Mohon tunggu...
Fiksiana

Menyelami Dunia Ubur-Ubur Lembur

22 Februari 2018   18:14 Diperbarui: 22 Februari 2018   18:22 9263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Ubur-Ubur Lembur adalah novel terbaru Raditya Dika yang baru saja rilis tanggal 1 Februari 2018 kemarin. Novel ini tentu saja menjadi salah satu yang sangat dinantikan oleh para penggemar novel Raditya Dika setelah novel Kuala Kumal yang terbit tahun 2015 lalu. Seperti tujuh novel sebelumnya, Raditya Dika masih mengangkat nama hewan sebagai ilustrasi atas kehidupan yang pernah ia jalani di masa lalu. Nyatanya, hal tersebut merupakan daya tarik tersendiri bagi para pembaca. Novel Ubur-Ubur lembur ini merupakan kompilasi pengalaman pribadi Raditya Dika yang di hadirkan menjadi bab-bab di dalam novel. Secara garis besar, novel ini mengisahkan tentang perjalanan karir Raditya Dika dari masa ia masih menjadi pekerja kantoran biasa hingga ia menjadi public figure dengan segudang kesibukan seperti saat ini. Kemudian diantara kesibukan-kesibukan itu muncullah kisah-kisah 'berkesan' yang terselip didalamnya. Novel ini dihadirkan sangat lekat dengan kekhasan seorang Raditya Dika yang humoris dan sangat apa adanya, sehingga tak heran genre novel ini adalah komedi yang disampaikan dengan bahasa yang juga sangat ringan untuk dikonsumsi para pembaca.

Seperti yang saya jelaskan di paragraf sebelumnya, buku Ubur-Ubur Lembur di angkat dari kisah nyata Raditya Dika. Tentu saja, dalam novel ini Radit mengisahkan kembali kejadian-kejadian yang 'berkesan' saat itu. Alur cerita yang hadir adalah alur cerita mundur. Contohnya adalah kutipan dari bab Raja di Sekolah berikut ini.

"Ketika SD, gue main Final Fantasy. Tiap bulan main ke rumah temen, anak orang kaya, minjam majalah GamePro-nya buat liat tip dan trik. Masuk ke SMP, gue bahkan punya geng main game berisi lima belas orang dari kelas yang berbeda." (hlm. 55)

Kata-kata "Ketika SD, ..." dan berlanjut kepada kalimat berikutnya yaitu "Masuk ke SMP, ..." menunjukkan bahwa dia memulai ceritanya di suatu waktu di masa lampau. Novel ini memang mengisahkan tentang kejadian yang dimulai sejak Radit yang belum masuk ke Sekolah Dasar sampe saat ini, dimana dia sudah menjadi terkenal. Bisa dibilang, latar waktu yang dia ceritakan itu sejak tahun 90-an sampai saat ini. Seperti pada kutipan berikut ini yang menjelaskan waktu kejadian itu terjadi.

"Sewaktu gue kecil dulu, tepatnya menjelang masuk SD, gue pernah tinggal di Jepang selama setahun." (hlm.100)

"Pada saat buku ini terbit, umur gue memang memasuki fase menjelang om-om." (hlm. 203)

Dari situ kita bisa tahu bahwa waktu terus bergulir seiring kejadian-kejadian yang 'mengesankan' itu terus bertambah dan melengkapi kisah hidup seorang Raditya Dika kecil yang bertumbuh menjadi sosok yang dewasa.  

Seperti yang kita ketahui bersama, sebagai seorang sutradara film, Raditya Dika tentunya tak hanya berkutat di lokasi shooting saja. Namun, ketika film tersebut mulai ditayangkan di bioskop, biasanya sutradara dan kru film lainnya akan mengadakan jumpa penggemar di beberapa bioskop ataupun menghadiri festival film. Hal tersebut mengharuskan Raditya Dika untuk menyambangi daerah-daerah lain di dalam maupun di luar negeri. Tentunya, cerita ini banyak sekali mengabadikan kejadian-kejadian berlatar tempatkan di bandara. Seperti pada beberapa kutipan novel ini.

"Kami mendarat di Okinawa pukul sembilan malam. Keluar dari gerbang kedatangan, gue melihat ada orang Jepang yang tingginya sekitar 170-an sentimeter memegang kertas bertuliskan RADITYA DIKA." (hlm.109)

"Obsesi orang Indonesia terhadap artis ini gue rasakan ketika mendarat di Bandara Adi Sutjipto, Jogjakarta pada akhir 2016." (hlm. 168)

Selain bandara, tempat lain yang sering muncul adalah kafe. Karena, jika kita mengingat kembali bahwa Raditya Dika bukan hanya seorang sutradara tetapi juga seorang penulis. Layaknya penulis yang lain yang meiliki tempat favorit untuk menghabiskan waktu untuk sekedar menulis, mencari inspirasi atau duduk saja, mungkin Raditya Dika memilih kafe sebagai tempat favorit tersebut. Seperti pada penggalan cerita berikut.

"Gue sedang menulis buku ini di sebuah kafe di Kemang Village, Jakarta Selatan. Kalau lagi nulis buku, ritual gue selalu sama. Gue datang ke kafe yang sama." (hlm. 49)

Sebagai tambahan informasi, bahwa Raditya dika merupakan penulis kelahiran Jakarta. Dia tumbuh dan besar di kota metropolitan ini. Maka, bukan sesuatu yang aneh jika dalam tulisan-tulisannya ia sudah mengenal teknologi sejak ia masih belia. Dalam salah satu bab di bukunya kali ini, terdapat bagian dimana diperkirakan saat itu masih tahun 90-an. Akan tetapi, topik bahasan dengan teman satu SD --nya sudah tentang playstation game.

" 'Itu bego.' Raja mengambil CD Tekken di tangan gue. 'Tekken. Siapa jagoan lo di Tekken?'

'Oh.' Gue berdeham. 'Gue suka Yoshimitsu.'

'Sama,' kata Raja. 'Combo-nya keren banget, ya. Gue udah bisa, tuh, yang kompletnya.'

....

Dari Tekken, obrolan jadi ke game lainnya. Dragon Ball. Final Fantasy. Sampai ke game yang nggak banyak orang tahu, Beyond go Beyond." (hlm. 64)

Buku ini memang bukan cerita berkesinambungan dengan suatu awalan dan memiliki akhiran yang sudah jelas. Bukannya tak memiliki akhiran, memang karena buku ini di angkat dari kisah nyata yang kisah penulisnya memang belum berakhir. Bab-bab yang teracak dan tidak runtut secara urutan waktu, memang menjelaskan kisah yang berbeda dengan tokoh yang berbeda pula. Penulis sekaligus pemeran utama dalam novel ini adalah Raditya Dika. Sosok yang sederhana begitu tergambar jelas dalam cerita demi cerita yang dia kisahkan dalam novel ini.

"Ronald mengamati gue. Hari itu gue memakai kaus polos, celana pendek, dan sandal jepit, seperti biasanya kalau gue keluar rumah." (hlm. 202)

Dengan penjelasan dari apa yang ia kenakan saat itu, padahal dia sedang berada di sebuah gedung perkantoran, menegaskan bahwa dia adalah seorang yang apa adanya. Walaupun dia terkenal, tampil apa adanya bukanlah menjadi hal yang memalukan bagi seorang Raditya Dika. Selain sederhana, Radit adalah orang yang terkenal karena kekocakannnya. Terbukti, bahwa tingkahnya yang kadang tak biasa itu, banyak mengundang gelak tawa. Seperti pada kutipan ceritanya ini.

"Ditawarin orang diantar ke rumah, pasti gue tolak. Di jalan ketemu orang seram, gue langsung merangkul erat tas sekolah. Ditawarin permen sama orang nggak dikenal, gue langsung bilang, 'Nawarin narkoba, ya!' Padahal, orang yang nawarin adalah kepala sekolah. Lebih baik berhati-hati daripada celaka." (hlm. 184)

Bagaimana dia bisa melakukan hal tersebut, sedang dia tahu bahwa yang menawarinya adalah seorang Kepala Sekolah. Orang normal mana yang bisa mengatakan hal tersebut kepada orang yang memiliki jabatan tertinggi disekolahnya. Hanya Raditya Dika yang bisa melakukan hal semacam itu.

Di bab pertama, Dua Orang Yang Berubah, mengisahkan bagaimana Radit terlibat kedalam hubungan teman baiknya yaitu Adri dan Sally. Adri adalah seorang karyawan di sebuah perusahaan telekomunikasi. Sedangkan Sally adalah kekasih Adri yang berprofesi sebagai model. Sebagaimana yang dijelaskan pada kutipan di bawah ini.

"Namanya Adri, tinggal di dekat rumah gue. Dia adalah karyawan di sebuah perusahaan telekomunikasi. Sangat jago segala hal yang berbau computer. (hlm. 4)

Kedua, mari gue kenalkan ceweknya Adri. Namanya Sally, mahasiswi komunikasi di salah satu kampus yang terkenal dengan cewek-cewek cantiknya. Sally, dari SMA sudah menghidupi dirinya sendiri dengan menjadi model." (hlm.5)

Mereka adalah sepasang kekasih yang suka menjadi pusat perhatian publik dan hobi memamerkan apapun yang mereka lakukan dari media sosial masing-masing, terutama melalui Instagram. Digambarkan secara jelas bagaimana sikap mereka dalam penggalan cerita ini.

"... Tiap kali mereka bertemu, pasti ada foto mereka sedang pelukan dengan caption sama: my forever. Semua profile picture social media mereka adalah foto berdua. Sally memajang foto berdua dengan Adri sedang makan di sebuah kafe. Adri memasang foto berdua dengan Sally, siluet mereka di pantai.

Kalau lagi malam Minggu, mereka akan Instagram live berdua di handphone Sally." (hlm. 6)

Berganti ke bab kedua yang berjudul Pada Sebuah Kebun Binatang, dimana pada bab ini Raditya juga masih terlibat dalam hubungan seorang teman dekatnya sejak dahulu kala, bernama Naya.

"...Mengenalnya sejak zaman sekolah dulu, Naya nggak berubah sama sekali." (hlm. 20)

Disini, Radit menyatakan bahwa Naya adalah orang yang dramatis.

"Naya menatap gue beberapa detik lalu akhirnya buka mulut. 'Gue benci cinta.'

Gue tertawa kecil. Naya memang kadang bisa agak dramatis." (hlm. 20)

Pernyataan Naya saat dia mengatakan bahwa ia benci cinta-lah yang menyebabkan penulis menganggap bahwa Naya adalah orang yang dramatis. Karena penulis tau persis, watak temannya yang satu ini. Bab Mata Ketemu Mata adalah bab dimana Radit bertemu dengan pacar baru sang mantan kekasihnya. Dia mengetahui tentang pacar mantan kekasihnya yang bernama Ben dari hasil stalking hampir semua media sosial Ben. Hasil stalking tersebut seperti yang ada di kutipan berikut.

"... Ben punya perusahaan creative agency sendiri. Biasanya kalau ada brand yang ingin beriklan di media sosial, dia akan mencarikan platform yang sesuai agar brand yang beriklan dapat jangkauan terbaik. Selain itu, Ben suka main drone, senang membaca buku, dan setiap weekend dia habiskan dengan menonton bola bersama teman-temannya." (hlm. 43)

Di dua bab setelahnya, Radit menceritakan tentang teman SD nya yang bernama Raja. Raja merupakan seorang yang amat bringas dan menjadi murid yang paling ditakuti oleh siswa lainnya. Walaupun nampak luar Raja yang tak segarang kenyataannya karena badannya juga tak terlalu besar,  teman-temannya memilih menghindari segala urusan yang berhubungan dengan Raja.

"Satu sekolah takut sama Raja. Setiap kali dia lewat, banyak orang pura-pura nggak melihat. Padahal, penampakannya terlihat keren. Dia anak orang kaya. Kulitnya putih, baju seragamnya kebesaran, sepatu kets, rambutnya dipotong poni ala jamur Kobo-Chan. Dia terlihat kurus, kecil, tapi nyalinya besar. ... Banyak mitos soal dia beredar dimana-mana. Dari mulai 'Si Raja pernah menang berantem lawan lima orang anak sekolah sebelah' sampai ke yang absurd seperti 'Si Raja pernah main jaelagkung, eh, jaelangkungnya malah yang kesurupan.'" (hlm. 61-62)

Bab Dibawah Mendung yang sama, Radit berkisah tentang Kathu. Kathu adalah seorang anak pindahan dari India yang tinggal di samping rumah Radit. Mereka bertemu di bawah rintik hujan saat Kathu berada di luar rumahnya menunggui orang tuanya yang belum pulang ke rumah. Saat itu, Radit masih kelas lima SD. Mereka sempat berpisah karena Kathu yang kembali ke India. Tak lama setelah itu, terdengar kabar abahwa ayah Kathu yang merupakan pemaintabla terkemuka di India menghadap Sang Pencipta. Hal tersebut tentu saja memukul bagi seorang Kathu yang masih berusia 15 tahun. Hingga Kathu bertekad pada saat itu untuk melanjutkan apa yang ayahnya sudah ajarkan kepadanya, khususnya tabla. Dia ingin menjadi pemain tabla terkenal seperti ayahnya dan beberapa tahun setelah itu dia membuktikan bahwa dia dapat meraih mimpi itu. Seiring berjalannya waktu, Radit dan Kathu akhirnya bertemu kembali melalui facebook yang sedang menjadi media sosial yang tengah naik daun saat itu. Namun, mereka tak dapat berhubungan lagi beberapa saat setelah itu karena Radit yang lupa dengan kata sandi akun facebook-nya. Hingga pada suatu ketika, mereka dipertemukan kembali saat Kathu kembali ke Indonesia karena suatu urusan. Sosok Kathu kecil kini sudah berubah menjadi seseorang yang sangat kharismatik. Menurut Radit, Kathu adalah orang yang sangat dewasa juga realistis dalam menjalani hidup.

 "'Aku ingin jadi pemain musik seutuhnya, Dika. Aku jadi guru karena orang India nggak banyak apreasi permainan tabla,' kata Kathu. 'Jadi, aku harus mencari pekerjaan lain. Aku harus kompromi.'" (hlm.98)

Dalam kutipan ini, begitu terlihat jelas bagaimana ketegaran Kathu untuk meninggalkan hal yang sudah dia impikan sejak lama sebagai pemain tabla, tentu saja untuk melanjutkan hidupnya.

Rumah yang Terlewat adalah bab yang menceritakan tentang masa kecilnya yang sempat ia habiskan di Jepang. Disana, ia memiliki keluarga baru dimana keluarga tersebut merupakan sepasang suami istri yang sudah cukup tua dan menganggap ibu Radit sebagai anaknya dan Radit sebagai cucunya. Radit memanggil mereka Oma dan Opa. Seperti pada kutipan berikut ini.

"Ketika datang, mereka suka membawakan gue buku berbahasa Inggris atau mainan. Opa pernah sekali membawakan gue baling-baling bambu, mainan dari serial Doraemon." (hlm.102)

Dari contoh di atas, terbukti bahwa Oma dan Opa sangatlah menyangi Radit, walaupun Radit adalah cucu angkat mereka. Cerita masih berlanjut di bab Percakapan dengan Seorang Artis, dimana Prilly Latuconsina lah yang dimaksud artis oleh Radit dalam kisah ini. Mereka membahas tentang banyak hal, terutama tentang kesepian seorang Prilly Latuconsina sebagai public figure yang kenyataannya bahwa selama ini dia hidup dikelilingi oleh banyak orang dan hingar bingar kehidupan.

"'Tahu nggak apa yang orang nggak tahu tentang public figure?'

'Apa, Kak?'

'Banyak dari kita yang merasa kesepian.'

Mata Prilly terbuka lebar. 'Aku banget itu. Aku nggak punya temen dekat.'" (hlm. 153)

"'Kesepian itu bingung ya, Kak.' Dia meletakkan cangkir dengan pelan, kali ini gue bisa melihat sepasang matanya tampak mengawang.

'Bingung gimana?'

'Kadang suka ngerasa kangen, loh.' Prilly tersenyum tipis. Dia lalu melanjutkan perkataannya, 'Tapi nggak tahu sama siapa.'

'Maksudnya?' tanya gue.

'Iya. Aku ngerasa kangen tapi nggak tahu apa yang dikangenin dan siapa yang dikangenin.'" (hlm. 154-155)

Dari kutipan percakapan Radit dan Prilly diatas kita dapat menyimpulkan bahwa tak semua yang kita lihat menyenangkan bagi seseorang adalah sesuatu yang benar-benar menyenangkan untuk dijalani oleh seseorang itu sendiri. Sedih memang. Namun, di sisi dunia yang masih awam, seorang anak bertemu dengan Radit di sebuah bandara. Dia adalah seorang anak SMP yang berobsesi menjadi seorang artis.

"'Mau nanya, Bang,' kata dia. 'Boleh, nggak?'

 'Tergantung,' tanya gue. 'Kalau kamu nanya PR Matematikamu, ya, aku nggak bisa jawab. Yang aku tahu paling luas lingkaran itu 22/7 dikali jari manis apa kelingking gitu. Lupa.'

'Bukan, bukan mau nanya PR,' kata dia, menanggapi serius. 'Aku mau nanya Bang, gimana, sih, caranya jadi artis?'" (hlm. 170) 

"'Kamu duduk dulu aja sini,' kata gue kepada si anak SMP. Dia mengangguk lalu duduk di samping gue. Dia terlihat canggung. Gue bertanya, 'Nama kamu siapa?'

Matanya melotot, terbuka lebar.Mungkin senang karena gue tanya namanya, atau dia hendak kesurupan. Dia menjawab 'Iman.'

'Iman.' Gue menatap matanya, tajam. 'Emang kenapa mau jadi artis?'

'Kenapa, ya?' jawab Imam, bingung. 'Soalnya enak aja gitu.'

'Enak aja gitu gimana? Duren juga enak aja gitu,' kata gue.

'Ya maksudnya orang orang suka.'" (hlm.171-172)

Dari kutipan percakapan antara Radit dan Iman menjadi satu contoh nyata bahwa khalayak umum tentu saja mengangap menjadi artis itu menyenangkan, namun jika dibandingkan dengan kutipan tentang kesepian Prilly sebelumnya, tentu saja ada ketidaksinambungan diantara apa yang dipikirkan Imam dan yang dirasakan Prilly.

Dalam novelnya kali ini, Raditya Dika mengambil sudut pandang tentang kisah-kisah remeh, dan menemukan sesuatu di dalam keremehan itu untuk ditertawakan dan dipikirkan bersama. Dia menjadi pemeran utama dan penulis yang sangat apik dalam menyampaikan setiap pesan kepada para pembaca. Tulisannya yang sangat mudah untuk diilustrasikan juga setiap percakapan yang sangat lekat dan sangat mudah untuk dibayangkan bagaimana seorang Raditya Dika melafalkan kata demi katanya, membuat pembaca larut ke dalam setiap cerita.

Profil Penulis

Raditya Dika, seorang penulis, sutradara, actor, youtuber dan stand-up comedian tersohor di Indonesia ini mengawali karirnya pada tahun 2005 melalui debut pertama tulisannya yang berjudul Kambing Jantan: Sebuah Catatan Harian Pelajar Bodoh. Radit lahir pada tanggal 28 Desember 1984 di Jakarta. Dia pernah menempuh pendidikannya di Adelaide Australia dan dia adalah seorang alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia. Tak heran, dengan pendidikan yang sudah dibekalkan kepadanya itu, kini ia bisa menjadi orang yang mapan. Hobi menulis yang sejak dulu dia tekuni, mengantarkannya pada kesuksesannya saat ini.

Dalam bukunya kali ini, Radit kembali mengangkat kisah-kisah yang bernada hal-hal remeh namun sangat berarti baginya. Dia menyuarakan apa yang sebenarnya dia alami dan rasakan, terutama sejak awal karirnya sebagai penulis yang harus mengorbankan kehidupan kantor dan embel-embel karyawan perusahaan untuk mengejar sesuatu yang menurut orang-orang pada umumnya bukanlah hal yang umum untuk di capai. Dia mengejar sesuatu yang masih abstrak dan belum jelas apa yang bisa dia dapatkan dari hal itu. Namun, dia tetap pada pendiriannya, karena dia tau betul bahwa hal itu yang benar-benar dia cintai. Di buku ini, pesan Radit kepada pembaca tentang ketulusan dalam melakukan hal yang kita cintai dan apa yang membuat kita nyaman sangatlah membuka mata pembaca. Hal pertama yang perlu kita lakukan untuk menuju sukses adalah meyakini apa yang menurut kita pikir benar, walaupun banyak orang yang meragukannya. Makna ubur-ubur lembur sendiri adalah sebagai analogi pekerja kantoran yang lemah, lunglai, hanya hidup mengikuti arus. Walaupun sudah lembur sampai malam, tapi tak bahagia. Mereka seolah tak menemukan makna sesuatu yang berarti dalam kehidupannya. Sungguh estetik memang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun