Mohon tunggu...
Vena Yuliana
Vena Yuliana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi S2 PGPAUD UPI

Pendidik Anak Usia Dini lebih dari 10 tahun. Penulis buku anak-anak. Tidak pandai bicara depan umum tapi dapat diandalkan di balik layar. Semoga bisa memberi manfaat.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Komitmen Indonesia di G20: Program Makan Bergizi Gratis Solusi Perbaikan Gizi Anak Usia Dini yang Diragukan

7 Januari 2025   06:21 Diperbarui: 8 Januari 2025   14:19 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Anak TK Makan Bersama (Sumber: DALL-E)

      Group of Twenty (G20) awalnya dibentuk sebagai wadah diskusi bersama untuk membahas berbagai isu ekonomi global. Forum ini merupakan hasil transformasi dari Forum G8, yang sebelumnya hanya melibatkan delapan negara dengan ekonomi maju, yaitu Kanada, Inggris, Amerika Serikat, Italia, Prancis, Jerman, Jepang, dan Rusia.

Berbeda dengan G8 yang terbatas pada negara-negara elit ekonomi, G20 mencakup negara-negara dengan perekonomian maju dan berkembang. Anggota G20 terdiri dari Amerika Serikat, Argentina, Brasil, Australia, Kanada, Meksiko, Turki, Indonesia, Korea Selatan, Jepang, China, Jerman, Inggris, India, Arab Saudi, Afrika Selatan, Italia, Prancis, Rusia, serta Uni Eropa. Keanggotaan ini memungkinkan representasi lebih luas, mencakup lima benua, dibandingkan G8 yang hanya melibatkan negara dari tiga benua.

Secara kolektif, negara-negara anggota G20 menguasai sekitar 90% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dunia, 80% volume perdagangan global, serta dua pertiga populasi global. Dengan demikian, G20 menjadi cerminan dari kekuatan ekonomi global dan arus perdagangan internasional yang besar.

Meski memiliki pengaruh besar, G20 bukanlah organisasi internasional dengan struktur formal seperti Bank Dunia, IMF, ADB, atau WTO dan karena tidak memiliki sekretariat permanen, struktur G20 bersifat fleksibel  Kepemimpinannya bersifat bergilir di antara anggota, yang dikenal dengan istilah presidensi. Negara yang memegang presidensi bertanggung jawab menyelenggarakan seluruh rangkaian pertemuan selama masa tugasnya. 

Pada tahun 2022, Indonesia berperan sebagai presidensi, dengan masa tugas dari 1 Desember 2021 hingga 22 November 2022. Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang menjadi anggota G20 dan sebagai negara berkembang dengan ekonomi terbesar di Kawasan. 

Indonesia memainkan peran penting dalam mewakili kepentingan negara-negara berkembang lainnya dalam diskusi global mengenai isu-isu ekonomi, keuangan, dan pembangunan.  Keberadaan Indonesia dalam G20 memberikan kesempatan untuk menyuarakan tantangan dan peluang yang dihadapi oleh negara berkembang.

Sepanjang tahun, G20 secara rutin mengadakan berbagai pertemuan, yang dirancang untuk mendiskusikan isu-isu global yang mendesak. Pertemuan ini melibatkan para pejabat tingkat tinggi dari negara-negara anggota, termasuk menteri keuangan, gubernur bank sentral, dan menteri lainnya yang relevan. 

Pertemuan G20 mencakup Working Groups (kelompok kerja), Ministerial & Deputies Meetings (Pertemuan Tingkat Menteri dan Deputi) dan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) adalah puncak dari proses pertemuan G20, yaitu rapat tingkat kepala negara/pemerintahan. KTT ini mempertemukan kepala negara atau pemerintahan untuk membahas isu-isu strategis dan membuat keputusan penting.

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20, pembahasan utama terbagi menjadi dua jalur, yaitu jalur keuangan (finance track) dan non-keuangan (sherpa track). Isu keuangan mencakup krisis global, reformasi lembaga keuangan internasional, perpajakan, korupsi, dan perdagangan. Sementara itu, isu non-keuangan meliputi berbagai topik, seperti kemiskinan, perubahan iklim, kesetaraan gender, terorisme, geopolitik, energi, hingga imigrasi.

Pengembangan Anak Usia Dini dalam Fokus G20

Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 tahun 2018 yang lalu diselenggarakan di Buenos Aires, Argentina, dengan tema “Building Consensus for Fair and Sustainable Development” (Membangun Kesepakatan untuk Pembangunan yang Adil dan Berkelanjutan). 

Pertemuan tingkat tinggi G20 ini melahirkan sebuah komunike atau kesepakatan bersama “G20 Leaders’ declaration Building consensus for fair and sustainable development” yang terdiri dari 31 butir kesepakatan. Selain itu, dihasilkan pula 11 persetujuan di tingkat kementerian dan 20 dokumen kelompok kerja. Khusus pembahasan permasalahan anak usia dini masuk kedalam isu Pembangunan berkelanjutan.

Para pemimpin dunia menekankan pentingnya pengembangan anak usia dini sebagai salah satu prioritas. Mereka meluncurkan Initiative for Early Childhood Development (ECD) yang bertujuan meningkatkan akses terhadap layanan pendidikan dan perawatan anak usia dini yang berkualitas. Inisiatif ini menyoroti perlunya pendekatan holistik yang mencakup aspek kesehatan, gizi, pendidikan, dan perlindungan anak. 

Hal yang menjadi G20 inisiatif salah satunya di poin ke 8 yaitu “bertekad untuk berkontribusi dalam memastikan bahwa semua anak – dengan penekanan pada 1.000 hari pertama kehidupan mereka  memperoleh gizi dan kesehatan yang baik, menerima perawatan, stimulasi dan kesempatan yang tepat untuk pembelajaran dan pendidikan dini dan tumbuh dalam lingkungan yang baik” juga di poin ke 11 “menekankan pentingnya gizi yang baik sejak dini dalam kehidupan seorang anak, dan bahkan sebelum kelahiran melalui peningkatan gizi ibu sebelum dan selama kehamilan, yang menjamin dasar bagi perkembangan otak dan tubuh anak. Kami juga menekankan pentingnya pemberian ASI sebagai sarana penting untuk menjamin keamanan pangan dan gizi bagi bayi. Kami tetap prihatin bahwa akibat kekurangan gizi.”

Realitas Masalah Gizi Anak di Indonesia

Namun, setelah enam tahun berlalu dari kesepakatan di atas, laporan terbaru menunjukkan bahwa realitas di lapangan jauh dari harapan. Masalah kekurangan gizi, khususnya pada anak usia dini di Indonesia masih menjadi tantangan serius. 

Menurut Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022 yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan, prevalensi stunting—kondisi di mana anak mengalami pertumbuhan yang terhambat akibat kekurangan gizi kronis—berada pada angka 21,6%. Meskipun angka ini menunjukkan penurunan sebesar 2,8% dari tahun sebelumnya, target penurunan stunting menjadi 14% pada tahun 2024 masih memerlukan upaya yang signifikan.

Selain stunting, masalah gizi lain seperti wasting (berat badan rendah untuk tinggi badan) dan underweight (berat badan kurang) justru mengalami peningkatan. Data SSGI 2022 menunjukkan bahwa prevalensi wasting naik dari 7,1% pada tahun 2021 menjadi 7,7% pada tahun 2022, sementara underweight meningkat dari 17,0% menjadi 17,1% pada periode yang sama.

Kekurangan gizi pada anak usia dini dapat menyebabkan berbagai dampak negatif, termasuk gangguan perkembangan kognitif, peningkatan risiko penyakit kronis di kemudian hari, dan penurunan produktivitas. 

Oleh karena itu, intervensi yang komprehensif dan berkelanjutan sangat diperlukan untuk mengatasi masalah ini, termasuk melalui program-program yang memastikan akses terhadap makanan bergizi dan edukasi gizi bagi keluarga.

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Brasil pada tahun 2024 menempatkan isu kemiskinan dan kelaparan sebagai titik fokus di sesi pertama, secara kebetulan dan tepat sesuai dengan kondisi Indonesia saat ini. Maka dengan hal itu Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, menegaskan komitmennya di forum KTT G20 untuk mengatasi masalah malnutrisi di Indonesia melalui program "Makan Bergizi Gratis" yang dimulai pada tahun 2025 sekarang ini. 

Program MBG dirancang untuk memberikan asupan nutrisi gratis kepada anak-anak dan ibu hamil, dengan tujuan menurunkan angka stunting dan meningkatkan kesehatan masyarakat secara keseluruhan. 

Program ini akan dilaksanakan oleh Badan Gizi Nasional, sebuah lembaga yang dibentuk khusus untuk mengelola inisiatif ini. Dengan anggaran sebesar Rp71 triliun (sekitar USD 4,3 miliar) untuk tahun 2025, program ini bertujuan menjangkau 19,5 juta penerima manfaat pada tahap awal.

Kritik dalam Program Makan Bergizi Gratis MBG

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di sekolah bukanlah hal baru, akan tetapi  merupakan inisiatif global yang telah diimplementasikan di 118 negara dengan 53 negara menyediakan makanan bergizi secara gratis. 

Di beberapa negara, program ini terbukti dapat meningkatkan kesehatan, prestasi akademik, partisipasi sekolah, status gizi anak, serta menciptakan lapangan kerja sambil menurunkan angka putus sekolah. Namun, tidak semua negara sukses menjalankan program sejenis MBG.

Dari perspektif kebijakan, program MBG membutuhkan dukungan legislatif dan regulasi yang kuat melalui undang-undang. Di beberapa negara, penyediaan makanan bergizi di sekolah telah diatur melalui undang-undang. 

Misalnya, di Amerika Serikat terdapat National School Lunch Act 1946, di Jepang ada Shokuiku Kihon Hō 1954, di Finlandia Perusopetuslaki 1998, di Brasil Lei No. 11.947/2009, di Swedia Skollagen 2010, di India National Food Security Act 2013, dan di Inggris ada Children and Families Act 2014. Hal ini menunjukkan pentingnya kerangka regulasi untuk menjamin kualitas dan keamanan makanan serta integrasi program ke dalam kurikulum pendidikan.

Tentu, Indonesia sebagai negara yang akan mengikuti jejak negara yang menerapkan makan gratis. Sangat perlu untuk belajar dan meninjau kembali kemungkinan hambatan yang akan terjadi dalam jangka pendek maupun Panjang. Berikut ini berbagai kritik dan keraguan yang muncul terkait implementasinya:

  • Keberlanjutan Anggaran: Salah satu kritik utama adalah keberlanjutan pendanaan program ini. Mengingat skala nasionalnya, banyak pihak yang meragukan apakah anggaran pemerintah dapat terus menopang program ini tanpa mengorbankan sektor lain. Sebuah laporan dari Institute for Development and Policy Analysis (2023) menunjukkan bahwa program-program serupa di negara berkembang sering kali terhambat karena ketergantungan pada anggaran tahunan yang fluktuatif.
  • Efisiensi Distribusi: Banyak yang mempertanyakan kemampuan pemerintah untuk memastikan distribusi makanan bergizi ke seluruh pelosok negeri secara adil. Masalah infrastruktur di daerah terpencil sering kali menjadi penghalang utama, kekhawatiran seperti keterlambatan pengiriman dan kerusakan bahan makanan.
  • Kualitas dan Keamanan Makanan: Kritik lainnya adalah terkait kualitas dan keamanan makanan yang disediakan. Tidak jarang program-program sebelumnya menghadapi masalah makanan yang tidak sesuai standar gizi atau bahkan tidak higienis. Menurut laporan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM, 2021), lebih dari 15% makanan dalam program bantuan pemerintah ditemukan mengandung bahan yang tidak layak konsumsi.
  • Potensi Ketergantungan: Ada kekhawatiran bahwa program ini dapat menciptakan ketergantungan di masyarakat jika tidak disertai dengan edukasi mengenai kemandirian pangan. Beberapa ahli berpendapat bahwa memberikan bantuan tanpa edukasi tambahan dapat mengurangi inisiatif masyarakat untuk mandiri dalam pemenuhan kebutuhan pangan.
  • Kurangnya Transparansi: Kekhawatiran tentang korupsi dan penyalahgunaan dana juga menjadi perhatian. Tanpa pengawasan yang ketat dan transparansi, banyak yang meragukan efektivitas program ini.

Meski memiliki niat baik, program makan bergizi gratis membutuhkan perencanaan yang matang, pengawasan yang ketat, serta pelibatan komunitas lokal agar dapat benar-benar mencapai tujuan utamanya yaitu meningkatkan kesehatan masyarakat. Tanpa hal-hal tersebut, program ini berisiko menjadi sekadar proyek populis yang gagal memberikan dampak nyata.

Sasaran dan Tujuan Program MBG Perlu Diperjelas: Pengentasan Stunting atau Perbaikan Gizi?

Hal lainnya sebelum lebih jauh membahas tentang MBG, yang tidak kalah penting adalah kejelasan dari tujuan program MBG ini.  Belum ada kerangka teori resmi yang diumumkan untuk mendesain program ini. 

Jika disesuaikan dengan kerangka Strategi Nasional Percepatan Penurunan Stunting (PPS) 2018 dan pedoman FAO School Food and Nutrition (SFN) 2022, program MBG dapat berkontribusi pada peningkatan status gizi.  

Meskipun demikian, program MBG hanya akan menyentuh satu penyebab langsung dan satu penyebab tidak langsung stunting. Untuk mencapai dampak signifikan dalam pencegahan stunting, intervensi harus mencakup kelompok rentan seperti ibu hamil hingga balita. 

Jika program ini hanya menyasar remaja sebagai bagian dari anak sekolah SMP/SMA, efeknya terhadap stunting tidak akan terlihat dalam jangka pendek (di bawah 10 tahun). 

Intervensi gizi pada usia SMP/SMA tidak efektif untuk memperbaiki tinggi badan akibat stunting dapat meningkatkan kualitas hidup, kesehatan, dan kemampuan belajar anak. Fokus utama untuk mencegah stunting seharusnya tetap berada pada masa 1000 HPK, dengan memperbaiki gizi ibu hamil dan anak di bawah usia 2 tahun.

Jika di kembalikan pada komitmen atau G20 Inisiatif sebelumnya. Bahwa yang perlu di perhatikan adalah asupan masa kehamilan hingga 1000 hari pertama kelahiran. Ini adalah masa kritis untuk intervensi gizi. Kekurangan gizi pada fase ini menyebabkan gangguan permanen pada pertumbuhan fisik (stunting) dan perkembangan otak. 

Setelah periode tersebut, pertumbuhan fisik dan perkembangan otak anak sulit untuk sepenuhnya diperbaiki. Padahal, anak-anak adalah generasi penerus yang akan membawa estafet pembangunan bangsa ke masa depan. 

Akan tetapi yang menjadi pertanyaannya adalah, apakah dengan anggaran yang ada untuk program makan bergizi gratis ini dapat mencegah dan memperbaiki gizi anak?

Fokus Utama G20 yang Terdistraksi, Harus Memprioritaskan Ekonomi sebagai Fokus G20

Akar dari masalah stunting dan kekurang gizi sering kali berhubungan erat dengan kondisi ekonomi keluarga. Banyak keluarga tidak mampu menyediakan makanan bergizi karena keterbatasan finansial. Oleh karena itu, solusi berkelanjutan untuk mengatasi gizi buruk tidak cukup hanya dengan memberikan bantuan makanan bergizi gratis. Pendekatan yang lebih holistik diperlukan, termasuk upaya pemberdayaan ekonomi keluarga agar mereka memiliki daya beli dan akses yang lebih baik terhadap kebutuhan gizi.

Ketika banyak anak mengalami kekurangan gizi, hal ini menjadi cerminan nyata bahwa kebijakan ekonomi belum memberikan dampak signifikan bagi masyarakat lapisan bawah. Kondisi ini menunjukkan perlunya perbaikan mendasar dalam sistem ekonomi. Solusi berkelanjutan harus diarahkan pada upaya menciptakan orang tua yang berdaya, sejahtera, dan mampu memenuhi kebutuhan anak-anak mereka secara mandiri.

G20, sebagai forum ekonomi global, harus kembali pada fokus utamanya, yaitu penguatan ekonomi. Masalah gizi anak dapat dilihat sebagai salah satu indikator ketimpangan ekonomi yang masih signifikan. 

Oleh sebab itu, kebijakan ekonomi inklusif perlu menjadi prioritas. Langkah-langkah seperti menciptakan lapangan kerja yang layak, meningkatkan upah minimum, serta mengurangi ketimpangan merupakan beberapa strategi yang dapat ditempuh untuk mendukung kesejahteraan keluarga.

Memberikan makanan bergizi secara gratis memang penting sebagai langkah awal untuk mengurangi angka gizi buruk. Namun, langkah ini saja tidak cukup untuk menyelesaikan akar masalah. Kemiskinan dan ketimpangan ekonomi tetap menjadi tantangan utama. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia bersama G20 perlu fokus pada pengentasan kemiskinan dengan kebijakan yang adil dan berkelanjutan. 

Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Nelson Mandela, “Kemiskinan bukanlah kecelakaan. Seperti perbudakan dan apartheid, itu adalah buatan manusia dan dapat dihapuskan oleh tindakan manusia.” Hal ini menunjukkan bahwa menghapus kemiskinan adalah sebuah tugas kolektif yang memerlukan keberanian dan komitmen untuk menciptakan perubahan nyata.

Stunting dan kekurangan gizi tidak hanya mencerminkan tantangan kesehatan masyarakat tetapi juga merupakan sinyal bahwa sistem ekonomi belum inklusif. Dengan memberdayakan orang tua, menyediakan lapangan kerja yang layak, dan mengurangi ketimpangan pendapatan, G20 dapat memberikan kontribusi nyata bagi perbaikan kualitas hidup generasi mendatang.

Dengan kebijakan ekonomi yang adil dan inklusif, tidak hanya mandat utama G20 akan terpenuhi, tetapi juga tercipta dunia yang lebih sejahtera, di mana setiap anak memiliki hak untuk tumbuh sehat, belajar dengan optimal, dan berkontribusi pada masa depan yang lebih cerah.

Referensi : 

CISDI. (2024). Makan Bergizi Gratis: Menilik Tujuan, Anggaran, dan Tata Kelola Program. Retrieved from https://cdn.cisdi.org/documents/fnm-Policy-Paper-Makan-Bergizi-Gratis---Menilik-Tujuan-Anggaran-dan-Tata-Kelola-ProgramCISDIpdf-1723609579793-fnm.pdf

Institute for Development of Economics and Finance (INDEF). (2024). Efek Pengganda Program Makan Bergizi Gratis. Retrieved from https://indef.or.id/wp-content/uploads/2024/11/Final-Report-Efek-Pengganda-Program-MBG.pdf

Center for Indonesian Policy Studies (CIPS). (2024). Dilema Program Makan Siang Gratis: Antara Manfaat dan Tantangan. Retrieved from https://www.cips-indonesia.org/post/dilema-program-makan-siang-gratis-antara-manfaat-dan-tantangan

Suara Pembaruan. (2024). Momen Prabowo Ungkap Makan Bergizi Gratis di KTT G20 Brazil: Begini 3 Hal yang Bakal Dirasakan Anak Sekolah hingga Ibu Hamil. Retrieved from https://www.suarapembaruan.news/nasional/53701955/momen-prabowo-ungkap-makan-bergizi-gratis-di-ktt-g20-brazil-begini-3-hal-yang-bakal-dirasakan-anak-sekolah-hingga-ibu-hamil

AP News. (2024). Indonesia's Prabowo Subianto proposes free meals for children and mothers. Retrieved from https://apnews.com/article/indonesia-prabowo-subianto-free-meals-children-mothers-213a04587203434f3f85950725e84a8b

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun