukan dokter sebagai pahlawan masa kini, dapat kita lihat dari fenomena tagar "Indonesia Terserah" dan menjadi trending topic. Petanda adanya kekecewaan mereka atas sikap pemerintah dan masyarakat yang tidak konsisten dan kurang serius melawan musuh bersama (Covid-19). Wajar saja, saat korban masih terus berjatuhan, tapi penegakan disiplin kurang kompak dalam melaksanakan protokol pencegahan Covid-19. 

Oleh karena itu dalam kesempatan ini, perlu dihayati nilai-nilai kebangkitan  Nasional, saat pandemi Corona sedang membabakbelurkan kehidupan sosial, kebudayaan, dan ekonomi serta kesehatan.  

1. Nilai-nilai Kebangkitan Nasional Melalui Budi Utomo

Sebagaimana pada masa kebangkitan Nasional itu ditandai dengan 2 peristiwa krusial, yaitu berdirinya Budi Oetomo (20 mei 1908) dan ikrar sumpah pemuda (28 oktober 1928). Inilah dampak politik etis yang mulai diperjuangkan sejak masa Multatuli. Lantas, apa makna dan korelasi berdirinya Budi Oetomo dan bagaimana relevansinya dengan masa kini?. 

Makna berdirinya Budi Utomo adalah, bahwa segala itikad baik pemuda terpelajar yang terus menerus berjuang dengan prinsip akal sehat secara totalitas, pasti akan membuahkan hasil yang benar, jika sudah tiba masanya. 

Sebagaimana perjuangan organisasi Budi Utomo berhasil karena  bersifat sosial, ekonomi, dan kebudayaan sejak awal sudah beritikad baik. Organisasi ini tidak diawali pada syahwat kekuasaan politis. Tapi organisasi pemuda  yang didirikan Dr. Soetomo dan para mahasiswa Stovia merupakan awal gerakan yang efektif  untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Yaitu gerakan menyatukan visi-misi kebangsaan melawan penjajah. 

Gagasan Sutomo itu sangat menginspirasi rasa tanggung jawab yang tinggi. Menurutnya, masa depan bangsa dan tanah air pada masa depan, ada di tangan pemuda. Sehingga gagasan  yang awalnya berkembang dalam kalangan pendidikan Jawa, akhirnya berkembang secara nasional. Hingga diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional

Menariknya, meskipun mereka sebagai mahasiswa kedokteran yang sibuk, mereka menyempatkan diri untuk berorganisasi memikirkan nasib bangsanya. Mereka tidak bersikap autis, egois dan individualis serta apatis. Inilah yang patut dicontoh oleh mahasiswa saat ini khususnya para mahasiswa kedokteran yang saat ini menjadi benteng terakhir melawan wabah.

Wabah Corona telah menjadi multiflier effect. Mulai meningkatnya pengangguran, kemiskinan, kesenjangan sosial, serta ekonomi. Termasuk hutang yang melilit bangsa Indonesia semakin meningkat. 

Dengan  kesibukan sebagai mahasiswa, mereka memilih "kaum Tua' sebagai pemimpin organisasinya. Hal ini selaras dengan pemilihan khalifah saat Rasulullah wafat. Dimana Abu bakar adalah khalifah tertua yang lebih dulu dipercaya. Sedangkan pemuda  hanya memotori saja. Selain itu, kebanyakan "kaum tua" itu dari kalangan "priayi" atau kalangan bangsawan dari keraton. 

Akan tetapi, fase perkembangan penting Budi Utomo adalah saat dipimpin oleh Pangeran Noto Dirojo menyatu dengan Douwes Dekker, seorang indo-Belanda yang sangat pro dengan perjuangan bangsa Indonesia. Saat itulah momen yang tepat mewujudkan politik kedalam tindakan nyata hingga lahir Indische Partij. Tentu tidak lahir tiba-tiba. Tapi sudah sejak lama dipersiapkan Douwes Dekker melalui aksi persnya.

Selanjutnya perhatikan gerakan Budi Utomo dalam membuat kongres yang pertama di Yogyakarta. Hingga melahirkan 7 cabang di beberapa kota. Gerakan Budi Utomo ini termasuk gerakan infaq pada bangsa ini. Hal ini selaras dengan QS 2:261. 

"Perumpamaan mereka yang membelanjakan hartanya di jalan Allah, sepertihalnya sebutir benih yang menumbuhkan 7 bulir pada masing-masing bulir tumbuh 100 biji. Allah melipatgandakan pertumbuhan bagi yang menghendaki (petunjuk yang benar). Karena Allah satu-satunya yang paling memperluas kehidupan lagi paling mengilmuinya".

Dalam kongres pertama ini Raden Adipati Tirtokoesoemo terpilih sebagai presiden Budi Utomo yang pertama. Sejak itulah banyak kalangan bangsawan dan kolonial masuk. Saat itu pula muncul Sarekat Islam, perubahan dari Sarekat Dagang Islam yang Oleh Tjokroaminoto ditujukan untuk mempersatukan semua orang Indonesia yang tertindas oleh penjajahan. 

Perhimpunan Budi Utomo dan Sarekat Islam ini bukti bahwa Kebangkitan Nasional tidak bisa dipisahkan oleh adanya rasa senasib untuk sepenanggungan melawan musuh bersama yakni penjajahan.

Di zaman sekarang, penjajahan memang tidak lagi berupa kolonialisme. Para penjajah tidak lagi menginvasi militer asing ke Indonesia. Karena hal itu boros. Tapi yang masuk justru neokolonialisme yang sifatnya lebih irit dan halus cara kerjanya dalam penjajahan. Bentuk praktik kapitalisme, globalisasi, dan pasukan kultural imperialisme telah mengontrol Negara. Baik berupa ekonomi, budaya, maupun linguistik. Lalu ketika korporasi sudah tertanam, maka selanjutnya membuat kemajuan besar dalam membuka pasar di suatu negara.

Memang ini sulit dipahami dan dirasakan oleh orang-orang yang berhenti mempelajari perjalanan sejarah Indonesia ini. Untuk itulah pola Budi Utomo perlu diteladani. Dengan mempelajari dan menyadari bersama apa yang menjadi common enemy, Indonesia dapat bersatu, bahu membahu menyingkirkan duri-duri yang bersarang dalam daging bangsa ini. Duri-duri yang membuat bangsa ini bagaikan simalakama. Jika dibiarkan bangsa ini akan merasakan sakit yang berkepanjangan. Tapi bila duri-duri itu dicabut, bangsa ini akan menjerit dan merasakan nyeri yang dahsyat, walau hanya sekejap.

Salah satu duri-duri itu adalah sifat hedon dan konsumtif yang berurat berakar dalam jiwa kita. Kata nabi, penyakit manusia adalah cinta dunia dan takut mati. Buktinya meskipun pemerintah telah melarang kerumunan demi memutus mata rantai penyebaran wabah Corona, tapi masyarakat kurang peduli pada keselamatan dirinya sendiri, apalagi pada keselamatan orang lain.  Mal-mal dan pasar tetap disesaki oleh pengunjung. Itu terlihat di TVone. Demi terpuaskan hasrat belanja karena cintanya pada dunia. Dengan alasan untuk menyambut lebaran sebentar lagi. 

  1. Makna Lebaran Perlu Pembaharuan

Istilah "lebaran" tidak dapat dirujuk pada Al-Quran karena bukan istilah Al-Quran. Karena berdasarkan artikel karya M.A. Salmun yang dimuat dalam majalah Sunda tahun 1954, disinyalir istilah "Lebaran" berasal dari tradisi agama Hindu yang bermakna 'usai', 'sudah', atau 'selesai'. Yang kemudian orang-orang penganut Islam memaknai lebaran dengan 'sudah selesai berpuasa'.  Sebagian lagi menyatakan bahwa kata "Lebaran" berasal dari bahasa Jawa "wis bar", "bubar", dan "lebar" yang berarti 'sudah selesai'. 

Disini seakan-akan lebaran itu untuk perayaan karena dianggap sudah selesai. Padahal dalam Islam selesai itu bermakna tamat atau mati. Jadi bagi Muslim sudah selesai kewajibannya kalau sudah mati atau tamat. Karena masih hidup dan perjuangan belum selesai, maka hidup sederhana bagiku lebih utama dari pada hidup berpoya-poya.

Kata "Lebaran" juga dianggap orang berasal dari masyarakat Betawi yang kerap menyebut kata "lebar" yang bermakna 'luas'. Kemudian diartikan bahwa kata "Lebaran" pada masyarakat Betawi menggambarkan keluasan hati atau kelegaan hati setelah saling bermaaf-maafan pada Hari Raya Idul Fitri. 

Tentu saja, hal itu tidak berarti orang-orang yang terlilit hutang banyak akan terhapus hutangnya dan tak akan lega. Sebab kata nabi berhutang itu membuat gelisah pada malam hari dan terhina pada siang hari. Tentu orang yang terlilit hutang tidak akan merasa lega hatinya, walau meminta maaf kepada pemberi hutang. Apalagi kalau berhutang untuk berhura-hura, tentu bukan kebangkitan nasional yang diraih tapi malah keterpurukan nasional.

Yang diharapkan  setelah sebulan penuh kita puasa Ramadan adalah meningkatnya ketakwaan. Artinya semakin menjalankan perintah-Nya dan semakin menjauhi larangan-Nya. Dengan perkataan lain, jika tidak berlaku demikian, maka ada yang salah dengan dasar tujuan kita dalam berpuasa, bukan?.

Maka yang perlu dijauhi adalah sikap hedon dan konsumtif serta mubazir atas rayuan dan iming-iming korporasi. Apalagi bila sampai mengabaikan keselamatan saat wabah Corona masih merebak. Tentu sikap ini tidak sesuai dengan Islam sebagai agama keselamatan. Misalnya berkerumun di keramaian, tidak menggunakan alat pelindung diri dan tidak menjaga kebersihan bukanlah cermin orang yang bertaqwa.

Sebentar lagi lebaran, apakah harus selalu berdampak inflasi dan menjadi beban?. Apakah di tengah keprihatinan nasional kita perlu memamerkan kemewahan dan bermegah-megah?. 

Bukankah seharusnya Idul Fitri itu membuat kita bersiap kembali hidup menurut Zakat/Koperasi satu sistem kebangkitan perekonomian yang menjamin adil makmur?. Termasuk adil dalam penyaluran Bansos bagi yang terdampak Covid-19.

Itulah urgensinya nilai-nilai kebangkitan nasional yang pernah dirintis Budi Utomo dan Serikat Islam dipentaskan ulang dalam panggung peradaban Indonesia. Hanya dengan demikian lebaran bisa diperbaharui maknanya menjadi kebangkitan Nasional dan kebangkitan Islam yang mesra berdampingan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun