“Kosongkan matamu, Musto! Mistik yang kau pelajari semakin membuatmu aneh”.
“Kalian yang aneh!”
“Sudahlah, kami tidak memaksamu untuk menjadi seperti kami”. Mereka meninggalkan Musto.
Sembari memikirkan cara yang bagaimana agar para sahabatnya itu sungguh kembali menjadi percaya, ia terduduk di bawah pohon konifera besar. Dilihatnya di atas awan ada busur membentang. Itu pertanda hujan akan turun dengan amat lebat untuk membasmi seluruh manusia di bumi seperti jaman Nuh. Maka, cepat-cepat ia berlari ke puncak gunung untuk berbicara pada Tuhan.
Dalam perjalanannya menuju puncak gunung, dilihatnya sepasang kekasih sedang memadu cinta di tepi sungai. Musto menghampiri mereka lalu berbincang dengan mereka. Ia menerangkan perkara mata Tuhan yang bisa melihat dimanapun orang berada dan apapun yang dilakukan orang. Jika perbuatan orang immoral, Tuhan akan mengutus Jari-Nya dan menjentik orang tadi hingga nyawanya terenggut dari tubuh.
“Tuhan itu tak ada dimana-mana”. Mereka berdua menertawakan Musto.
“Kalian sungguh tak tahu tanda apa yang menjadi kehadiran-Nya”.
“Memang kami tidak tahu dan apa gunanya kami tahu. Kau dipengaruhi mistik, Musto”.
Musto meminta dengan sangat agar mereka mau mendengarkan penjelasannya. Mereka mengijinkan dan mempersilahkan dia untuk mengatur posisi yang terbaik. Mereka mendengar penuh perhatian sehingga Musto tidak mau membuang kesempatan berharga itu. Besar harapannya bahwa mereka menjadi percaya pada penjelasannya.
“Benarkah Tuhan bisa dimana-mana?” Mereka mulai ragu.
“Bahkan dalam hatimu dan mengetahui seluruh tabiatmu sebelum engkau melakukannya”. Musto tampak bersemangat karena merasa mulai diterima.