Mohon tunggu...
Verlandi Putra
Verlandi Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang Mahasiswa yang hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menanggapi Narasi Kemunafikan Politik dalam Isu Pencalonan Anies Baswedan

17 Juni 2024   18:53 Diperbarui: 17 Juni 2024   19:03 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://nasional.tempo.co/read/1880885/apa-kata-ganjar-soal-nama-anies-masuk-radar-pdip-di-pilgub-jakarta

Dalam konteks ini, kita perlu mengingat kembali peringatan Bung Karno dalam pidato terkenalnya pada 1 Juni 1945, ketika beliau menyatakan, "Bangsa ini harus berdiri di atas prinsip kebangsaan, bukan golongan Islam atau Kristen, tetapi kebangsaan yang kita junjung tinggi." Dengan mencalonkan Anies Baswedan, PDIP seolah-olah mengabaikan pesan penting tersebut dan membuka pintu bagi ancaman radikalisme yang dapat memecah belah bangsa ini.

Lebih lanjut, kita juga perlu memperhatikan pandangan Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945, yang menegaskan, "Nasionalisme Indonesia bukanlah nasionalisme sempit yang hanya mengejar kepentingan golongan atau kelompok tertentu, melainkan nasionalisme yang merangkul seluruh bangsa Indonesia dalam semangat persatuan dan kesatuan." Dengan mencalonkan Anies Baswedan, PDIP terkesan mendukung pandangan politik yang sempit dan cenderung mengutamakan kepentingan kelompok tertentu, bukannya memperjuangkan nasionalisme Indonesia yang inklusif dan merangkul seluruh elemen bangsa.

Dalam sebuah negara demokrasi yang sehat, aspirasi dan keprihatinan publik seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan politik. Namun, dalam kasus pencalonan Anies Baswedan, PDIP seolah-olah mengabaikan suara-suara kritis dari masyarakat yang mempertanyakan kelayakan dan integritasnya sebagai calon pemimpin daerah. 

Anies Baswedan memiliki catatan kontroversi yang panjang, termasuk kebijakan-kebijakan diskriminatif dan sikap intolerannya terhadap kelompok-kelompok minoritas saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Pencalonannya oleh PDIP dapat dipandang sebagai sebuah penghinaan terhadap nilai-nilai keadilan dan keberagaman yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia.

Sebagai contoh, kita dapat melihat kebijakan pelarangan kegiatan pengajian di beberapa tempat ibadah yang dilakukan oleh Anies saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Kebijakan ini jelas bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E ayat (1) yang menyatakan, "Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya."

Tidak hanya itu, Anies juga dikenal memiliki sikap yang kurang toleran terhadap kelompok-kelompok minoritas, seperti yang terjadi dalam kasus pelarangan acara yang melibatkan komunitas LGBT di Jakarta. Tindakan ini jelas melanggar prinsip non-diskriminasi yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28I ayat (2) yang menyatakan, "Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun."

Dengan mencalonkan seorang figur yang memiliki rekam jejak seperti itu, PDIP seolah-olah mengabaikan aspirasi dan keprihatinan publik yang menginginkan pemimpin yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, toleransi, dan keberagaman. Ini merupakan sebuah kemunafikan politik yang tidak dapat diterima dalam sebuah negara demokrasi yang sehat.

Pada akhirnya, isu pencalonan Anies Baswedan oleh PDIP merupakan sebuah tamparan terhadap martabat demokrasi itu sendiri. Demokrasi bukanlah sekadar permainan angka dan kalkulasi politik belaka, melainkan sebuah sistem yang dibangun di atas prinsip-prinsip keadilan, kejujuran, dan penghargaan terhadap keberagaman.

Dengan mencalonkan Anies Baswedan, PDIP seolah-olah mengkhianati prinsip-prinsip tersebut dan menunjukkan bahwa partai ini lebih mementingkan kepentingan politik sempit daripada kepentingan bangsa dan negara. Ini merupakan sebuah kemunafikan politik yang tidak dapat ditolerir dalam sebuah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi.

Sebagaimana ditegaskan oleh Amartya Sen, pemenang Nobel Ekonomi dan pemikir terkemuka dalam bukunya "Development as Freedom" (1999), "Demokrasi tidak hanya tentang pemilihan umum, tetapi juga tentang perlindungan kebebasan sipil, penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan pemberdayaan masyarakat." Dengan mencalonkan seorang figur yang memiliki catatan buruk dalam hal perlindungan kebebasan sipil dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, PDIP seolah-olah merendahkan martabat demokrasi itu sendiri.

Lebih jauh lagi, tindakan PDIP ini juga dapat dipandang sebagai sebuah pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang menjadi landasan konstitusional bagi negara Indonesia. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan dengan tegas, "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar." Dengan mencalonkan seorang figur yang memiliki rekam jejak yang kontroversial dan bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi, PDIP seolah-olah mengkhianati kedaulatan rakyat dan mengabaikan amanat konstitusi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun