Mohon tunggu...
Venansius
Venansius Mohon Tunggu... Guru - Guru, Musisi, dan Budayawan

Guru, Musisi, Budayawan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mata Tuhan

13 September 2021   14:29 Diperbarui: 13 September 2021   14:33 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Apapun yang terjadi, Musto sangat yakin bahwa mata Tuhan tetap bisa melihat apa yang dilakukan oleh manusia. Maka dari itu, dia tidak mau main-main dengan tindakan yang sembarangan apalagi mencuri. Bukankah kalau kita bersembunyi mata Tuhan juga tahu dimana tempat persembunyian itu?

Musto ingin membuktikan pada Marcus bahwa ihwal itu benar adanya. Dan Marcus selalu mengatakan bahwa Musto telah dipengaruhi mistik. Setelah itu, Marcus menolak kepalanya. Musto tak membalas, ia yakin mata Tuhan mengawasi apa yang dilakukan sahabatnya itu.

Perkara menjelaskan itu semua bukanlah gampang untuk Musto. Bagaimana menjelaskan hal tersebut kepada orang-orang yang lebih percaya kepada perhitungan manusiawi. Memang mereka mengandalkan pikiran sehingga mereka lebih percaya bahwa Tuhan tidak terlibat.

Musto tak mau mengulas. Jika ia melakukan itu semua, bagaimanapun mata Tuhan mengintipnya melakukan sesuatu. Dia takut kalau Tuhan telah melihat perbuatannya yang menyimpang maka nyawanya akan diambil. Biarlah mata Tuhan melihat yang dilakukan orang terhadap dirinya.

Namun, hatinya tentu saja didesak keinginan untuk mengatakan kepada semua orang supaya jangan gegabah bertindak sebab mata Tuhan sedang mengamat-amati. Orang yang didapati-Nya melakukan tindak immoral akan dicabut nyawanya. Musto sungguh takut terhadap hal itu sebab ia sendiri menyaksikan bagaimana nyawa seorang penjambret di pasar tempo hari dicabut dengan pedang oleh seorang laki-laki bertubuh tinggi-tegap.

Sebelum penjambret itu megap-megap meraba nafas, sebuah Nissan hitam melibas tubuhnya ketika ia melintasi jalan raya untuk menghindari amuk massa. Orang-orang berkerumun seperti semut menggauli gula. Darah bersimbah dimana-mana; di jalanan, di tembok-tembok trotoar atau di moncong Nissan itu sendiri. Penjambret tak berdaya karena nyawa mengambang. Betul-betul mengambang. Maka, tak lama setelah itu muncul seorang laki-laki bertubuh tinggi-tegap.

Setelah merampas jiwa penjambret, seorang bertubuh tinggi-tegap menatap ke arahnya bengis. Orang itu menunjuk ke langit dan menengadahkan wajah. Tampaklah nur benggala melumuri tubuhnya. Sedetik kemudian, seorang bertubuh tinggi-tegap itu lenyap berasap. Herannya, tampak tak satu pun orang yang berada di situ menghiraukan seorang bertubuh tinggi-tegap tadi.

Musto bertanya dengan herannya kepada mereka. Bagaimana mungkin mereka tidak melihat seorang bertubuh tinggi-tegap dengan kejam merenggut nyawa penjambret. Semua orang yang ditanyainya menggeleng. Bahkan mereka mengejek pertanyaannya. Kata mereka Musto telah dipengaruhi mistik. Musto tak sabar dan hanya ingin membuktikan apa yang dilihatnya itu nyata.

Setiap kali ia menjelaskan kejadian itu, orang-orang meremehkan dan meminta untuk menyudahi omong kosongnya. Mereka menyarankan kepada Musto untuk jangan percaya pada hal yang tak sampai dijelaskan akal. Mereka mengetuk kening dengan telunjuk. Musto diam. Ia tahu maksudnya bahwa sekarang jaman rasio, bukan jaman hal tak berbentuk.

“Tuhan sudah dibunuh, Musto! Jangan kau membuat dirimu sendiri terpenjara oleh mata yang kau anggap mata Tuhan”. Ingin rasanya Musto menampar mulut mereka. Mereka sungguh tak tahu bagaimana Tuhan bertindak dengan mengirimkan utusan untuk melakukan hal setimpal dengan perbuatan.

“Tunggu saja, kalian akan melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Tuhan bertindak”.

“Kosongkan matamu, Musto! Mistik yang kau pelajari semakin membuatmu aneh”.

“Kalian yang aneh!”

“Sudahlah, kami tidak memaksamu untuk menjadi seperti kami”. Mereka meninggalkan Musto.

Sembari memikirkan cara yang bagaimana agar para sahabatnya itu sungguh kembali menjadi percaya, ia terduduk di bawah pohon konifera besar. Dilihatnya di atas awan ada busur membentang. Itu pertanda hujan akan turun dengan amat lebat untuk membasmi seluruh manusia di bumi seperti jaman Nuh. Maka, cepat-cepat ia berlari ke puncak gunung untuk berbicara pada Tuhan.

Dalam perjalanannya menuju puncak gunung, dilihatnya sepasang kekasih sedang memadu cinta di tepi sungai. Musto menghampiri mereka lalu berbincang dengan mereka. Ia menerangkan perkara mata Tuhan yang bisa melihat dimanapun orang berada dan apapun yang dilakukan orang. Jika perbuatan orang immoral, Tuhan akan mengutus Jari-Nya dan menjentik orang tadi hingga nyawanya terenggut dari tubuh.

“Tuhan itu tak ada dimana-mana”. Mereka berdua menertawakan Musto.

“Kalian sungguh tak tahu tanda apa yang menjadi kehadiran-Nya”.

“Memang kami tidak tahu dan apa gunanya kami tahu. Kau dipengaruhi mistik, Musto”.

Musto meminta dengan sangat agar mereka mau mendengarkan penjelasannya. Mereka mengijinkan dan mempersilahkan dia untuk mengatur posisi yang terbaik. Mereka mendengar penuh perhatian sehingga Musto tidak mau membuang kesempatan berharga itu. Besar harapannya bahwa mereka menjadi percaya pada penjelasannya.

“Benarkah Tuhan bisa dimana-mana?” Mereka mulai ragu.

“Bahkan dalam hatimu dan mengetahui seluruh tabiatmu sebelum engkau melakukannya”. Musto tampak bersemangat karena merasa mulai diterima.

Musto juga menjelaskan bagaimana laki-laki bertubuh tinggi-tegap merenggut nyawa penjambret di pasar tempo hari. Bukan hanya itu, Musto pun memberitahu gejala Tuhan memperlakukan manusia, salah satunya adalah penampakkan busur di atas awan. Musto menunjuk langit. Ketiganya menengadah. Tapi, sepasang kekasih itu tak melihat sesuatu yang boleh dikira penampakan busur di atas awan selain kumpulan awan gemawan yang memutihkan birunya langit.

Musto tahu mereka tak melihat yang dimaksud. Dari dahulu dia sadar bahwa hanya dia yang bisa melihat tanda seperti itu lalu menerjemahkannya. Bagaimanapun sulitnya diterima hal semacam itu, Musto berusaha menyakinkan bahwa itu bukan mistik melainkan saat dimana setiap manusia harus bertanggung jawab atas segala perbuatannya.

Sepasang kekasih itu mencibir dan mengusirnya pergi.

“Pergilah! Lain kali saja kami mendengar omong kosongmu itu”. Pada saat yang sama menggelegarlah langit serta meruntuhkan butiran hujan. Gerimis berimai ketika Musto melanjutkan perjalannya ke puncak gunung untuk bicara pada Tuhan. Dalam perjalanan itu ia mengumpat mengapa begitu cepat ini semua terjadi padahal ia belum berhasil menjelaskan pada semua orang perihal bahwa mata Tuhan memperhatikan apa yang dilakukan orang.

Ketika Musto telah sampai pada puncak gunung, hujan menderas dan deru guntur bertalu-talu. Semua itu adalah gambaran angkara murka. Ia tahu saat yang dinanti tiba. Kiamat menjelang namun ia belum melakukan suatu hal pun. Dan Musto mengangkat tangan dengan muka menghadap langit. Ia berteriak memanggil Tuhan. Setiap kali nama Tuhan disebut, guntur menyahut dan kilatnya menyambar pepohonan ataupun bebatuan di sekitar Musto.

Suara Tuhan tak didengarnya menjawab semua yang ditanya. Ia teriakan pada Tuhan bahwa orang mengatakan ada seseorang yang membunuh-Nya. Tetap tak ada suara Tuhan. Musto menjelaskan pula bagaimana tuduhan orang mengatakan dirinya dipengaruhi mistik. Hanya deru guntur yang mendesing telinga. Musto tak kunjung putus semangat berteriak memanggil Tuhan dan ingin bicara pada-Nya. Gerimis masih berintik-rintik, padahal guntur dan kilat semakin menggelegar.

Namun, sebelum semuanya berakhir, Musto merasa masih punya waktu walau tak banyak untuk meyakini para sahabatnya. Atau setidaknya membawa mereka ke tempat yang aman.

Ia turun dari puncak dan meluncur deras menemui teman-temannya. Andai kata tak berhasil membuat mereka percaya, paling tidak Musto sudah berusaha meyakinkan dan menurutnya usaha itu sudah diperhitungkan Tuhan karena Ia melihat segala yang terjadi. Bukankah mata Tuhan mengetahui apa yang telah dilakukan Musto selama ini.

Setibanya di lereng gunung, dilihatnya sepasang kekasih tadi berlari ke arahnya. Musto pun menyongsong mereka dan tampak terengah-engah seolah dikejar sesuatu yang sangat menakutkan. Memang mereka ketakutan sehingga wajah mereka pucat pasi seperti mayat. Musto bertanya ada apa gerangan sebab ia juga mendengar mereka memanggil-manggil namanya dari kejauhan sambil berlari.

“Ada apa wahai sahabat sehingga kalian seperti melihat setan memakan manusia?”

“Musto, kau benar!”

“Benar apanya?” Musto pura-pura bingung.

“Ketika kami sedang asyik memadu kasih di tepi sungai yang kau lalui, tiba-tiba muncul seekor makhluk dari dasar sungai yang tak pernah kami bayangkan sebelumnya”.

“Makhluk apakah itu sehingga membuatmu tak bisa membayangkannya?”

“Seekor makhluk dengan badan menyerupai naga berkepala empat dan masing-masing kepalanya tumbuh tanduk bercabang empat juga”.

“Benarkah ada makhluk seperti itu?” Musto baru mendengar akan hal ini karena itu dia bertanya. Dan demi meyakinkan Musto, sepasang kekasih itu mengangguk.

“Lalu, setelah itu apa yang terjadi?”

“Kami berlari meninggalkan tempat itu dan mencarimu, makhluk itu pun menyusul kami dari belakang”.

Beberapa saat kemudian terdengarlah suara gaduh. Suara orang dalam jumlah yang tak terbilang banyaknya. Mereka bergerak serempak menuju ke arah Musto dan sepasang kekasih tadi. Suara itu menyorakkan nama Musto secara bersamaan.

“Musto! Musto! Musto! Musto!"

Musto menjadi heran dengan apa yang terjadi sesungguhnya. Bukankah diantara orang-orang itu terdapat juga Marcus dan semua orang yang pernah dijumpainya untuk menjelaskan perkara mata Tuhan. Anehnya lagi, Musto juga mengenal seseorang yang dulu pernah dicabut nyawanya oleh seorang laki-laki tinggi-tegap.

“Itu penjambret yang pernah kuceritakan pada kalian”. Musto menunjuk ke arah kerumunan orang-orang yang mendatangi mereka. Di belakang mereka, berjalan pula seekor makhluk menyerupai badan naga dengan empat kepala dan masing-masing kepala itu bertanduk empat juga.

“Itu makhluk yang kami ceritakan padamu, Musto! Itu!” Seorang dari sepasang kekasih itu menepuk pundak Musto sambil mengantar telunjuknya ke arah makhluk dan kumpulan orang tak terbilang banyaknya.

“Kalian tahu apa yang sebenarnya terjadi?” Musto bertanya pada keduanya. Keduanya menjawab dengan pertanyaan.

“Kamilah yang seharusnya bertanya demikian sebab kau mengetahui banyak hal daripada kami”.

“Apakah kalian masih melihat busur itu?” Ketiganya menengadah dan melihat sesuatu yang bisa disebut penampakan busur di antara awan gemawan yang telah diliput mendung tebal. Sementara hujan mulai semakin lebat dan kerumunan orang itu semakin mendekat, naiklah Musto dan sepasang kekasih itu ke puncak gunung. Kali ini bukan untuk berbicara pada Tuhan melainkan untuk meminta pertolongan sesegera mungkin. Musto yakin sekali bahwa Tuhan telah melihat semuanya, maka tidak mungkin Tuhan tidak terlibat.

“Sekarang kalian yakin bahwa saya tidak terpengaruh mistik, bukan. Setelah ini kalian akan melihat bagaimana Tuhan mendatangkan bantuan untuk kita”. Sepasang kekasih itu hanya diam mendengar apa yang dikatakan Musto. Setelah sampai di puncak gunung, Musto berteriak memanggil Tuhan. Seperti awalnya tadi, hanya guntur dan kilat yang peduli pada teriakan Musto. Usaha Musto berteriak menjadi sia-sia. Kerumunan orang yang tak terbilang banyaknya sudah ada di hadapan Musto dan sepasang kekasih itu. Mereka dilingkari oleh manusia seperti semut menggauli gula. Dan, seekor makhluk berbadan meyerupai naga dengan empat tanduk di masing-masing kepala membungkuk mendekati mereka bertiga. Sejurus kemudian, salah satu bagian kepala makhluk itu membuka mulut untuk menelan ketiganya sekaligus.

Musto berteriak kuat-kuat. Semakin mendekat mulut itu semakin gelap di dalam sana. Lalu amat gelap sekali sehingga hanya tinggal suara saja yang terdengar. Sedetik kemudian Musto membuka mata. Dilihatnya seorang perempuan berdiri memeluk dada di depannya. Musto kemudian duduk lalu mengusap wajahnya yang sembab. Perempuan itu adalah isterinya.

“Kau mimpi buruk lagi, ya?” Musto tak menjawab. Itu telah menjadi kebiasaanya. Lalu ia mulai menceritakan dari awal mimpi itu. Istrinya mendengar penuh perhatian. Musto tidak menyianyiakan kesempatan berharga itu. Hingga detik akhir cerita Musto, istrinya tetap mendengar.

“Benarkah Tuhan bisa ada di mana-mana?” Senang bukan kepalang Musto terhadap istri tercinta dan demi menunjukkan benarnya keadaan itu, Musto mengangguk keras. Setelah itu, istrinya bangkit berdiri dan menolak kepala Musto sehingga dia kembali tersandar di bantal sambil berlalu dia berkata, “Jangan percaya pada mimpi, Musto!”

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun