Mohon tunggu...
Vethria Rahmi
Vethria Rahmi Mohon Tunggu... Penulis - Pranata Humas Ahli Muda Kanwil Kemenag Riau

Thalabul Ilmi yang tak berhenti belajar

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Esensi Perampingan Jabatan Struktural Menuju Fungsional

27 November 2019   15:25 Diperbarui: 27 November 2019   23:10 1509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagaimana diketahui, jabatan karir dalam birokrasi pemerintah dibedakan ke dalam 2 jenis, yakni jabatan struktural dan fungsional. Tapi banyak orang tidak menyadari kedudukan jabatan struktural yang bertingkat-tingkat itu terdesain seperti kasta. Dari tingkat yang terendah (eselon V) hingga yang tertinggi (eselon I/a). 

Stratifikasi sosial begini tanpa disadari telah sekian lama menjadikan adanya kesenjangan psikologis. Bawahan menjadi sungkan mengingatkan  jika atasan berbuat keliru. Padahal bukankah orang yang beriman itu perlu saling mengingatkan dengan yang haq?. Tidak sedikit atasan yang anti kritik konstruktif. Seolah yang paling mulia adalah yang paling tinggi jabatan strukturalnya. 

Benarkah bawahan terkesan harus membungkuk pada atasannya apapun titahnya?. Bukankah yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa?. Bukankah yang paling benar di sisi negara yang paling mematuhi regulasi?. 

Oleh karena itu gagasan perampingan jabatan struktural ini dapat menjadi terobosan bila tujuannya untuk persamaan derajat. Apalagi tidak sedikit pejabat struktural yang kerjanya belum efektif dan efisien. Sehingga  pejabat model demikian jadi penghambat tujuan pembangunan.

Merujuk data BAKN, ternyata saat ini jumlah eselon 1 di Indonesia  ada 575 orang (0,12%), sedangkan jumlah eselon 2 sebanyak 19.463 orang (4,23%). Sehingga total eselon I dan II sekitar 20.000 orang (4,35%). Yang mana jumlah eselon I-V sejumlah 460.067 orang.

Artinya proyeksi (outlook) realisasi belanja pegawai tahun 2019 sebesar 376.44 Triliun sebenarnya cukup besar. Namun apakah perampingan ini berdasarkan pertimbangan efisiensi agar belanja pegawai menjadi hemat?.

Ternyata bukan faktor efisiensi. Buktinya alokasi belanja pegawai dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020 kembali meningkat. Buktinya Pagu belanja pegawai dipatok sebesar 416.14 triliun tahun 2020.

Dengan demikian, sebenarnya perampingan pejabat struktural ini tidak terkait efisiensi anggaran belanja pegawai tapi kebijakan Presiden Jokowi agar prosedur investasi masuk bisa dipermudah. Selama ini dianggap pejabat struktural tidak tanggap atas kehendak Presiden Jokowi itu. Padahal menurut presiden, investasi dianggap mesin penggerak roda pembangunan yang utama. Namun besarnya investasi yang masuk itu belum sesuai yang diharapkan. Malah investor lebih memilih berinvestasi ke Vietnam karena memang lebih mudah dan nyaman prosedurnya bagi investor asing.

Lantas apa manfaat perampingan ini bagi ASN sendiri?. Apakah penyederhanaan eselonisasi birokrasi dapat  berdampak positif pada kinerja ASN?. Apakah dengan demikian tidak akan ada lagi ASN yang bergerak lamban dan pasif yang hanya menunggu perintah saja?.

Mungkin saja, karena Jabatan struktural akan sangat terbatas dan diharapkan akan diperebutkan dengan sangat transparan dan sengit. Sehingga diharapkan tidak lagi jabatan struktural diisi berdasarkan lamanya masa dinas pegawai semata. Namun lebih pada kompetensi dan Kredibilitas kinerja. ASN mungkin dikondisikan berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan mutunya baik melalui pendidikan formal maupun informal.

Dengan demikian SDM Pegawai yang unggul dapat tercapai secara massif dengan memperpendek jalur birokrasi seperti ini. Sekali lagi, Itu masih harapan.

Meskipun demikian, yang perlu diwaspadai justru masalah baru yang dapat muncul. ASN bukannya fokus pada pekerjaannya. Tapi, ASN nantinya justru melakukan berbagai upaya agar tetap bisa menduduki jabatan struktural di eselon I dan II karena adanya perampingan eselon III dan IV. Kalau sudah begitu, pelayanan kepada masyarakat bisa saja terganggu karena  ada pegawai yang semakin  saling sikut.  

Untuk meminimalkan risiko tersebut, pemerintah benar-benar harus merancang sistem birokrasi dan eselon ini secara detail. Setidaknya, butuh peraturan menteri pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi untuk menjadi landasan hukum yang jelas. Selain itu, pemangkasan eselon harus dilakukan bertahap, jangan tiba-tiba dipangkas langsung. Kerena perlu sosialisasi dan peresapan kesadaran. Karena dengan perampingan jabatan struktural ini, otomatis harus diisi dengan orang yang profesional dan berintegritas tinggi serta memiliki inovasi dan bertanggungjawab. Sehingga dapat dijadikan pejabat teladan bagi bawahannya. Jika pejabat struktural bersikap otoriter dan egois malah sangat berbahaya.

Bahkan diperkirakan untuk mengubah sistem perampingan tersebut  perlu waktu lebih dari dua tahun. Jangan sampai buang-buang waktu saja. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) dalam lima tahun ke depan jangan sampai hanya mengurusi pemangkasan jumlah eselon saja. Semua orang jangan sampai terkonsentrasi di sana. Kalau sampai begitu, justru akan mengganggu kinerja. 

Maka butuh keseimbangan antara kerja dan mengurus manajemen kerja.
Memang ada baiknya ide pemerintah perihal jabatan fungsional harus lebih ditumbuhkembangkan dan diprioritaskan. Karena  fungsi keahlian dan keterampilan kerja bisa dirasakan masyarakat luas bila pegawainya kompeten dan kredibel. Apalagi tugas pejabat struktural itu sejatinya untuk melayani bawahannya dan masyarakat dengan optimal. Pejabat struktural yang  minta dilayani atau mempersulit bawahannya dan masyarakat sudah saatnya dipangkas juga.

Oleh karena itu sebagai ganti pemangkasan jabatan struktural, pejabat eselon III dan IV di kementerian tersebut bisa ditempatkan  menjadi pejabat fungsional bila lolos seleksi yang sangat ketat. Dengan demikian tidak mengurangi pendapatan tapi mempercepat reformasi birokrasi. Prinsipnya, menyerahkan suatu urusan pada ahlinya dan skillnya menjadi harapan semua pihak.

Memang setiap kebijakan mengandung risiko. Bagaimana antisipasinya yang terpenting dipikirkan. Bukan tidak mungkin jika investor dipermudah malah risikonya bisa membawa dampak negatif yang lebih besar bagi Indonesia.

Itulah kenapa KPK mengimbau agar berhati-hati atas investasi dari Tiongkok. Karena tata kelola perusahaan-perusahaan mereka yang buruk. Pragmatisme pengusaha-pengusaha Tiongkok sudah sangat terkenal di seluruh dunia.

Padahal pembangunan berkelanjutan sudah ditetapkan sebagai pemandu pembangunan di Indonesia. Tapi investor dan pejabat struktural belum sepenuhnya tunduk pada paradigma tersebut.

Selanjutnya, apakah peraturan investasi sudah cukup menapis jenis-jenis industri yang membahayakan bagi lingkungan dan menggerogoti kesejahteraan masyarakat?

Bukankah pada dasarnya kita selama ini dihadapkan pada perangkap dilematis struktur piramida sosial ini. Mungkinkah reformasi birokrasi kelak berganti menjadi revolusi birokrasi?

Teks pancasila dan patung burung garuda memang ada. Tapi wujud pancasila sudah pernah adakah?. Potret keuangan yang maha kuasa tidak jarang kita saksikan.

Data dari Foreign Corruption Practices Act (FCPA) menyebutkan Tiongkok sebagai negara dengan tingkat pembayaran tidak wajar nomor satu. Tapi justru investasinya masih jadi tumpuan harapan.

Itulah kenapa pemerintah telah memangkas 201 jenis izin, dari 259 menjadi  58 saja. Dibandingkan negara lain, kita memang masih jauh tertinggal. Tiongkok selalu menempati urutan ketiga dalam besaran investasi asing di Indonesia. Tahun 2018 Singapura menempati urutan investasi terbesar di Indonesia, dikuti jepang. Investasi kedua negara ini mencapai lebih dari 56% investasi asing. Sedangkan investasi Tiongkok sendiri sebesar 8.3%.

Bagaimanapun hal ini menjadi tantangan berat. Satu-satunya solusi adalah memperkuat tata kelola di Indonesia sendiri  agar perusahaan-perusahaaan tiongkok dapat mengikuti standar tata kelola yang tinggi. Lagi-lagi yang paling bertanggungjawab adalah pejabat struktural dalam konteks ini.

Terkait memperkuat tata kelola inilah pejabat struktural membutuhkan sinergi dengan pejabat fungsional yang berkualitas dari hasil seleksi yang ketat.

Pejabat fungsional berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab secara langsung kepada pejabat pimpinan tinggi pratama, pejabat administrator, atau pejabat pengawas. Mereka ini yang memiliki keterkaitan pelaksanaan tugas Jabatan Fungsional (JF). Baik  pada kategori JF keahlian maupun keterampilan. Hal ini berlaku untuk  semua jenjang JF keahlian dan keterampilan.

Oleh karena itu hubungan antara pejabat struktural dan pejabat fungsional harus bisa menciptakan sinergi bukan malah menciptakan kompetisi. Di sinilah perlunya standar kompetensi yang tinggi untuk bisa menseleksi pejabat yang berkualitas tinggi dan egaliter serta tahu diri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun