Ia mengamuk dan mulai membunuh satu persatu dan memancing tentara Jepang keluar dari gereja.Â
Adegan serangan sniper tersebut merupakan satu-satunya aksi baku tembak yang mewarnai film ini. Tentu saja dengan kemasan yang sangat menarik.
Adegan demi adegan terus berlanjut hingga penonton diajak untuk merasakan ketakutan dan kebencian terhadap kebuasan tentara Jepang  mengejar para murid.
Sungguh, pada titik ini aku mulai puas dan penasaran. Aksi tentara China ini menjadi padanan yang waawww keren dan melegakan.
Lega ketika mereka berdua berusaha menjebak tentara-tentara Jepang itu di luar gereja sehingga para siswi dan perempuan penghibur bisa selamat, meski dua siswi akhirnya tewas.
Seorang perwira Jepang, Kolonel Hasegawa (Atsuro Watabe) mendatangi gereja dan meminta para siswi untuk bernyanyi.
Awalnya Hasegawa berbaik hati memberikan cadangan makanan namun kemudian ia meminta para siswi datang ke markas Jepang untuk merayakan kemenangan mereka di Nanjing.
John menolak dengan alasan keselamatan para siswi, tapi Hasegawa berkeras bahwa permintaan itu adalah perintah atasannya, yang bahkan menempatkan tentara menjaga kompleks biara agar para siswi tidak kabur.
John berupaya memutar otak agar mereka dapat kabur dengan bantuan ayah Shu, Mr. Meng (Cao Kefan), yang menjadi antek tentara Jepang demi menyelamatkan anaknya guna mendapatkan surat izin keluar kota sambil memperbaiki truk yang ada di gereja.
Para siswi yang dipimpin oleh Shu sudah pesimistis dan ingin bunuh diri walau akhirnya berhasil dicegah oleh John, Yu Mo dan perempuan penghibur lainnya.
Yu Mo berhasil meyakinkan Shu dan kawan-kawan bahwa Yu dan perempuan penghibur lain bersedia bertukar peran untuk datang ke markas Jepang, meski ide itu mendapat tantangan dari rekan-rekan Yu.
Momen yang paling menyentuh adalah saat para wanita penghibur di Nanjing, bersedia menggantikan sejumlah mahasiswi yang diminta untuk "menemani" tentara Jepang.
Film "The Flowers of War" besutan sutradara kawakan Zhang Yimou, yang sebelumnya membuat "Hero" ini sungguh menggugah hati nurani kita.Â
Dalam film berdurasi 146 menit itu, Zhang Yimou bertutur tentang bagaimana semangat kemanusiaan ditampilkan pada masa perang.