Sebuah peristiwa yang seharusnya menjadi momen suci dalam merayakan Idul Adha justru ternodai oleh diskusi mengenai isu-isu politik praktis yang seringkali jauh dari nilai-nilai keadilan dan kejujuran. Kali ini, sorotan tertuju pada pernyataan Ganjar Pranowo, mantan calon presiden dan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), terkait kemungkinan pencalonan Anies Baswedan sebagai calon gubernur Jakarta pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Sebagaimana dikutip dari artikel di Tempo.co (https://nasional.tempo.co/read/1880885/apa-kata-ganjar-soal-nama-anies-masuk-radar-pdip-di-pilgub-jakarta), Ganjar mengatakan:
"Ganjar Pranowo, mantan calon presiden 2024, mengatakan dalam momentum pemilihan umum termasuk perhelatan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak, PDIP tetap memposisikan diri sebagai partai yang terbuka untuk semua, baik itu kader maupun non-kader. 'Hal ini mesti diobrolkan, mudah-mudahan bisa bernegosiasi,' kata Ganjar seusai salat Idul Adha di kawasan kediamannya di Sleman, Yogyakarta, pada Senin 17 Juni 2024."
Dengan nada retorika yang seolah-olah menjanjikan keterbukaan dan transparansi dalam proses seleksi calon, Ganjar Pranowo menyatakan bahwa PDIP akan mempertimbangkan semua kandidat, baik dari internal partai maupun dari luar. Namun, di balik kata-kata yang terdengar meyakinkan itu, terdapat sebuah realitas politik yang pahit dan kontradiktif dengan nilai-nilai demokrasi yang sejati.Â
Pertama-tama, kita perlu mempertanyakan logika di balik kemungkinan pencalonan Anies Baswedan oleh PDIP. Sebagai seorang tokoh yang dikenal memiliki pandangan politik yang cenderung konservatif dan memiliki basis massa yang kuat dari kalangan Islam garis keras, pencalonan Anies oleh PDIP menjadi sebuah partai yang mengklaim diri sebagai partai nasionalis sekuler terasa sangat janggal dan tidak masuk akal.
Dalam sejarah politik Indonesia, PDIP selalu mengampanyekan diri sebagai partai yang memegang teguh nilai-nilai Pancasila dan kebangsaan. Namun, dengan mencalonkan Anies Baswedan, partai ini seolah-olah mengkhianati prinsip-prinsip yang selama ini dijunjungnya. Bagaimana mungkin seorang tokoh yang dikenal dekat dengan kelompok-kelompok yang menginginkan penerapan syariat Islam di Indonesia dapat mewakili visi dan misi PDIP? Ini jelas merupakan sebuah kemunafikan politik yang mencoreng wajah demokrasi Indonesia.
Sebagaimana dikutip dari tulisan Goenawan Mohamad, seorang cendekiawan terkemuka, dalam bukunya "Pramoedya Ananta Toer Saya: 60 Menit Mencerahkan" (2002), beliau menegaskan, "Pancasila adalah fundamen kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Ia adalah perekat yang mempersatukan keberagaman suku, agama, ras, dan golongan di Indonesia." Dengan mencalonkan Anies Baswedan, PDIP seolah-olah mengkhianati prinsip-prinsip Pancasila yang seharusnya menjadi pedoman utama dalam berpolitik.
Dalam pernyataannya, Ganjar Pranowo menegaskan bahwa semua kandidat akan melalui proses seleksi dan pertimbangan yang ketat. Namun, pertanyaan yang muncul adalah, seberapa adil dan jujur proses tersebut nantinya? Bukankah pencalonan Anies Baswedan hanyalah sebuah langkah pragmatis untuk menarik dukungan dari basis massa konservatif demi kepentingan politik sesaat?
Prinsip keadilan dan kejujuran dalam demokrasi menuntut bahwa setiap kandidat harus dinilai berdasarkan kapasitas, integritas, dan visi mereka untuk membangun Indonesia yang lebih baik. Namun, dengan mencalonkan Anies Baswedan, PDIP seolah-olah mengabaikan prinsip-prinsip tersebut dan lebih mengutamakan kalkulasi politik jangka pendek.
Dalam konteks ini, kita perlu mengingat kembali pesan Bung Karno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945, yang menegaskan, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan salah satu sila dari dasar negara kita." Dengan mencalonkan seorang figur yang dikenal memiliki rekam jejak diskriminatif dan intoleran, PDIP seolah-olah mengkhianati prinsip keadilan sosial yang dijunjung tinggi oleh para pendiri bangsa.
Salah satu pilar utama PDIP adalah perjuangan untuk menegakkan nilai-nilai kebangsaan dan Pancasila. Namun, dengan mencalonkan Anies Baswedan, partai ini seolah-olah mengkhianati nilai-nilai tersebut. Sebagai seorang tokoh yang dikenal dekat dengan kelompok-kelompok yang menginginkan penerapan syariat Islam, pencalonan Anies oleh PDIP dapat dipandang sebagai sebuah upaya untuk merongrong prinsip-prinsip kebangsaan dan menyuburkan bibit-bibit radikalisme di Indonesia.
Dalam konteks ini, kita perlu mengingat kembali peringatan Bung Karno dalam pidato terkenalnya pada 1 Juni 1945, ketika beliau menyatakan, "Bangsa ini harus berdiri di atas prinsip kebangsaan, bukan golongan Islam atau Kristen, tetapi kebangsaan yang kita junjung tinggi." Dengan mencalonkan Anies Baswedan, PDIP seolah-olah mengabaikan pesan penting tersebut dan membuka pintu bagi ancaman radikalisme yang dapat memecah belah bangsa ini.
Lebih lanjut, kita juga perlu memperhatikan pandangan Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945, yang menegaskan, "Nasionalisme Indonesia bukanlah nasionalisme sempit yang hanya mengejar kepentingan golongan atau kelompok tertentu, melainkan nasionalisme yang merangkul seluruh bangsa Indonesia dalam semangat persatuan dan kesatuan." Dengan mencalonkan Anies Baswedan, PDIP terkesan mendukung pandangan politik yang sempit dan cenderung mengutamakan kepentingan kelompok tertentu, bukannya memperjuangkan nasionalisme Indonesia yang inklusif dan merangkul seluruh elemen bangsa.
Dalam sebuah negara demokrasi yang sehat, aspirasi dan keprihatinan publik seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan politik. Namun, dalam kasus pencalonan Anies Baswedan, PDIP seolah-olah mengabaikan suara-suara kritis dari masyarakat yang mempertanyakan kelayakan dan integritasnya sebagai calon pemimpin daerah.Â
Anies Baswedan memiliki catatan kontroversi yang panjang, termasuk kebijakan-kebijakan diskriminatif dan sikap intolerannya terhadap kelompok-kelompok minoritas saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Pencalonannya oleh PDIP dapat dipandang sebagai sebuah penghinaan terhadap nilai-nilai keadilan dan keberagaman yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia.
Sebagai contoh, kita dapat melihat kebijakan pelarangan kegiatan pengajian di beberapa tempat ibadah yang dilakukan oleh Anies saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Kebijakan ini jelas bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E ayat (1) yang menyatakan, "Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya."
Tidak hanya itu, Anies juga dikenal memiliki sikap yang kurang toleran terhadap kelompok-kelompok minoritas, seperti yang terjadi dalam kasus pelarangan acara yang melibatkan komunitas LGBT di Jakarta. Tindakan ini jelas melanggar prinsip non-diskriminasi yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28I ayat (2) yang menyatakan, "Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun."
Dengan mencalonkan seorang figur yang memiliki rekam jejak seperti itu, PDIP seolah-olah mengabaikan aspirasi dan keprihatinan publik yang menginginkan pemimpin yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, toleransi, dan keberagaman. Ini merupakan sebuah kemunafikan politik yang tidak dapat diterima dalam sebuah negara demokrasi yang sehat.
Pada akhirnya, isu pencalonan Anies Baswedan oleh PDIP merupakan sebuah tamparan terhadap martabat demokrasi itu sendiri. Demokrasi bukanlah sekadar permainan angka dan kalkulasi politik belaka, melainkan sebuah sistem yang dibangun di atas prinsip-prinsip keadilan, kejujuran, dan penghargaan terhadap keberagaman.
Dengan mencalonkan Anies Baswedan, PDIP seolah-olah mengkhianati prinsip-prinsip tersebut dan menunjukkan bahwa partai ini lebih mementingkan kepentingan politik sempit daripada kepentingan bangsa dan negara. Ini merupakan sebuah kemunafikan politik yang tidak dapat ditolerir dalam sebuah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi.
Sebagaimana ditegaskan oleh Amartya Sen, pemenang Nobel Ekonomi dan pemikir terkemuka dalam bukunya "Development as Freedom" (1999), "Demokrasi tidak hanya tentang pemilihan umum, tetapi juga tentang perlindungan kebebasan sipil, penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan pemberdayaan masyarakat." Dengan mencalonkan seorang figur yang memiliki catatan buruk dalam hal perlindungan kebebasan sipil dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, PDIP seolah-olah merendahkan martabat demokrasi itu sendiri.
Lebih jauh lagi, tindakan PDIP ini juga dapat dipandang sebagai sebuah pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang menjadi landasan konstitusional bagi negara Indonesia. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan dengan tegas, "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar." Dengan mencalonkan seorang figur yang memiliki rekam jejak yang kontroversial dan bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi, PDIP seolah-olah mengkhianati kedaulatan rakyat dan mengabaikan amanat konstitusi.
Dalam perayaan Idul Adha yang seharusnya menjadi momen spiritual dan penyucian diri, kita justru dihadapkan dengan narasi kemunafikan politik yang menyedihkan. Isu pencalonan Anies Baswedan oleh PDIP merupakan sebuah ironi yang mencoreng wajah demokrasi Indonesia dan mengkhianati prinsip-prinsip keadilan, kejujuran, dan kebangsaan yang seharusnya menjadi landasan utama dalam berpolitik.
Sudah saatnya kita, sebagai warga negara yang mencintai demokrasi, untuk bangkit dan menentang kemunafikan politik semacam ini. Kita harus tegas menolak narasi-narasi yang mengkhianati nilai-nilai kebangsaan dan membuka pintu bagi radikalisme dan intoleransi. Hanya dengan menegakkan prinsip-prinsip demokrasi yang sejati, kita dapat membangun Indonesia yang lebih adil, makmur, dan bermartabat.
Kita perlu mengingat kembali pesan Bung Karno dalam pidatonya pada 1 Juni 1945, yang menegaskan, "Jika kita tidak menghendaki timbulnya golongan atau partai di Indonesia yang menghisap darah rakyat atau bertindak despotis, kita harus menegakkan demokrasi yang sebenarnya." Dengan menentang kemunafikan politik seperti yang terlihat dalam isu pencalonan Anies Baswedan, kita sedang memperjuangkan demokrasi yang sejati, di mana kedaulatan rakyat, keadilan, dan penghargaan terhadap keberagaman menjadi pilar utama.
Pada akhirnya, kita harus mengingatkan diri kita sendiri bahwa demokrasi bukanlah sekadar slogan atau retorika kosong, melainkan sebuah perjuangan nyata untuk mewujudkan cita-cita keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Dengan menegakkan prinsip-prinsip demokrasi yang sejati, kita dapat membangun Indonesia yang lebih bermartabat dan dihormati di mata dunia internasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H